Memperingati “Hari Bumi” 22 April 2017, Majelis Sinode GMIT menyelenggarakan diskusi teologis bertema “Kemiskinan, Tambang dan Hutan Jemaat”. Diskusi yang berlangsung pada Jumat, 21/04 ini menghadirkan 3 pembicara yakni, Pdt. Dr. J. E. E. Inabuy dari Fakultas Teologi UKAW, Torry Kuswardono, Direktur Perkumpulan Pikul dan Wakil dari Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Frans Fobia.
Dalam materinya Pdt. Inabuy mengemukan dua hal: Pertama,Hutan jemaat yang hendak dikembangkan oleh GMIT mesti berbasis komunitas lokal. Jemaat perlu dibangun kesadarannya agar mereka memiliki perilaku konservasi sehingga program hutan jemaat itu tidak terkesan top down(dari majelis sinode-jemaat) melainkan bottom up(jemaat sebagai subjek). Kedua, Pandangan religius jemaat atau lokal wisdommasyarakat perlu dijadikan titik berangkat dalam ekoteologi kontekstual.
Dalam pandangan orang Timor kata Pdt. Inabuy terdapat istilah yang disebut “le’u” yang berarti keramat. Tempat yang disebut le’u merupakan wilayah terlarang yang mana orang tidak boleh melakukan sesuatu yang dilarang di kawasan itu. Di Timor ada banyak tempat semacam ini. Le’u dalam konsep orang Timor bisa disejajarkan dengan konsep qadosy(Ibrani: sakral). Misalnya saja dalam kitab Keluaran, Tuhan menyuruh Musa menanggalkan kasutnya karena tanah yang dipijaknya adalah tanah yang kudus (Kel. 3:5).
Bertolak dari kesejajaran ini, dalam konteks Timor, Pdt Inabuy mengusulkan kawasan hutan bisa dijadikan taman doa atau bisa juga dipasang tiang salib di kawasan konservasi sebagai tanda kehadiran Tuhan di sana. Dengan begitu jemaat dididik menghormati dan mencintai alam sebagaimana mereka menghormati dan mencintai Tuhan pencipta semesta.
Sementara itu, Torry Kuswardono yang menyoroti persoalan tambang di NTT, memaparkan bahwa Tuhan memberi berkah di tanah Timor ini secara unik namun sekaligus memperhadapkan orang NTT pada pilihan yang harus hati-hati. Ia mencontohkan, di Timor ada banyak batu marmer. Tapi pada saat yang sama, sumber mata air berasal dari dalam batu tersebut. Karena itu kita diberi pilihan; mau bongkar marmer lantas kehilangan air, atau sebaliknya menjaga kedua-duanya? Pada situasi ini dibutuhkan kebijaksaan dan ilmu pengetahuan yang memadai untuk menentukan pilihan yang tepat.
Ia menambahkan, tambang selain merusak lingkungan juga menghancurkan budaya. Ibu-ibu yang biasanya menenun busana adat sebagai warisan leluhur beralih dan meninggalkan pekerjaan budaya itu.
Selain itu, ia juga menyinggung upaya GMIT dengan program hutan gereja. Torry meluruskan pandangan banyak orang yang keliru seolah-olah dengan menanam pohon-pohon maka sekali waktu akan terbit mata air. Menurutnya, airlah yang mengasilkan pohon bukan sebaliknya. Karena itu ia mengingatkan mesti selektif dalam memilih jenis pohon yang ditanam.
“Pohon yang cepat tumbuh tentu butuh air lebih banyak. Sapi yang gemuk makan lebih banyak dari sapi yang kurus. Karena itu hati-hati menanam pohon yang rakus air. Jangan tanam pohon trambesi dalam jumlah besar. Tanamlah pohon yang mampu meranggas di musim kemarau karena itu pertanda pohon tersebut mengurangi penyerapan air. Beda dengan pohon evergreen. Jenis pohon seperti ini akan menyedot air sangat banyak,” katanya.
Pada kesempatan yang sama wakil dari Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Frans Fobia menjelaskan tentang pemetaan dan mekanisme pengelolaan hutan di NTT. Ia mengapresiasi program GMIT baik itu tanam air maupun hutan gereja. Ia berjanji pihaknya akan bersedia membantu gereja dalam upaya membangun dan merawat alam.***