Perdagangan Orang Jadi Isu Nasional Dari India sampai Timor Leste (Bagian IV)

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Ketidakseriusan sejumlah negara di Asia memerangi kejahatan perdagangan orang menyebabkan perempuan dan anak-anak menjadi sasaran empuk para mafia untuk dijadikan budak kerja, seks bahkan menjadi ekstrimis.

Berikut ini berturut-turut, peserta dari Kamboja, Australia, Timor Leste, Bangladesh, Myanmar dan Srilanka mengisahkan pengalaman mereka terlibat dalam isu perdagangan orang pada Konferensi Teologi gereja-gereja mitra Global Ministries di Asia Selatan yang berlangsung pada 5-9 April 2018 yang lalu.

Kamboja

Kendati memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, Kamboja sebagaimana negara-negara Asia Selatan lainnya juga menghadapi persoalan perdagangan orang yang pelik. Kea Solida dan Pneun Sonthea, dua anak muda asal Kamboja ini membagikan pengalaman mereka.

Solida dan Sonthea adalah peserta termuda. Solida baru berusia 22 tahun dan Sonthea 27 tahun. Keduanya bekerja di sebuah LSM bernama Children’s Future Internasional, yang memberi perhatian pada pendidikan anak-anak dari pekerja migran yang ditinggalkan oleh orangtua mereka.

Sekali waktu mengunjungi keluarga  buruh migran, Solida mengisahkan bagaimana ia ditolak. Padahal, ia bermaksud mengajak dan menolong anak-anak dari keluarga-keluarga buruh migran untuk bersekolah.

“Anda siapa? Anak kecil baru datang dari kota, kok berani-beraninya suruh anak kami sekolah? Kami tidak punya uang untuk anak sekolah. Lebih baik kami migrasi ke Muangthai saja. Siapa tahu di sana ada laki-laki baik yang mau menikah dengan anak kami,” begitu ia menirukan ucapan orang tua yang menolaknya.

Sama seperti nasib anak-anak di NTT, orang tua buruh migran di Kamboja juga meninggalkan dan menitipkan anak-anak mereka pada kakek da nenek mereka di kampung. Kata Sonthea, kondisi anak-anak itu sangat memprihatinkan. Kebutuhan  makan, kesehatan dan pendidikan mereka tidak terurus. Melalui Children’s Future Internasional, mereka membantu anak-anak untuk mendapatkan pendidikan, memberikan kursus matematika dan bahasa Inggris, konseling, dan sosialisasi migrasi aman.

Australia

Ibu Debora Moerthy mewakili Uniting World (UW). Lembaga ini bernaung di bawah Uniting Church of Australia (UCA). Ia berbagi cerita mengenai peran lembaganya di sejumlah negara termasuk di Indonesia khususnya di NTT.

“Akhir 2016 ada korban yang melapor ke polisi didampingi pimpinan Persekutuan Orang  Flobamora, di Bali. Sekitar 10 orang laki-laki dan perempuan di bawah umur dipekerjakan tanpa digaji selama 10 bulan dan mendapat kekerasan. Mereka berasal dari pedalaman Timor. Sebelumnya mereka tidak pernah ke kota. Rata-rata tidak tamat SD. Para calo memberi uang kepada orang tua mereka dan membawa anak-anak ini dengan janji akan mendapat gaji yang cukup besar.”

Para korban akhirnya mendapat perlindungan sementara di Mahabogamaga, rumah aman milik Gereja Kristen Protestan Bali.

Menurut Debora, data buruh migran asal NTT yang bekerja di Bali 5.252 orang. Namun, hanya 800 yang tercatat di organisasi Perhimpunan Orang Flobamora. Para pekerja ini rata-rata tidak punya keterampilan dan pendidikan yang menunjang pekerjaan mereka sehingga mereka rentan terhadap eksploitasi, pelecehan seksual, dll.

Uniting World menemukan ada beberapa penyebab orang bermigrasi dari kampung halamannya.

“Kita lihat cukup banyak orang yang pergi karena kondisi di tempat asal kurang baik akibat bencana alam dan konflik rumah tangga. Namun, ada juga aspek budaya, misalnya tuntutan belis (mahar) yang menjadikan perempuan sebagai komoditi. Perempuan diperjualbelikan pada saat menikah dan kemudian diperlakukan dalam keluarganya sebagai komoditas yang bisa diperas untuk ganti belis itu. Biaya adat bisa juga menjadi penyebab orang mencari sumber keuangan di luar,” jelas Debora yang sudah 20 tahun bekerja di Uniting World.

Menanggapi aneka persoalan tersebut lembaganya melalukan pemberdayaan di daerah-daerah rentan melalui pemberdayaan ekonomi. Dengan GMIT lembaga ini bekerja sama dengan Yayasan Tanaoba Lais Manekat (TLM) dan di GKI Tanah Papua ada pemberian bantuan untuk warga di Yahukimo.

Timor Leste

“Perdagangan orang bukan isu utama di Timor Leste (TL). Isu sosial yang menonjol di negara yang dulu menjadi provinsi ke-27 Indonesia ini adalah kekerasan, perlindungan anak dan gender,” ungkap Pdt. Albino da Costa dari Fundasaun Sosial Naroman (FUSONA).

“Daerah-daerah diperbatasan seperti Oecusse, Maliana dan Suai, dimana ada banyak jalan “tikus” menjadi tempat transaksi dan jalur pengiriman illegal, baik masuk maupun keluar. Daerah-daerah ini juga menjadi tempat prostitusi yang melibatkan anak-anak gadis dibawah usia. Oknum polisi perbatasan juga terkadang terlibat dalam bisnis haram ini. Menurut pengakuan beberapa korban yang dilaporkan, mereka dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang mahal. Namun kemudian mereka dipekerjakan di bar atau diskotik dan atau menjadi wanita panggilan dengan harga yang mahal. Kebanyakan mereka melalui jalur perbatasan berasal dari Indonesia.”

Bangladesh

“Bangladesh merupakan negara yang sangat rentan kejahatan perdagangan orang. 70% korbannya adalah perempuan, dan selebihnya adalah anak-anak di urutan kedua. Dalam budaya kami perempuan dianggap komoditi. Pada umumnya orang yang melakukan kejahatan pada perempuan tidak mendapat hukumnan. Ada juga budaya poligami,”  ujar Pdt. David Das dari Bangladesh.

Menurutnya, selain kemiskinan, faktor pemicu perdagangan orang dan buruh migran adalah, bencana alam (banjir), perubahan iklim dan pendidikan yang rendah. Ada juga orang tua atau suami yang menjual harta (tanah dan rumah) juga menjual istri dan anaknya untuk mendapatkan modal kerja di tempat lain. Meski begitu, tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah – masalah itu.

Masalah lainnya adalah perdagangan perempuan untuk pekerja seks. Mereka dikirim ke India dan beberapa negara di Asia. Ada juga buruh kasar yang dijual ke Timur Tengah. Sebagai negara Muslim, Bangladesh juga rentan dengan kelompok teroris ISIS yang merekrut anggotanya di sini.

Myanmar

Pdt. Pau Liang Mang dari Tedim Christian College, memulai presentasinya dengan berbagi cerita mengenai sejarah negaranya yang mewarisi konflik berkepanjangan, baik antar etnis maupun antara militer dan sipil.

“Ini salah negara paling miskin di dunia sama seperti Bangladesh. Struktur ekonomi kolaps dan korupsi ada dimana-mana. Ada kerja paksa, ada juga anak-anak yang dipaksa jadi tentara. Kelompok-kelompok bersenjata sangat kuat. Kejahatan pemerkosaan terhadap perempuan, migrasi legal maupun ilegal dan perdagangan orang cukup menonjol di Myanmar. Namun, belum ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mengatasinya.” kata Pdt. Mang.

Sebagai minoritas, gereja-gereja di Myanmar melakukan advokasi dan sosialisasi migrasi aman kepada masyarakat.

Srilanka

Pdt. Rohann Premranjan dari Srilanka juga punya pengalaman yang kurang lebih sama dengan cerita perdagangan orang di Bangladesh. Umumnya perempuan muda dan anak diperdagangkan untuk tujuan seks dan pekerja murah di Malaysia, Singapura dan Timur Tengah. “Ada beberapa kementerian, kata Pdt. Rohaan yang berupaya menangani persoalan-persoalan ini namun belum cukup berdampak luas.

Usai presentasi, beberapa peserta menanyakan sikap pemerintah Bangladesh dan Myanmar terkait pengungsi Rohinga. Isu ini kemudian dibahas dalam kelompok. (bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *