KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Upaya Majelis Sinode GMIT melakukan perubahan kebiasaan merayakan kebaktian bernuansa etnik dari yang sebelumnya pada bulan Oktober ke bulan Mei mendapat perhatian luas di banyak jemaat GMIT. Hal ini tampak terlihat pada antusias jemaat mempersiapkan liturgi kebaktian setiap Minggu. Bukan hanya petugas liturgi yang all out berlatih dan tampil prima dalam mengisi liturgi, tetapi juga peran serta warga jemaat. Anak-anak, pemuda dan orang tua, perempuan dan laki-laki seakan berlomba mengenakan busana adat terbaik mereka.
Suasana meriah ini tampak terasa pada kebaktian Minggu, 14/05-2017 di jemaat GMIT Gunung Sinai Naikolan-Kupang. Kebaktian yang menggunakan liturgi etnik Timor ini secara khusus dilatih oleh tim liturgi dan musik gereja dari MS-GMIT, disambut gembira oleh jemaat yang hadir. “Saya sangat bangga dengan kebaktian hari ini. Sebagai perempuan Timor, saya terkesan dengan liturgi yang ditampilkan tapi juga khotbah dari Pak Pdt. Hengky Abineno bahwa perempuan Timor melukis keagungan Tuhan bukan pada kanvas tapi pada kain tenun. Saya bangga dengan motif Timor. Saya sangat senang dengan kebaktian etnis hari ini,” tutur Ibu Margaritha Koroh-Fini (71) usai kebaktian.
Hal senada juga diungkapkan Kefas Lapenangga (30), ”Beta sangat terkesan dengan liturgi dan khotbah yang dipadu dengan budaya. Sangat menarik dan luar biasa. Kotong dapat hal yang berbeda hari ini. Beta bangga dengan kekayaan budaya di NTT. Ini warisan yang patut kotong tunjukan juga pada dunia luar bahwa kotong punya budaya tidak kalah dengan budaya dari daerah lain,” ungkap pemuda yang bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta di kota Kupang ini.
Pada kebaktian minggu ketiga yang bertema “Bernyanyi dan menari bagi Tuhan” ini, Pdt. Hengky Abineno mengajak jemaat untuk memanfaatkan keunikan budaya bagi kemuliaan Tuhan. “Kita punya tarian yang mesti dipersembahkan bagi Tuhan. Bonet, kebalai, pado’a merupakan tarian yang mempersatukan berbagai suku. Begitu juga alat musik termasuk alat musik tradisional. Semua ini adalah pemberian Tuhan, bukan barang kafir,” kata Pdt. Hengky.
Ia juga mengkritisi penggunaan tarian dalam ibadah yang menurutnya kadang salah kaprah. Belajar dari bacaan Alkitab tentang Miriam yang bernyanyi dan menari bagi Tuhan setelah umat Israel diselamatkan dari laut Kolsum, Pdt. Hengky mengatakan, “Menari itu ada ilmunya. Wiraga, wirasa dan wirama. Wirasa berarti menari dengan hati. Wirama, maksudnya menari harus seirama dengan bunyi gong. Wiraga artinya seluruh anggota tubuh kita dipakai untuk memuliakan Tuhan dengan gerak. Menari itu ada gerak pendek, menengah dan panjang. Pendek itu untuk bumi, menengah untuk sesama manusia, dan gerak panjang ke atas itu untuk Tuhan pemilik hidup. Jadi, penari tamborin mesti paham ini. Kadang-kadang orang balompat kiri kanan sa. Pola lantai sonde jelas. Tarian di NTT itu harus gerak rampak karena kebanyakan tarian massal. Kita maju ke depan, samping dan belakang bersama-sama. Dan tarian rampak itu mesti kita tarikan dalam rumah tangga kita bersama-sama. Jangan sampai suami menari pi muka, istri pi WC pung belakang, anak-anak pi tetangga. Jam makan ju semua anggota keluarga sonde katumu. Ini tarian yang gerak rampaknya bermasalah. Suka-suka menari dan menari suka-suka,” selorohnya dalam dialek Kupang yang membuat jemaat terpingkal .