MERAYAKAN ADVENT DI BUMI YANG GUNDUL

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, “Kalau kita duduk di kantor, kita tidak akan tahu apa yang sedang terjadi di tanah kita,” ujar Pdt. Mery Kolimon, yang duduk tepat di belakang saya. Ucapan itu menyentak pikiran saya yang sejak tadi mengelana tidak karuan, lantaran 3 jam duduk mematung dalam mobil yang dikemudikan Om Natan Mana’o.   

Mobil melaju perlahan melewati barisan perbukitan Amanuban menuju Amanatun di sepanjang jalur Selatan pulau Timor. Demi membunuh rasa jenuh, saya mengeluarkan kamera, menyetel tombol sportdan memotret bukit-bukit di hadapan kami.

Bunyi jepretan kamera laksana senjata mesin otomatis yang sedang memuntahkan peluru membunuh siapa saja yang menghadang. Namun, tak bisa membunuh kata-kata dari teolog perempuan yang sangat saya hormati itu.

“Kalau kita duduk di kantor, kita tidak akan tahu apa yang sedang terjadi di tanah kita.” Kata-kata itu terus mengganggu pikiran saya. Saya tahu, kata-kata itu bukan sekadar ucapan basa-basi atau keprihatinan sesaat. Ia mengucapkan kata-kata itu dari kedalaman hati dan ketajaman pikiran yang teruji.

Saya menduga-duga mungkin itukah alasannya beberapa kali ia mengajak saya menemani perjalanan tugasnya. Bukan supaya saya punya kesempatan melepas rasa penat dari aneka rutinas kantoran yang menggunung. Bukan pula supaya ia diberitakan dan menjadi populer di media melainkan supaya saya pun ikut melihat dengan mata kepala dan merasakan apa yang sedang digumuli Gereja kami di tanah Timor, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), salah satu Gereja Protestan terbesar di Nusantara ini.

Suasana hening sesaat. Hanya terdengar suara mobil yang terus menderu dan bunyi jepretan kamera yang merekam potongan-potongan gambar dari bukit-bukit di sekeliling kami yang bolong oleh tebasan parang dan jilatan api di sana-sini. Saya menyodorkan sebuah jepretan dengan harapan foto itu bisa menerjemahkan kedalaman ucapannya. Ia meliriknya sebentar sembari termenung.

“Kasihan bumi kita, laut dijarah, bukit-bukit digunduli, hutan dibakar, satwa diburu dan entah apalagi,” ujarnya perlahan.

“Iya, kampung-kampung di wilayah ini seperti tidak ada pemimpin,” saya menimpali.

“Saya heran dengan sikap pemerintah di kabupaten ini. Teman-teman pendeta kita juga belum bisa berbuat banyak. Beginilah kondisi kita merayakan advent tahun ini. Kita menanti kedatangan Tuhan di bumi yang terbakar,” ujarnya berefleksi. Saya menangkap rasa prihatin di raut wajahnya. Ia meraih gadgetnya dan menulis sebagaimana kebiasaannya. Mungkin ia mencacat apa yang sedang dilihatnya untuk disampaikan dalam persidangan klasis sebentar, pikir saya.

Bertiga, kami tenggelam dalam khayal masing-masing. Suara tape mobil melantunkan lagu Ebiet G. Ade yang berirama melow. Lirik lagu itu seperti menegaskan kegelisahan di hati kami.

Anak menjerit-jerit asap panas membakar,

lahar dan badai menyapu bersih,

ini bukan hukuman, hanya satu isyarat,

bahwa kita mesti banyak berbenah.

Kami memasuki kampung Sahan di kecamatan Nunkolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Mobil mendaki punggung bukit yang terjal. Di sisi kiri tampak laut selatan membentang luas. Sementara di sisi kanan, deretan perbukitan berdiri kokoh laksana tembok raksasa. Tampak jelas, di punggung buki-bukit itu bertebaran petak-petak seluas lapangan sepak bola di mana-mana, baik di lembah, di kaki bukit, di lereng, bahkan hingga puncak bukit. Petak-petak luas itu berbentuk lubang-lubang persegi empat yang menganga. Saya pun berandai-andai, jangan-jangan lapisan ozon di atas langit yang menurut para ahli lubangnya mencapai luas 4 juta kilometer itu sama persis dengan lubang-lubang di perbukitan ini? Jika benar demikian, maka benarlah juga pendapat orang-orang majus atau para ahli bintang di zaman kuno bahwa peristiwa-peristiwa di langit adalah gambaran dari apa yang terjadi di bumi.

Asap putih mengepul di beberapa titik. Puluhan pohon lontar setinggi belasan meter disepanjang jalan yang kami lalui pun ikut terbakar. Tentu saja jika api merambat hingga pucuk pohon lontar, kobaran api yang membakar tidaklah kecil.

Tak jauh dari pepohonan lontar yang terbakar itu, kami melihat sejumlah warga sibuk bekerja. Mereka kerja bergotong-royong ditemani asap dan api. Bergotong-royong membakar bumi. Membakar bumi membuat kebun. Membuat kebun dengan cara membakar bumi. Apakah membuat kebun harus dengan cara membakar?

Saya jadi teringat Pater Piet Sa’u, SVD di Kefamnanu. Beberapa bulan lalu kami mengunjungi komunitasnya di biara Claret kalau saja saya tidak keliru mengingat nama biara itu. Ia mengaku mendapat tugas belajar di 6 negara tentang pertanian lahan kering. Hasilnya ialah ia memperkenalkan sebuah model bertanam yang ia sebut “lingkaran pisang”. Cara kerjanya sederhana. Ia membuat lubang sebesar mungkin dan memasukan sampah organik ke dalamnya. Pada bagian pinggir lubang ditimbuni tanah dan sampah organik (daun hijau, kering, dedak pagi, pupuk kandang) secara berlapis.

Ia tunjukan kepada kami manfaat dari teknik bertani “lingkaran pisang” tersebut. Kami pun diajak berkeliling melihat lokasi biara yang tak begitu luas namun dipenuhi aneka tanaman sayur dan buah yang tumbuh subur.

Kepada warga di sekitar biara ia minta agar sampah-sampah organik berupa dedauan tidak boleh dibakar. Ia bersedia membeli sampah-sampah organik tersebut. Kepada puluhan pendeta GMIT yang belajar metode bertanamnya, ia menyerukan, “tolong…tolong..tolong…bilang kepada umatmu, jangan pernah membakar bumi sebab bakar bumi berarti bakar Tuhan, bakar diri sendiri. Cukup sudah leluhur kita dengan budaya tebas bakar saat buka ladang dan kebun.”

Mobil terus menanjak diketinggian ratusan meter di atas permukaan laut. Dari ketinggian ini saya bisa melihat separuh dari sisi Selatan pulau Timor. Dari ujung Amarasi hingga Malaka. Bukit-bukit gundul yang tadinya berada dalam posisi sejajar dengan posisi kami, kini berada jauh di bawah. Dari atas puncak ini, kami merasa seperti ditandu oleh bumi yang sakit parah.

Jika dalam mitologi Yunani, dewa Atlas digambarkan menopang bola bumi (harusnya bola langit) dengan tubuhnya yang perkasa, pengalaman kami hari ini di Timor sebaliknya. Kami yang sehat ditopang oleh bumi yang sakit.

Dari Sahan kami memasuki kampung Op, Banli dan Menu. Barisan perbukitan di tiga kampung ini pun bernasib sama. Pemandangan tak enak sejauh mata memandang, menusuk dari lensa kamera hingga menembus bola mata. Inikah yang namanya budaya tebas bakar di Timor? Ini era digital, bukan zaman batu Bung, dan…saudara-saudara kami di pedalaman Timor masih bertani secara primitif. Nomaden dari musim ke musim. Berpindah ladang dari tebing ke bukit, dari bukit ke padang, dari padang ke lembah. Tebas, tebang, bakar, bakaaaaar!

Kenapa mesti dengan cara membakar? Bukankah sebelum datangnya agama Kristen, penduduk di Timor sungguh sangat bersahabat dengan alam? Sampai-sampai, sekadar mengambil daun-daun atau akar-akar tumbuhan saja mereka melakukannya dengan penuh rasa hormat. Waktu dan cara mengambilnya pun tidak sembarangan. Itu pun belum cukup. Mesti dtambah lagi dengan dengan sesembahan dan ritual khusus. Lalu, mengapa setelah menjadi Kristen, alam dimusuhi? Adakah yang salah dengan cara kita berteologi? Ataukah memang budaya tebas bakar hanyalah sebuah cara mudah dan praktis membuat kebun?

Entahlah, pikiran saya susah menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit itu. Pikiran saya justru membawa saya pada berita-berita tentang peristiwa pembakaran-pembakaran di layar televisi. Bakar ban saat berlangsung demontrasi, bakar sarana publik, bakar bendera negara lain, bakar buku-buku yang dianggap sesat, bahkan rumah Tuhan pun ikut dibakar. Dan para pelaku pembakaran itu adalah orang-orang yang berpendidikan. Tidak seperti petani kampung di Timor yang  Sekolah Dasar pun tidak tamat. Rupa-rupanya budaya bakar bukan hanya ada di kampung-kampung, bukan hanya menimpa bukit-bukit, tetapi juga menjalar hingga kota metropolitan. Korbannya berupa rumah, gedung, kantor, bendera, ban karet, buku, dan seterusnya dengan alasan yang kadang sepele.

Oh…bumiku! Bukankah engkau adalah ibu segala makhluk? Ibu yang mengaliri sungai-sungai dengan gemericik air, yang menumbuhkan tunas bagi kehidupan, yang menghembuskan udara bagi yang bernapas dan yang memberi kediaman bagi yang menuju lembah kekelaman?

Kami tiba di Desa Boking. Lima jam perjalanan yang kami tempuh sejak subuh dari Kupang tak terasa. “Ini yang namanya kota Boking,” ujar Pdt. Mery sambil tersenyum. Kami turun dari mobil dan berjalan menuju halaman gereja.

Para presbiter klasis Amantun Timur beserta puluhan anak sekolah minggu berbusana adat, lengkap dengan pedang-pedang panjang menyambut kami dengan tarian dan natoni. Mereka tampak ceria, meski keringat mengucur di wajah lantaran naiknya suhu bumi di Amanatun yang mencapai 36 derajat Celsius, padahal kami berada di awal musim hujan, akhir November 2017. (wanto menda)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *