KEFAMNANU, www.sinodegmit.or.id, “Mama, beta pung tugas bukan hanya atur ibadat Senin sampai Sabtu tapi beta juga jaga mata air supaya semua rayon bisa kebagian air. Kalo tidak, biar kami ibadat bagus-bagus tapi di mata air kami berkelahi.”
Demikian cerita Ketua Majelis Sinode (MS) GMIT, Pdt.Dr. Mery Kolimon saat membuka kegiatan Lokakarya Teologi Inklusiv di jemaat GMIT Elim Oetalus, Kefamnanu, klasis Timor Tengah Utara (TTU), Selasa, 5/09-2017. Menurut Pdt. Mery, ungkapan hati tersebut berasal dari seorang pendeta di pedalaman Timor yang merangkap tugas sebagai pengawas agar jemaat yang dilayaninya tidak terlibat konflik perebutan air.
Kisah semacam itu, bukan satu-satunya. Kisah yang sama seringkali terjadi di banyak wilayah di Provinsi NTT di mana Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) tumbuh dan berkembang. Bila musim hujan, banjir meluap di mana-mana, sebaliknya bila musim kemarau tiba, kekeringan mendulang aneka masalah.
Menjawab tantangan iklim NTT yang ekstrim, pada Sidang Sinode ke-33 di Rote, Haluan Umum Kebijakan Pelayanan (HKUP) GMIT mengamanatkan program pengembangan teologi inklusiv. Menurut Pdt. Mery, Gereja mesti terbuka pada konteks di mana ia hidup. Dalam konteks Timor terutama wilayah TTS dan TTU, tantangan musiman yang dihadapi oleh jemaat-jemaat GMIT memasuki musim kemarau adalah keringnya mata-mata air.
Persoalan ini bukan hanya tugas gereja tertentu melainkan juga tugas semua agama. Untuk itu, Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Teologi MS GMIT yang dikoordinir sekretaris bidang teologi Pdt. Nicolas Lumba Kaana, M.Th, menggelar Lokakarya Teologi Inklusif bertema “Menjalin Relasi, Menguatkan Jaringan, Mengatasi Kekeringan”.
Lokakarya Teologi Inklusiv ini melibatkan 60 peserta dari dari 15 klasis di wilayah TTS, TTU dan Belu. Selama tiga hari peserta yang terdiri dari pendeta, penatua dan pemuda, belajar dan berinteraksi dengan komunitas lintas agama dari Katolik dan Muslim melalui kunjungan ke biara, mesjid dan kebun contoh lahan kering.
Dari gereja Katolik, Pater Piet Salukh, SVD berbagi ilmu mengenai teknik bertani lahan kering dan sempit melalui model yang ia sebut “Banana Circle” (Lingkaran Pisang). Selain itu hadir pula Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) cabang TTU, H. Mohammad Ali Kosang yang membawa meteri “Islam dan Kekeringan di Timor” dan Sarniel Woleka dari Komunitas Peace Maker Kupang (KOMPAK) dengan materi berjudul “Gerakan Pemuda Lintas Iman”. Selain komunitas lintas Iman, pemerintah kabupaten TTU juga diundang memberi ceramah tentang “HAM dan Fakta Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia serta dinamikannya di Timor”.
Pdt. Andreas Nubatonis, salah satu peserta dari jemaat Bikomi klasis TTU mengaku senang mendapat kesempatan belajar melalui lokakarya ini. Menurutnya kegiatan ini membuka wawasannya tentang pentingnya membangun relasi dan kerja sama dengan komunitas lintas iman yang berbeda guna mengatasi isu-isu sosial dan lingkungan. “Melalui kegiatan ini saya belajar dan mendapati bahwa ada kekuatan besar bila kita membangun relasi dengan sesama yang berbeda suku, agama dan seterusnya untuk menggumuli isu-isu yang berkembang dalam masyarakat, terutama kekeringan di wilayah kita masing-masing.”
Ketua majelis Sinode GMIT berharap lokakarya ini tidak hanya menyatukan narasi-narasi keprihatinan tetapi juga langkah-langkah nyata mengatasi bencana kekeringan.