Peran Pemuda Untuk Keadilan Alam: Catatan Dari Sekolah Ekologi — Elina Otu

Thailand, www.sinodegmit.or.id, Sekolah Ekologi (Eco-School) 2019 merupakan agenda tahunan World Council of Churches (WCC) yang menyasar anak-anak muda Kristen dari berbagai denominasi. Tahun ini kegiatan difokuskan ke wilayah Asia dan mengambil tempat di Chiang Mai, Thailand. Eco-School telah diadakan pada tanggal 4-17 November 2019 atas kerjasama WCC dengan Christian Conference of Asia (CCA), World Student Christian Federation (WSCF), dan InFaith Community Foundation melalui Evangelical Lutheran Church in America (ELCA).

Kegiatan ini bertujuan untuk memperkokoh persekutuan ekumenis pemuda/i Kristen Asia dalam menghadapi krisis air dan pangan yang berhubungan dengan perubahan iklim. Generasi muda didorong untuk menjadi aktivis-aktivis yang peduli terhadap alam dan kelangsungan hidup semua makhluk. Peserta diberi ruang untuk berbagi pandangan sesuai latar belakang keilmuan dan pekerjaan masing-masing, misalnya dari perspektif teologis, kesehatan, pendidikan, psikologis, dan gender. Peserta juga diperlengkapi dengan pedoman membaca realitas, Alkitab, dan tradisi Kristen secara kritis untuk membangun refleksi dan aksi kepedulian.

Panggilan untuk menjadi aktivis lingkungan didasarkan pada kepercayaan bahwa Tuhan adalah Pencipta yang aktif bekerja di dunia untuk kebaikan semua ciptaan. Tuhan menjadikan manusia sebagai mitra-Nya untuk memelihara bumi secara aktif dan berkelanjutan. Status kita sebagai Imago Dei tidak memberi kita peluang untuk secara brutal mendominasi bumi. Sebaliknya, Imago Dei harus dipahami sebagai mandat yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menjaga bumi dan isinya. Mandat ini bukan hanya tugas dari pemerintah sebagai “wakil Allah” di bumi atau para aktivis lingkungan hidup di Lembaga Swadaya Masyarakat. Tuhan yang selalu bekerja untuk kebaikan ciptaan itu mengutus semua orang untuk terlibat aktif dalam menghadapi krisis air, krisis pangan, dan perubahan iklim yang tengah mengancam bumi hunian kita.

Elina W. Otu (Calon Vikaris di GMIT Talenalain Manulai 1)

Keterlibatan manusia untuk keadilan ekologis itu beragam. Antroposentrisme telah mendorong manusia untuk tidak peduli pada makhluk yang lain. Bumi dibiarkan terluka agar manusia mendapat keuntungan dari proyek pertambangan. Hutan dibakar untuk kebutuhan industri dan perkebunan monokultur. Pohon ditebang karena urbanisasi. Mata-mata air diprivatisasi oleh pemilik modal. Kebiasaan tebas bakar yang lazim ditemui di Nusa Tenggara Timur telah ikut meningkatkan degradasi lingkungan dan memperburuk keadaan di musim kemarau. Makhluk yang paling menderita adalah mereka yang miskin dan spesies langka. Orang miskin mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses ke air bersih, makanan sehat dan tempat tinggal yang memadai. Tidak jarang pilihan bermigrasi ditempuh karena kondisi kampung halaman tidak cukup aman untuk menunjang kehidupan. Sebagian orang terjebak dalam rantai perdagangan manusia yang semakin menyengsarakan kehidupan mereka.  Selain manusia, beberapa jenis hewan dan pohon terancam punah dari bumi karena habitatnya telah dihancurkan.

Anak-anak muda Kristen mesti melihat fenomena kerusakan alam dan penderitaan makhluk bumi sebagai “tanda-tanda akhir zaman”, yang karena itu, dipanggil untuk segera bertindak. Akhir zaman yang dimaksud di sini berhubungan dengan hilangnya keadilan, kesejahteraan dan kedamaian. Bumi bergerak menuju kehancuran oleh sebab ketidakpedulian dan keserakahan manusia. Kita perlu berpikir serius tentang maksud para nabi ketika mereka mengajak bangsa Israel untuk menantikan bumi dan langit yang baru. Harapan profetis terkait lingkungan adalah terciptanya sebuah awal baru di mana orang percaya bersedia terlibat dalam misi “biosentris”, yaitu misi sebagai sebuah gerakan menuju keadilan dan perdamaian bagi segenap ciptaan. Sama seperti para nabi diutus pada masa krisis, orang-orang muda Kristen dipanggil untuk menanggapi krisis ekologi dan sosial dengan iman yang aktif. Kita bertanggung jawab atas kesejahteraan bumi sekarang dan di masa depan. Telah diprediksi bahwa suhu bumi dapat meningkat secara signifikan oleh emisi karbon dan aktivitas tidak bertanggung jawab lainnya. Laporan PBB mengingatkan kita bahwa sekitar lima miliar orang akan terkena dampak kelangkaan air pada tahun 2050. Langkah-langkah alternatif mesti diambil untuk mencegah hal ini, yakni langkah-langkah pemeliharaan alam dan perjuangan Hak Asasi Manusia yang dimulai dari sekarang dan di mana kita tinggal.

Berjuang untuk keadilan ekologis harus disertai dengan memperjuangkan kesetaraan gender bagi masyarakat rentan. Misalnya, kita perlu memperhatikan wanita dan anak-anak yang hidup dalam kemiskinan karena kekeringan, kelaparan, bencana alam, atau konflik. Mereka berisiko mengalami banyak penderitaan dari sisi psikologis dan medis. Masalah yang menambah beban mereka adalah gizi buruk, stunting, kematian bayi dan ibu saat melahirkan, dan penyakit yang berkaitan dengan kurangnya sanitasi. Lingkungan tempat tinggal masyarakat rentan, juga biasanya memiliki tingkat keamanan yang rendah. Dalam konteks ini, perempuan beresiko menjadi korban kekerasan seksual. Beberapa dari mereka diperkosa dan terjebak sebagai korban perdagangan seks. Contoh pelecehan seksual dialami oleh beberapa perempuan penyintas tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Bangunan hunian sementara mereka mudah diintip dan dimasuki oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Melihat kenyataan ini, peserta dan fasilitator selalu mengenakan pakaian hitam pada hari Kamis selama program Eco-School berlangsung sebagai bentuk kampanye “Thursday in Black”. Kami mengundang semua orang untuk peduli kepada masyarakat rentan. Pemuda Kristen tidak boleh berdiam diri ketika melihat penderitaan mereka yang dieksploitasi secara seksual, sosial, ekonomi, dan politik.

Selain itu, aktivisme pemuda adalah gerakan ekumenis yang melampaui batas-batas perbedaan. Tuhan menciptakan bumi untuk dihuni oleh semua manusia, tanpa memandang denominasi, ras, agama, etnis dan perbedaan lainnya. Karena itu, gerakan ini membutuhkan kerja sama lintas batas. Tugas kita adalah membuat sesama kita sadar akan pentingnya mempraktikkan gaya hidup ramah lingkungan dan memelihara bumi. Berkaitan dengan itu maka strategi advokasi dapat ditempuh sebagai langkah bersama. Advokasi bagi pemulihan lingkungan bisa dimulai dari lingkungan gereja atau desa dengan melibatkan tokoh-tokoh kunci di daerah setempat. Diharapkan anak-anak muda bisa mewakili alam dan masyarakat rentan untuk menyuarakan kebutuhan mereka kepada pihak yang berotoritas dalam masyarakat. Tindakan lokal dapat menyumbangkan dampak berharga bagi gerakan peduli lingkungan di lingkup global.

Sebagai orang muda Kristen, kita dapat menggunakan spiral teologi praksis untuk gerakan ini: spiral yang meliputi “konteks, refleksi dan aksi.” Konteks perlu dianalisis dan dimaknai melalui refleksi. Cerita Alkitab atau tradisi Kristen (mis. Kisah Elisa sebagai “nabi air dan makanan” dalam kitab 2 Raja-raja) dan kearifan lokal adalah sumber inspirasi dalam membangun refleksi. Di Thailand, saya dan teman-teman peserta berkesempatan mengunjungi Suku Karen untuk belajar dari mereka tentang peran komunitas dalam menjaga air. Kami juga menghadiri festival Loy Krathong, di mana orang-orang menghayutkan keranjang hias untuk berterima kasih kepada Sang Pelindung air.

Kita di Indonesia pun pasti mempunyai hikmat-hikmat lokal yang dapat kita hayati untuk menghormati alam. Refleksi teologis merupakan dasar dalam mengimplementasikan tindakan nyata bagi keadilan segenap ciptaan di bumi. Aksi-aksi nyata yang patut dilanjutkan antara lain gerakan tanam pohon, konservasi air, seruan menjaga alam, dan gerakan 4 R (Reuse/gunakan ulang, Recycle/daur ulang, Reduce/mengurangi, Restore/memperbaiki). Meski hidup di zaman yang semakin maju dan instan, kita bisa memulai gaya hidup yang lebih baik, seperti mengganti penggunaan plastik dengan benda mudah terurai, mengurangi belanja pakaian, mengonsumsi makanan organik, dan memperbaiki barang yang masih layak pakai untuk mengurangi sampah. Mari kita beraksi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *