MS GMIT Minta Pemprov NTT Pastikan Kelayakan Fasilitas Bagi Warga Besipae

Tim dari Majelis Sinode GMIT bertemu warga Besipae, Jumat, (14/8-2020). Foto: Ata Bire/JPIT

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Pasca penandatanganan kesepakatan penyelesaian konflik agraria di Besipae, Majelis Sinode GMIT meminta pemerintah provinsi NTT memastikan jaminan kebutuhan hidup yang layak bagi warga 37 kepala keluarga yang digusur.

Hal ini disampaikan Ketua Majelis Sinode (MS) GMIT, Pdt. Mery Kolimon, menyikapi perkembangan konflik atas tanah seluas 3.780 ha, antara Pemerintah Provinsi NTT dan sejumlah warga yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut.

Kendati ke-37 Kepala Keluarga tersebut bukan anggota GMIT, menurut Ketua MS GMIT, peristiwa ini bukan urusan denominasi gereja melainkan urusan kemanusiaan. Oleh karena itu ia meminta para pihak terkait agar mengedepankan pendekatan dialog.

“Urusan ini bukan urusan denominasi gereja tetapi urusan kemanusiaan. Kalau ada masalah silahkan diurus tetapi jangan pakai pendekatan kekerasan. Syukur sudah ada upaya lebih maju melalui penandatanganan ketegasan bahwa tanah itu milik Pemda oleh usifusifyang menyerahkan tanah di waktu lalu,” kata Pdt. Mery.

Untuk diketahui pada 6 Agustus 2020, sejumlah warga Besipae mendatangi Majelis Sinode GMIT dan meminta bantuan advokasi atas konflik dan dampak ikutan yang mereka alami berupa dugaan intimidasi dan kekerasan oleh aparat keamanan yang disiagakan.

Seminggu setelah pertemuan itu, MS GMIT mengirim Tim dan bantuan diakonia berupa bahan makanan dan pakaian untuk para korban di Besipae.

“Berdasarkan laporan dari Tim yang berkunjung ke sana kami komunikasi dengan Pak Gubernur dan Pak Soni Libing dari Badan Asset dan Pendapatan Daerah. Yang kita komunikasikan waktu itu adalah jangan represif pada masyarakat. Kalau ada masalah, silahkan diurus tetapi jangan pakai pendekatan kekerasan. Syukur, komunikasi kita didengar dan pasukan ditarik besoknya. Memang katanya mereka [pasukan] sudah selesai masa tugasnya. Bersyukur pemerintah cukup terbuka mendengar masukan kita,” jelas Pdt. Mery.

Pasca penandatanganan kesepakatan penyelesaian konflik pada 21 Agustus 2020 lalu, MS GMIT mendorong adanya ruang pemulihan relasi antara kelompok-kelompok yang terlibat, baik secara horizontal di antara masyarakat di lapangan, maupun secara vertikal dengan pemerintah.

Permintaan serupa juga disampaikan Ketua Majelis Klasis Amanuban Selatan, Pdt. Yorim Kause. Ia mengharapkan pemerintah memberi perhatian khusus pada pemulihan psikologis bagi anak-anak korban sekaligus meminta warga Besipae tidak ‘mengeksploitasi’ anak-anak untuk kepentingan konflik ini.

Ia juga menjelaskan di atas lokasi tanah seluas 3.780 ha tersebut terdapat asset GMIT berupa enam gedung gereja antara lain; Jemaat Son Halan Oenoni, Pos Pelayanan Meriba Besipae, Jemaat Fatububut, Jemaat Imanuel Maiskolen, Jemaat Ebenhaeser Binel, dan Jemaat Nazaret Taum.

Sesuai percakapan dengan Pemerintah Provinsi, kata Pdt. Yorim, disepakati bahwa gedung-gedung gereja tersebut akan diberikan hak kepemilikan dengan luas sesuai keadaan saat ini. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *