Memelihara Kemerdekaan dari Hegemoni Agama

Pdt. Gusti Menoh

KUPANG, sinodegmit.or.id, Setelah 74 tahun merdeka, bangsa Indonesia tidak pernah sepi dari upaya-upaya hegemonik agama untuk menguasai negara. Kongres Ijtimak Ulama IV yang berlangsung 5 Agustus 2019 lalu merekomendasikan satu poin kontroversial sebagai berikut: Mewujudkan NKRI syariah yang berdasarkan Pancasilasebagaimana termaktub dalam pembukaan dan batang tubuh UU 1945 dengan prinsip ayat suci (ayat-ayat agama), di atas ayat konstitusi (UUD 1945), agar diimplementasikan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Rekomendasi ini muncul di tengah upaya pemerintah untuk tidak lagi memperpanjang ijin kepada ormas garis keras Front Pembela Islam (FPI), yang ideologinya dianggap bertentangan dengan Pancasila. Yang terbaru adalah dugaan taruna akmil, Enzo Zanz Allie yang terindikasi kuat menjadi simpatisan HTI, pendukung Khilafah dan anti-pemerintah, walaupun akhirnya KSAD Jenderal Andika Perkasa menegasi dugaan tersebut.

Apa arti fakta-fakta tersebut? Bagaimana membebaskan bangsa ini dari ancaman-ancaman ini? Pertama-tama, perlu disadari bahwa upaya agama untuk menguasai negara bukan fenomena baru. Hal ini tidak lepas dari sifat hegemonik agama itu sendiri. Untuk mengatasi berbagai masalah ini, perlu ketegasan negara dalam menegakan konstitusi, dan tentu saja perlu upaya-upaya dari agama-agama untuk membangun dialog dan solidaritas di antara mereka.

Bukan sebuah fenomena baru

Sudah sejak kemerdekaan, agama mau terlibat dalam urusan berbangsa dan bernegara. Dalam merumuskan dasar negara, selain ideologi Marxisme dan Nasionalisme, Islamisme juga mendesak untuk dijadikan ideologi bangsa. Ada keinginan dari sekelompok Muslim untuk menghadirkan “Piagam Jakarta”, yakni memasukkan 7 kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” sebagai tambahan dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Usulan itu ditolak oleh kelompok Kristen dari Indonesia Timur yang mengancam akan keluar dari Indonesia bila “Piagam Jakarta” dipaksakan sebagai bagian dari dasar negara. Kelompok Islam tersebut akhirnya berkompromi, sehingga Negara ini tidak didirikan atas dasar agama.

Namun, hasrat untuk menghadirkan nilai-nilai keagamaan dalam konstitusi negara tak pernah padam. Tahun 2001, sejumlah parpol mengajukan amandemen atas pasal 29 UUD 1945 sesuai dengan bunyi Piagam Jakarta (memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945). Walau tidak berhasil, sejak saat itu, keinginan mengubah dasar negara berlanjut. Muncul Perda-perda berbasis agama di sejumlah daerah. Hal ini nampak dalam upaya mengusung perda berbasis syariat yang terkait dengan isu moralitas, yakni perda anti pelacuran, perzinahan atau anti kemaksiatan; perda yang terkait dengan mode pakaian seperti keharusan memakai jilbab; perda yang terkait dengan ketrampilan beragama seperti keharusan bisa baca dan tulis Al-Quran; dan perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat melalui perda zakat, infak, dan shadakah. Dalam aras civil society, banyak kasus muncul akibat hegemoni agama tersebut. Aceh sendiri menjadi satu provinsi yang memberlakukan Syariah secara penuh di tengah-tengah suatu negara yang dasarnya adalah Pancasila. Dalam lingkup yang luas, Habib Rizieq dan FPI-nya terang-terangan menolak pemimpin non-Muslim di negeri ini karena tidak sesuai isi Al-Quran.

Maka menjadi jelas bahwa sifat hegemonik agama untuk menguasai kehidupan berbangsa dan bernegara tidak pernah mati. Apa yang direkomendasikan oleh Ijtimak Ulama IV bukan hal baru. Dalam rekomendasi itu, sebagaimana perjuangan diberlakukannya syarit di negeri ini, sangat rentan menimbulkan diskriminasi dan perpecahan. Ada masalah serius dalam rekomendasi tersebut. Pertama, frasa NKRI syariah yang berdasarkan Pancasila,menunjukkan bahwa ada keinginan untuk mewarnai negara dengan dominasi ajaran-ajaran agama. Kalau sejauh ini Perda-Perda syariat sudah dilegalkan di sejumlah daerah, maka terbuka kemungkinan bahwa pada suatu saat konstitusi negara pun berubah, yakni kembalinya Piagam Jakarta dalam batang tubuhnya. Lama-kelamaan Pancasila hanya tinggal sebagai pelengkap, karena roh negara sudah syariat. Kedua, frasa dengan prinsip ayat suci, di atas ayat konstitusimemperlihatkan dengan jelas bahwa dalam berbangsa dan bernegara, ajaran-ajaran agama mau diacuh sebagai pedoman yang mengatasi konstitusi, yaitu UUD 1945. Perintah agama akan ditaati melampaui perintah negara. Suatu ajaran fundamentalistik seperti bom bunuh diri yang menghancurkan negara pun akan dipatuhi, karena diperintahkan agama. Sisi hegemonik agama ini, bila dibiarkan eksis dalam suatu negara, maka akan mengancam kelangsungan hidup negara terbebut.

Sifat Hegemonik Agama

Pada dasarnya agama berisi nilai-nilai positif dalam ajarannya. Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa agama pun berpotensi menimbulkan persoalan. Hal itu tidak lepas dari sifat hegemonik agama itu sendiri. Ciri hegemonik agama terlihat dari sifatnya yang eksklusif, yang mengklaim memiliki kebenaran mutlak serta menuntut ketaatan penuh. Agama-agama mengajarkan bahwa mereka memiliki kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Maka terhadap kebenaran agama hanya ada satu sikap yang wajar, yakni taat. Siapa yang tidak taat, akhirnya harus disingkirkan, setidaknya secara politik. Mereka yang mengklaim memiliki kebenaran merasa berhak dapat memaksakan kehendaknya karena mereka mengklaim bicara atas nama Allah. Dan karena Allah memang harus mutlak ditaati, mereka menuntut ketaatan mutlak terhadap aturan dan hukum yang mereka permaklumkan atas nama agama.

Ciri hegemonik ini bila dibawa dalam kehidupan berbangsa maka akan mengancam konstitusi dan pluralitas masyarakat. Ciri hegemonik agama ini pun rawan digunakan dalam politik praktis. Ambisi kekuasaan membuat orang tidak malu bicara atas nama Allah guna meraih suara massa. Lebih jauh, bila pemuka agama bicara atas nama Allah, memerintahkan warga harus memilih pemimpin seagama, maka masyarakat akan terpecah. Itu sudah terjadi selama ini.

Menegakkan Konstitusi

Indonesia bukan negara sekuler atau pun negara agama. Ia tidak memusuhi agama tetapi juga tidak menyatu dengannya. Agama dan negara dipisahkan sesuai fungsinya masing-masing. Indonesia memilih menjadi negara hukum sejak berdirinya republik ini. Konstitusi negara tidak diasalkan dari salah satu agama tetapi sesungguhnya nilai-nilai inklusif agama-agama sudah melekat di dalamnya. Sebab Pancasila dan UUD 1945 merupakan hasil deliberasi berbagai kelompok agama, budaya, ideologi yang ada di Indonesia. Dalam arti itu, sebenarnya agama tidak disingkirkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Beragama tidak bertentangan dengan bernegara. Kita dapat menjadi seorang Kristen 100% sekali gus menjadi warga negara Indonesia 100%.

Tetapi mengingat kecenderungan hegemonik agama yang selalu berjuang untuk mengendalikan kehidupan berbangsa sejak kemerdekaan hingga kini, maka negara mesti menegakan konstitusi secara tegas. Pancasila dan UUD 1945 mesti dijadikan sumber hukum dalam mengelola hidup bersama mau pun dalam menangani berbagai persoalan yang muncul. Segala perundang-undangan yang berlaku dalam republik Indonesia harus bersumber dari atau sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan hukum-hukum agama seperti syariat yang sifatnya eksklusif berlaku internal saja dalam kehidupan kelompok para penganutnya dan tak perlu diberlakukan sebagai norma hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, agama-agama diposisikan sebagai bagian dari civil society, sebaliknya negara menjadi satu-satunya sistem politik yang mengatur kehidupan bersama kelompok-kelompok agama. Posisi ini tidak boleh dibalik. Maka ajaran-ajaran agama, betapa pun sucinya tetapi tidak perlu menggantikan konstitusi negara hukum. Di sisi lain, dalam hidup bersama masyarakat majemuk, negara harus bersikap netral terhadap berbagai kelompok agama agar rasa keadilan terpelihara. Lebih jauh, para pemeluk agama yang berbeda-beda perlu saling belajar dan menghargai, membangun solidaritas dan kerja sama agar mereka terhindar dari kecenderungan untuk saling menguasai. Dengan cara-cara seperti ini, kemerdekaan yang diproklamasikan 74 tahun yang lalu itu tetap terpelihara dari upaya hegemoni agama dan keadaban publik pun tercipta. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *