KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Menarik juga. Umat Kristen Indonesia makin “kreatip” saja. Penyaliban Yesus diragakan dengan cara sangat polos. Ada yang rela disalibkan, bahkan di dalam ruang kebaktian.
Kemarin saya lihat di medsos, bahkan ada anak-anak tanggung juga disalibkan.
Saya kira kita perlu merenungkan secara mendalam, apakah peragaan macam itu memang dibutuhkan? Apakah “solidaritas” dengan Tuhan sungguh-sungguh dibutuhkan? Bukankah solidaritas dengan sesama jauh lebih penting?
Bukankah Ia disalibkan, supaya kita tidak perlu disalibkan lagi? Bukankah Ia dilukai supaya kita tidak dilukai lagi? Bukankah Ia dihancurkan supaya kita tidak perlu dihancurkan lagi? Tidakkah kita ingat bahwa oleh bilur-bilurnya kita dipulihkan? Mengapa kita mencari-cari bilur sendiri dengan mengharapkan penyembuhan dari Tuhan?
Sabda Yesus, barangsiapa mengikut Aku harus siap memikul salibnya, tidak berarti secara harafiah kita sungguh-sungguh memikul salib, tetapi kesediaan untuk ikut menderita dengan yang menderita.
Dalam kalimat rasul Paulus, percuma tubuhmu dibakar, tetapi tanpa kasih, itu tidak berarti apa-apa. Ketika Mell Gibson dalam film The Passion of Christ mempertontonkan secara sangat vulgar penyiksaan terhadap Yesus yang memperlihatkan tubuh terkoyak-koyak, ia dikritik keras sebagai mempertontonkan “pornografi” karena menampilkan hal-hal yang mestinya “tabu”. Apakah hal itu betul-betul dibutuhkan sebagai bahan tontonan?
Ketika kita merayakan Jumat Agung dengan khusuk, namun kita tidak peduli dengan TKW/TKI yang dibunuh di luar negeri, maka perayaan kita menjadi hampa. Kita berusaha ber”solidaritas” dengan Yesus namun tidak punya makna karena kita tidak peduli dengan penderitaan sesama. Kita mau mengasihi Allah tetapi tanpa kasih kepada sesama, maka semuanya semu belaka.
Mari kita camkan, bukan kita yang menemukan Tuhan, melainkan Tuhan yang menemukan kita. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Aku yang memilih kamu!” kata Yesus. Selamat merenungkan Jumat Agung dan menyongsong Paskah! ***