ORANG ALOR-KOLANA BACA INJIL DALAM BAHASA WERSING

(… sambungan dari tulisan sebelumnya dengan judul yang sama)

Kolana-Alor, www.sinodegmit.or.id, Tiba saatnya kami santap malam. Ini moment yang saya tunggu-tunggu. Bukan karena sedang lapar tapi saya mau merasakan makanan laut di sini. Sewaktu di Kalabahi Bapak Amos Sir salah satu tim penerjemah bilang kalau porsi menu makanan di Alor beda dengan suku-suku lainnya. “Kalau orang lain makan nasi dengan ikan, kami orang Alor makan ikan dengan nasi,” begitu kata Bapak Amos. Dan benar juga. Waktu antrean, saya lihat di atas meja tersaji aneka makanan laut yang menggoda lidah.

Bukan hanya aneka masakan dari olahan ikan, ada juga masakan siput mata tujuh (Lat:HaliotisAsinine). Kerang laut ini merupakan jenis siput dengan satu cangkang di bagian atas dan punya 7 lubang di sisi kiri makanya dinamai mata tujuh. Sebelumnya saya pernah lihat kerang ini banyak terdapat di pulau Nuse di Rote. Namun baru kali ini, saya bisa menikmati gurihnya daging kerang yang juga dikenal dengan nama abalone ini.  Sekadar diketahui saja, kuliner dari kerang mata tujuh merupakan salah satu yang termahal di dunia. Di Indonesia satu kilogram daging kering harganya dibandrol 1 juta  rupiah. Tapi di Kolana, kami makan frei alias gratis. Bahkan boleh tambah sepuasnya. Sayang sekali, kandungan kolesterolnya  memperingatkan supaya agar menahan diri.

Usai makan malam kami bersantai di tepi pantai ditemani alunan suara ombak pantai yang seolah mengucapkan selamat datang kepada tamu barunya. Oya,..saya hampir lupa menceritakan bahwa Kolana berbatasan laut dengan negara Timor Leste. Dari tempat kami nongkrong, samar-samar cahaya terlihat di atas kota Dili, ibu kota negara Timor Leste. Pikiran saya menerawang pada sejarah dari negara yang waktu SD saya kenal sebagai provinsi ke-27 Indonesia. Saya bahkan masih hafal betul nama gubernurnya waktu itu: Mario Viagas Carrascalao. Tapi sampai hari ini saya masih bingung, Timor Leste sebenarnya negara bekas jajahan Portugis atau Indonesia atau kedua-duanya.

Meski di wilayah perbatasan, sinyal telepon di sini cukup kuat. Akan tetapi kami tidak berani menggunakannya sebab menyedot pulsa tidak sedikit. Pasalnya, sinyal itu terpancar dari negara tetangga Timor Leste. Itulah sebabnya, selain beruntung tak keluar pulsa, kami juga merdeka dari segala macam godaan era digital yang serba individualistik itu. Kami bisa berbicara sambil menatap bola mata anak-anak Kolana. Tidak seperti di kota, di mana serbuan media sosial bikin orang selalu lupa pada teman di hadapannya lantaran asyik dengan gadget yang mirip papan iris bawang itu.

Pukul 05:00 pagi saya dan Pdt. Emil sudah nonkrong di bibir pantai yang hanya berjarak 10 meter dari rumah tempat kami menginap. Jernihnya air laut diterpa semburat merah sunrisesungguh indah. Bersama teman-teman lainnya, Sepriyanto Tunliu, Johny Banamtuan, Etty Nomleni, Cesarina Fernandes kami menikmati panorama pantai di pagi hari dengan berfoto dan berenang. Suasana makin seru saat anak-anak Kolana membawa sebuah sampan dan kami berlompatan menaiki sampan ketinting kecil itu berputar-putar sambil mendengar anak-anak Kolana berdendang lagu-lagu rohani dalam bahasa Wersing, bahasa mereka sendiri. Sungguh menakjubkan.

Tak terasa lonceng gereja berbunyi. Waktu sudah pukul 08:00. Kami segera berkemas untuk mengikuti kebaktian peluncuran Injil Markus dalam bahasa Wersing. Liturgi, nyanyian, bacaan Alkitab, bahkan khotbah yang disampaikan Pdt. Marthen Mingotu pada kebaktian pagi itu memakai bahasa Wersing.

Ungkapan rasa senang mendengar suara Tuhan dalam bahasa sendiri tak henti-henti disampaikan oleh tetua setempat yang mewakili jemaat menyampaikan sambutan. Terselip dalam sambutan itu, kisah orang-orang tua setempat yang sejak berdirinya gereja dan sekolah tahun 1911, telah berupaya menerjemahkan Injil dan nyanyian-nyanyian gereja dalam bahasa Wersing supaya orang Kolana kenal Tuhan Yesus. Salah satu penatua yang berjasa dalam penerjemahan khotbah dan lagu dari bahasa Melayu ke dalam bahasa Wersing adalah Paulus Mautuka.

“Ba’i Paulus Mautuka selain menerjemahkan khotbah pendeta setiap minggu, ia juga menerjemahkan dan mengajarkan pokok-pokok iman Kristen seperti 12 Perkara Orang Masehi (12 Pengakuan Iman Rasuli), 10 Perintah Allah, Doa Bapa Kami, dan nyanyian-nyanyian dari buku nyanyian Dua Sahabat Lama, Kesukan Kristen, dll. Karya-karya beliau bahkan masih dipakai jemaat hingga hari ini,” ungkap Zet Sone, Ketua Panitia yang juga Penatua dan Kepala Sekolah SD GMIT 50 Kolana.

John Miller, perwakilan dari gereja-gereja di Amerika yang membantu proyek penerjemahan Alkitab yang bekerja sama dengan Unit Bahasa dan Budaya GMIT juga menyambut gembira peluncuran Injil Markus ini.

“Di Amerika ada beberapa Gereja yang mendoakan dan mendukung program terjemahan Alkitab dalam bahasa Wersing. Selain Gereja-gereja itu ada juga orang-orang tertentu yang mendoakan dan mendukung program ini. Saya menyampaikan salam dari mereka semua. Saya berharap akan kembali dan melihat peluncuran yang sama dengan terjemahan Alkitab Perjanjian Baru secara lengkap,” ujarnya disambut tepuk tangan.

Pak Ben Grimes putra dari Prof. Charles Grimes dan Prof. Barbara Grimes, pimpinan UBB GMIT saat menyampaikan sambutan mengaku terharu dengan ibadah peluncuran ini. Mengawali sambutannya ia bicara dalam bahasa Wersing dengan lancar.

“Waktu saya dengar liturgi, lagu dan khotbah yang begitu indah air mata saya sudah mau jatuh. Saya ingat kembali cerita di kitab Wahyu,  bagaimana di Sorga kita kumpul sama-sama dan orang dari setiap suku, bangsa dan bahasa sama-sama memuji Tuhan yang Mulia. Itu gambaran kecil di sorga. Artinya kalau orang Kolana belum puji Tuhan pakai bahasa Wersing, sorga rasanya belum lengkap. Jadi dengan apa yang kita lakukan hari ini, sorga menjadi lebih lengkap lagi. Kadang saya tanya, kenapa Tuhan mau dipuji dalam segala bahasa? Rupa-rupanya kalau kita puji Tuhan hanya pakai bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, itu tidak cukup untuk menggambarkan kebesaran Tuhan. Kalau hanya satu bahasa tidak cukup. Setiap bahasa Tuhan ciptakan unik dan indah. Karena itu gambaran tentang kebesaran Tuhan juga bisa kita alami ketika semua suku, budaya  dan bahasa berkumpul bersama untuk angkat dan puji nama Tuhan. Jadi apa yang kita lakukan hari ini saya yakin menyenangkan hati Tuhan, ” ujar Pak Ben.

Kata Pak Ben, di Indonesia setiap tahun sedikitnya 20 bahasa punah. Kondisi ini menurutnya merupakan sebuah bahaya. Namun dengan upaya yang dilakukan oleh jemaat, klasis dan sinode GMIT dalam kerja sama dengan UBB GMIT, kondisi ini tidak akan terjadi pada bahasa Wersing karena bahasa ini sudah menjadi bahasa tertulis yang bisa dipakai di gereja maupun di sekolah-sekolah. Ia berharap dengan hadirnya Injil Markus dalam bahasa setempat, suara Tuhan bisa menyentuh sampai di dalam hati jemaat. Begitu pula dengan terjemahan lagu-lagu dalam bahasa Wersing yang diharapkan setiap tahun bisa mencapai 50 buah lagu.

Mengakhiri perjalanan kami di Kolana, rasanya tidak lengkap kalau saya melewatkan cerita keceriaan anak-anak Kolana yang begitu bahagia bisa bermain bersama Indi dan Xavi Grimes, putri dan putra dari Pak Ben. Sejak lahir keduanya diajari bahasa Inggris dan bahasa Kupang. Karena itu logat Kupang keduanya persis seperti orang Kupang asli.

Waktu kami tiba, anak-anak Kolana terperangah dengan sosok kedua anak bule ini. Mereka agak malu-malu dan tak berani mendekat karena keduanya bicara dalam bahasa Inggris. Namun sesaat kemudian, mereka gantian bicara dalam dalam bahasa Kupang. Spontan anak-anak Kolana yang baru pertama kali melihat anak bule bicara bahasa yang sama dengan mereka, segera menjadi pusat perhatian. Keduanya diserbu. Xavi dipeluk dan dicium bertubi-tubi. Mereka bermain, berlarian, berlompatan, saling kejar di halaman gereja hingga jauh malam. Anak-anak Kolana baru mau pulang rumah saat kedua kawan mereka yang berasal dari Australia ini masuk kamar tidur.

Pukul 03:00 sore kami pamitan. Sukacita dan haru tampak di semua wajah yang hadir. Dan sebuah kejadian menarik kembali terjadi. Bocah-bocah polos berulah. Mereka punya cara tersendiri melepas Indi dan Xavi. Mereka kerumuni Xavi. Masing-masing berebutan memeluk dan menciumi bocah imut ini seolah mereka tidak akan bertemu lagi dalam hitungan abad. Dan,…Xavi, yang masih duduk di bangku TK ini membalas luapan cinta sahabat-sabahatnya yang baru kenal dua hari ini dengan sikap pasrah sempurna.

Ekspresi cinta anak-anak yang beda suku, ras dan bahasa ini, mengajari saya bahwa Kerajaan Sorga bukan hanya ketika Injil Yesus Kristus diberitakan, tetapi terlebih lagi ketika semua manusia merayakan cinta kasih Allah melampaui batas-batas primordialisme sebagaimana yang ditunjukan oleh Xavi, Indi dan teman-temannya di Kolana.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *