Pantar-Alor, www.sinodegmit.or.id, Salah satu unsur penting dalam gerak maju sebuah organisasi adalah perencanaan. Pasalnya, perencanaan yang baik adalah setengah dari menyelesaikan aneka persoalan.
Itulah salah satu tujuan yang hendak dicapai dari Training of Trainers (ToT) UPP Teologi MS GMIT, bertema “Perencanaan Pelayanan dalam Format Lingkaran Hermeneutis” yang berlangsung di Kabir-Pantar Timur sejak 22-24 Oktober 2018. Kegiatan ini melibatkan 76 peserta dari 9 klasis se teritori Alor Tribuana.
Secara garis besar, materi-materi ToT ini mencakup antara lain: Memahami Misi GMIT di bidang sosial ekologis, kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam, tahapan-tahapan analisis sosial, refleksi teologis, latihan membuat perencanaan panca pelayanan berdasarkan konteks dengan alat bantu analisa sosial yang tersedia dan terakhir advokasi dan pengorganisasian masyarakat.
Hari ketiga sekaligus hari penutup, menjadi hari latihan. Mulai dari latihan mengidentifikasi masalah, menganalisi, membuat refleksi teologis dan memetakannya dalam rencana program panca pelayanan; koinonia, marturia, diakonia, liturgia dan oikonomia. Peserta dibagi dalam kelompok-kelompok sesuai klasis masing-masing. Diskusi-diskusi di setiap kelompok berlangsung serius. Begitu pula saat presentasi. Masing-masing kelompok menyampaikan pikiran terbaik dari diskusi mereka.
Refleksi teologis merupakan tahapan penting. Inilah yang membedakan karya gereja dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. Gereja mendasarkan misinya pada karya keselamatan Allah yang dikerjakan oleh Yesus Kristus sebagaimana dicatat para penulis Alkitab. Pdt. Niko Lumba Kaana dan Pdt. John Campbell Nelson yang mengasuh materi ini, mengajak peserta untuk menemukan perikop-perikop dalam alkitab yang menegaskan misi gereja terutama yang berkaitan dengan konteks sosial jemaat dan membuat semacam stetament misiologis terhadap isu yang diangkat.
Hingga memasuki tahap perencanaan program yang materinya disampaikan Pdt. Mery Kolimon, peserta tampak semakin utuh pemahamannya. Bahwa merencanakan program pelayanan tidak boleh asal-asalan; asal jadi atau asal ada. Perlu waktu, ketajaman berpikir, data dan fakta, permenungan teologis, keterlibatan pihak-pihak yang kompeten, dampak program dan seterusnya. Itulah lingkaran hermeneutis yaitu sebuah upaya memahami kehendak Tuhan melalui aksi dan refleksi secara terus menerus. Upaya ini sepatutnya dijadikan patokan oleh semua pelaku pelayanan di lingkup jemaat, klasis dan sinode dalam merencanakan program-program pelayanan gereja.
“Pertama, saya berharap kegiatan seperti ini dapat dilakukan paling kurang sekali dalam empat tahun sebelum persidangan jemaat atau klasis. Kedua, kita paham sekali alkitab tetapi belum tentu kita semua punya kecakapan membaca masyarakat atau analisis sosial, karena itu undanglah pihak-pihak yang bisa membantu kita. Kalau isu yang dihadapi adalah lingkungan hidup, undanglah mereka yang ahli dibidang itu, dan seterusnya,” pesan Ketua MS GMIT saat menutup kegiatan ini.
Pdt. Moses Lapiweni, Ketua Klasis Pantar Timur yang wilayahnya meliputi 32 jemaat dengan 17 pendeta perempuan dan 1 pendeta laki-laki ini, memberi apresiasi atas pelaksanaan kegiatan ini.
Bagi saya ini suatu pembelajaran yang sangat penting bagi para pelayanan dan warga jemaat. Mengapa? Karena sering orang mengira tugas gereja hanya memberitakan Injil, hanya berdoa dan bernyanyi. Gereja belum dilihat sebagai lembaga yang juga terlibat dalam pendampingan hak-hak warga negara. Ini kegiatan yang sangat berharga bagi kami,” ujarnya.
Pdt. Mery Djami, Ketua Majelis Jemaat GMIT Pniel Kolana, juga senada. “Kegiatan ini sangat menolong kami terutama dalam hal merencanakan program. Biasanya ketika bikin program kita melenceng dari RIP (Rencana Induk Pelayanan, red.) dan HKUP (Haluan Kebijaksanaan Umum Pelayanan). Jadi, ini sangat menolong kami dalam mengelola sistem pelaksanaan program di klasis dan jemaat sehingga lebih sistematis dan terukur.”
Sebagaimana diceritakan sebelumnya, materi-materi selama 3 hari itu cukup padat. Peserta mau tidak mau harus marathon mengikuti jam-jam kegiatan yang melelahkan. Oya, jangan salah sangka. Bukan hanya peserta yang lelah. Yang tidak kalah berletih lelah dalam pada setiap kegiatan gerejawi adalah seksi konsumsi yang kebanyakan menjadi urusan ibu-ibu, remaja, pemuda dan anak-anak. Mereka bangun subuh sebelum peserta bangun pagi dan baru tidur setelah semua peserta lelap. Urusan mereka mulai dari cari kayu api, timba air, cuci peralatan makan-minum, sembelih hewan, belanja di pasar, bersihkan bumbu, potong sayur, potong daging, pilih beras, tumbuk jagung, bikin adonan kue, memasak, aduuuh…pokoknya banyak sekali. Terlalu panjang bila didaftar satu persatu.
Jadi jangan anggap enteng seksi urusan perut ini. Gara-gara jam makan yang seringkali molor, terpaksa mereka membunyikan gong keras-keras, agar peserta disiplin dalam jadwal makan. (bersambung)