![](http://sinodegmit.or.id/wp-content/uploads/2019/06/pak-mes-300x288.jpg)
Kupang, www.sinodegmit.or.id, Menurut I.H. Marshall*, cerita dalam Lukas 18:9-14 hampir mirip dengan kisah sebelumnya Lukas 18:1-8 yakni sama-sama berkaitan dengan orang yang berdoa. Cuma yang membedakan adalah pada motif dan tujuannya.
Dalam kisah Lukas 18:9-14 ini penekanannya kepada refleksi tentang dua macam karakter atau tabiat yang berbeda.
Karakter yang pertama ditampilkan dalam diri seorang Farisi, yang menganggap dirinya orang yang suci yang hidup dalam kejujuran dan kebaikan. Ia bahkan mempunyai praktek hidup yang melebihi dari apa yang digariskan Hukum Taurat, karena ia dapat berpuasa dua kali dalam seminggu sekalipun Taurat hanya mewajibkan untuk berpuasa hanya sekali seminggu, yaitu pada hari Sabat (Imamat 16:29) dan ia bahkan juga mampu memberikan sepersepuluh dari semua penghasilannya. Anjuran berpuasa sekali setahun juga dilakukan pada Hari Pendamaian yang jatuh tanggal sepuluh bulan yang ketujuh dalam kalender bangsa Israel (Imamat 23:27), dimana berpuasa pada hari ini disamakan seperti orang berpuasa pada hari Sabat.
Semua hal yang dilakukan oleh orang Farisi sebetulnya adalah baik, namun menurut Tuhan Yesus ketidak baikannya adalah bahwa ia membenarkan dirinya sendiri sebagai orang baik di hadapan Allah, sambil merendahkan dan mencela sesamanya.
Karakter yang kedua ditampilkan dalam diri si pemungut cukai, yang ketika berdoa dalam Bait Allah itu, ia berdiri jauh-jauh dari area kekudusan Allah, dan tak berani untuk menatap kelangit; ia mengungkapkan semua perbuatan dosanya dan menyesalinya serta mengharapkan belas kasihan Allah semata. Tidak ada sedikitpun yang dapat dibanggakannya. Ia seakan tidak memiliki posisi tawar apapun di hadapan Allah bila dibangdingan dengan si Farisi itu dengan “segudang prestasinya”.
“Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”(Lukas 9:13).
Menurut Yesus doa yang didengar adalah doa dari orang yang merendahkan dirinya dan menyesali dosa-dosanya (yaitu si pemungut cukai) dan bukan doa orang yang menyombongkan dirinya dan merendahkan orang lain di hadapan Allah (yaitu si Farisi). Artinya Allah menutup telinga kepada karakter sombong dan suka mencela orang lain, tetapi Allah membuka telinga dan dengan tangan terbuka menerima kembali orang-orang berdosa yang menyesal dan bertobat.
Kesimpulan dari cerita ini sebetulnya Tuhan Yesus sudah ungkapan di awal cerita. Para pendengar diingatkan bahwa pada satu pihak di hadapan Allah yang Maha tinggi tidak ada seorang pun dapat dengan sombong dan bangga akan prestasi-prestasi, kebaikan-kebaikan yang dilakukanya dan demikian dapat mengklaim sebagai orang benar, atau dpat digunakan sebagai suatu posisi tawar untuk meraih anugerah Allah, dan dipihak lain dengan gampang menghina dan merendahkan orang lain yang dianggap sebagai orang berdosa (Lukas 18:9).
Karena itu menurut Yesus karakter dan tabiat si Farisi itu membuat doanya tidak didengar, tetapi sebaliknya penyesalan dan pertobatan sipemungut cukai tanpa membanding-banding atau mempersalahkan dan atau mencari-cari kesalahan orang lain, itulah yang membuat doanya didengar (Lukas 18:14).
Tentu dengan mendengar cerita ini diantara kita semua tidak ada seorang pun yang mau mengindentikan diri dengan si Farisi itu. Kita akan dengan cepat mengatakan “saya lah si pemungut cukai itu, yang doanya di dengar. Heheheh!
Jika kita berpikir demikian sebetulnya cerita Tuhan Yesus ini kembali terulang dalam kehidupan kita. Bahwa kitalah si Farisi itu!
Yesus mengingatkan kita bahwa hal pengabulan doa tidak bergantung pada segala perbuatan baik kita, tetapi bergantung kepada rahmat dan anugerah Allah semata. Kita tidak dapat mengklaim bahwa karena perbuatan baik kita, karena prestasi-prestasi kita, karena kedudukan dan jabatan kita, kita berhak untuk mendapat prioritas di hadapan Allah, kita berhak berbuat dan memutuskan apa saja, dan atau kita juga berhak menilai orang lain buruk dan tak pantas mendapat perhatian dari Allah.
Itulah sebabnya dalam doa Bapa Kami Tuhan Yesus mengajarkan bahwa hal pengabulan doa tidak bergantung kepada kita, tetapi bergantung kepada kehendak Allah sendiri. Kehendak Tuhanlah yang jadi dan bukan kehendak kita (bandingkan Matius 6: 10). Berdoa bukanlah suatu kesempatan untuk menuduh orang lain dan bukan pula suatu cara mengungkapan kesombongan dan kehebatan-kehebatan kita.
Kita juga mestinya mampu merubah karakter dan tabiat kita yang dengan gampang memandang rendah orang lain. Tabiat dan karakter manusiawi kita cenderung menganggap diri yang paling hebat dan semua orang yang lain adalah pecundang dan penuh kelemahan.
Sikap kepala besar kita makin memuncak, kalau misalnya kita memenangi sebuah perlombaaan atau tim kita memenangi sebuah kontestasi, maka kecenderungan kita adalah membully dan mengolok-olok mereka habis-habisan, sehingga mereka betul-betul kita tempatkan di titik terendah, baik melalui ujaran-ujaran, gambar-gambar, vedeo meme sarkastik, etc.
Kita bisa dengan santai, dengan senyuman dan dengan tertawa kita merendahkan orang lain tanpa disadari oleh orang-orang di sekitar kita yang mendengarnya atau menyaksikannya bahwa sebetulnya kita sedang menghina orang yang tidak kita sukai, karena kita mampu bersilat kata dan mampu menyembunyikannya dengan berbagai cara.
Apalagi kalau orang yang sedang kita bicarakan itu sudah terlanjur mendapatkan stereotip buruk, maka ketika katakan apapun maka semua orang akan percaya. Ini yang terjadi ketika si Farisi berdoa di Bait Allah dan dilihatnya sipemungut cukai itu yang berdiri juga dalam Bait Allah itu pada saat yang sama (Lukas 18:10).
Orang Farisi itu dengan jelas melihat dan memperhatikan dengan seksama si pemungut cukai itu, sehingga tanpa ampun lagi langsung menyimpulkannya sebagai seorang pezinah, perampok, orang lalim dan segala kejelekan lainnya.
Ini Tabiat buruk yang Yesus minta untuk kita hindari. Perhatian kita ke tempat ibadah bukan terutama karena khotbah pendeta, bukan karena ada nona manis atau artis Dewi Persik yang ikut bergereja, tetapi perhatian kita hanya kepada Allah. Kita ke tempat ibadah bukan mencari kepuasaan diri sendiri. Artinya kita tidak datang memuaskan diri sendiri atau bahkan puas dan bangga dengan kebaikan diri sendiri pada satu pihak, dan pada pihak lain merasa puas dengan keburukan orang lain. Bukan itu motifasi kita berdoa. Bukan itu tujuan kita beribadah.
Jika demikian maka inilah yang dikritisi Yesus agar kita mengembangkan tabiat kristiani yang bertumpu pada kerendahan dan kemurahan hati, dan bukanlah keangkuhan dan kedengkian yang menguasai diri kita. Jadi jangan kita hanya selalu membenarkan diri sendiri dan mempersalahkan orang lain! Dan jangan pula hanya selalu membicarakan kelemahan orang lain supaya kita tampak hebat dan kelihatan “top”.
Yesus dalam ajaranNya tentang tabiat kristiani lebih menekankan pembaharuan hati manusia yang jauh lebih penting dari pada penyesuaian lahiriah terhadap hukum-hukum tertulis. Kepatuhan pada hukum harus dilandasi pada kasih kepada sesama, ketaatan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
Bagi Yesus karena itu bukan pelaksanaan hukum secara lahiriah yang dituntut Allah, melainkan motif yang mendasari perbuatan tersebut. Menurut Yesus pertobatan berarti perubahan hati dan bukanlah sikap yang patuh kepada aturan-aturan belaka. Pertobatan adalah penyerahan hati dan kehendak manusia kepada Tuhan. Ini poin penting yang ditunjukkan si pemungut cukai itu.
Jadi kalau kita ke tempat ibadah untuk berdoa, kita tidak datang untuk melihat siapa-siapa, kita tidak datang untuk membandingkan siapa yang terbaik dan siapa yang tidak, kita juga tidak datang karena untuk mencari kepuasan diri sendiri, akan tetapi kita datang untuk mendapatkan rahmat dan pengampunan Tuhan yang berlaku untuk siapa saja. ***