PERJALANAN MENENUN PERSEKUTUAN DI KUAN* AMANATUN

Senin, 7 Juli 2017. Jam menunjukan pukul 5:00 pagi. Natan Mana’o, sopir ketua Majelis Sinode (MS) GMIT menjemput saya. Di dalam mobil sudah ada Pdt. Dr. Mery Kolimon. Pagi ini kami berangkat menuju Klasis Amanatun Utara. Inilah pengalaman pertama saya mengunjungi pedalaman pulau Timor mendampingi Ketua MS GMIT dalam rangka visitasi di jemaat.

Kami menumpang mobil toyota hillux. Mobil ini baru saja dibeli MS GMIT dari hasil penjualan mobil nissan terano yang sering “rewel” minta suku cadang baru. Hillux memang lebih cocok menjelajahi  kondisi medan pegunungan yang terjal dan berlumpur.

Mobil meluncur mulus sepanjang jalan Timor Raya hingga jembatan Noelnima dan berbelok ke kanan di ujung jembatan menuju arah Kolbano. Kami berhenti sejenak di pasar Batu Putih. Pdt. Mery turun sebentar membeli ubi bakar sebagai bekal perjalanan kami.

Memasuki desa Toineke kecamatan Amanuban Timur, tiba-tiba terdengar bunyi gedebruk di bawah kolong mobil yang disusul suara jeritan keras. Rupanya terjadi kecelakaan kecil. Mobil menabrak seekor anjing. Pdt. Mery tersentak dari tidur dan menanyakan apa yang terjadi. Tak mau disalahkan, om Natan dengan polos menjawab,  “Bukan mobil yang tabrak anjing tapi anjing yang tabrak mobil.” Kami tertawa mendengar jawaban om Natan yang asal kena. Tak tahu pihak mana yang benar. Yang jelas anjing tak bisa dimintai keterangan. Habis perkara.

Teriakan nyaring canis lupus familiaris (Latin: anjing) menghilang seiring deru mobil yang makin menjauh. Saya teringat ritus kasi dingin barang baru yang biasa dipraktikan agama suku di berbagai pelosok NTT. Menurut kepercayaan tradisional, rumah baru, kebun baru, kendaraan baru dst-nya, merupakan “barang panas” yang mesti terlebih dahulu “dikasi dingin” sebelum dipergunakan. Ritus ini membutuhkan darah hewan seperti anjing, babi, domba dan ayam. Darah binatang diyakini memberi  keselamatan dan dapat menghindarkan pemilik dari celaka.

“Bae su, inianjing ju tau kalau kotong lagi kasi dinginoto jadi dia datang sorong diri,”canda saya, yang langsung dibalas Pdt. Mery, “To’o*mulai cari pembenaran su.Untung koanjing bangun lari kalau  sonde kotongdapat denda pagi-pagi.”

Sejuknya udara pagi ditimpa cahaya matahari yang menyembul di ufuk Timur mengawal kami melintas persawahan yang baru saja panen. Di kejauhan tampak perbukitan hijau yang masih diselimuti kabut tipis. Saya melirik ke arah angka-angka spidometer mobil yang terus berganti. Rasa pegal mulai menggerayangi tubuh. Padahal,  kami baru menempuh sekitar 80 kilometer atau seperempat dari rute yang harus kami lewati.

Saya tersadar ketika badan terguncang-guncang. Rupanya kami sedang memasuki jalanan rusak sepanjang belasan kilometer dari kampung Menu sampai Boking di wilayah kecamatan Amanatun Selatan sampai di kecamatan Amanatun Timur. Tubuh terhempas ke kiri-kanan, depan-belakang membuat badan sakit dan kaki terasa kram.

“Lebih seru diterjang ombak selat Pukuafu yang ganas di bulan Juli selama 20 menit dengan kapal cepat menuju pulau Rote daripada terpental ke sana kemari dalam mobil melintasi perbukitan terjal pedalaman pulau Atoni Pah Meto berjam-jam,” gumam saya dalam hati.

Empuknya kursi mobil dengan seat belt yang terpasang rapat di badan, saya rasakan bagai orang sinting yang terpasung ketimbang merasa jadi orang penting lantaran semobil dengan orang nomor satu di GMIT.

“Ah.., kalau saja saya melayani di jemaat Hosana Naiotel, mungkin saya sekarang menikmati air kelapa muda. Atau, bila saya di Rote, bisa jadi saya lagi meneguk tuak manis dan makan ikan bakar sambil bersantai memandang gerombolan burung bangau di tepi pantai Sai di Oebole-Dengka,” pikir saya melayang mengingat dua jemaat kecil yang pernah saya layani sebelum beralih jadi orang kantoran. Meski leher terasa kering namun bila mengenang air kelapa muda dan tuak manis di dua kampung tersebut,  tangan saya rasanya berat membuka tutup botol air mineral yang kami bawa.

Apakah Pdt. Dr. Mery Kolimon juga pernah berpikir konyol seperti saya? Bermimpikah ia akan jadi orang nomor satu di gereja Protestan dengan umat sekitar 1,5 juta atau terbanyak kedua di Indonesia yang menyita waktu serta menguras tenaga dan pikiran yang tidak sedikit?

Bukankah lebih nyaman menjadi pendeta di jemaat? Bila melayani di Semau bisa makan daging rusa bakar atau  menyelam sambil menikmati eloknya terumbu karang di Pulau Kepa di Alor atau berselancar di pantai Nemberala-Rote. Apalagi di Labuhan bajo dengan gugusan pulau-pulaunya yang menawan.

Bila mengingat putri saya yang baru belajar bicara dan memanggil papa…papa…sambil menyorongkan tangannya yang mungil di depan pintu menyambut saya setiap kali pulang, bisa saya merasakan betapa rindunya Abe, putra bungsu Pdt. Mery yang berusia 5 tahun yang sering ditinggal berhari-hari karena panggilan tugas bundanya. Bukankah setiap anak merindukan pelukan ibunya saat malam merengkuh mimpi-mimpinya?

Begitu pula Om Natan. Ia telah mendedikasikan hidupnya menjadi sopir selama 37 tahun bagi ketua-ketua Majelis Sinode GMIT bahkan pahlawan nasional I.H. Doko pun pernah jadi dewa Hermesnya. Kami bisa tidur sejenak bila tak sanggup membunuh rasa kantuk tapi bagaimana dengan om Natan? Di dunia otomotif hanya berlaku satu hukum saat menyetir: Sopir dilarang tidur atau bila sampai tertidur akibatnya bisa jadi tidur dengan tenang dalam keabadian.

Apa yang membuat kami terjebak dalam dunia yang penuh risiko ini? Lantaran kaki Sang Juruselamat yang terpaku itukah sehingga kaki kami harus meneruskan jalan-Nya?

Mobil kembali melaju mulus memasuki kabupaten Malaka. Hutan pisang jadi pemandangan umum sepanjang jalan di halaman rumah maupun kebun penduduk. Tumpukan tandan pisang matang siap jual tergeletak di jalan-jalan menunggu mobil-mobil truk pengangkut menuju Kupang.

Pdt. Mery menelpon vicaris (calon pendeta) yang menjemput kami. Di persimpangan jalan kampung Hauhasih kami berpapasan. Mobil berbelok ke kiri menuju jemaat tempat dilaksanakannnya rapat berkala. Kembali mobil merayap karena kubangan lumpur sepanjang jalan desa akibat hujan yang baru saja reda. Warga desa dan anak-anak yang berjalan kaki ke sekolah tak henti-henti menyapa kami dengan ramah meski kami tak saling kenal. Hal yang lazim bagi orang desa namun belum tentu bagi orang kota.

Kendati tubuh terpental kian ke mari saya terpesona memandang lopo-lopo (rumah tradisional orang Timor) yang berbentuk kerucut sepanjang jalan. Saya mengambil kamera lalu menyorotkan lensa ke segala arah. Meski awam soal kamera saya berlagak seperti fotografer profesional. Jepret sana-sini padahal ujung-ujungnya didelate juga karena hasilnya bikin sakit mata. Tak apalah. Bukankah kata peribahasa “ala bisa karena biasa”?

Tepat di sebuah papan nama yang sudah miring bertuliskan PAUD Imanuel Makafa, sepeda motor yang mendahului kami berbelok. Inilah jemaat yang menjadi tuan rumah rapat berkala. Kami turun dari mobil menuju gedung kebaktian jemaat GMIT Imanuel Makafa disambut ketua Majelis Klasis Pdt. Ivon Peka dan rekan-rekan pendeta lainnya bersama jemaat yang hadir.

Dari arah dapur gereja ibu-ibu tampak sibuk. Asap kayu bakar dari tungku masak mengepul menembus celah-celah atap dapur yang yang terbuat dari daun gewang. Sesaat kemudian beberapa gadis remaja menghampiri kami dengan piring-piring berisi pisang dan ubi. Satu per satu pisang luan rebus dan goreng serta teh dan kopi panas segera bermigrasi ke dalam lambung yang bergemuruh sepanjang 217 kilometer dari Kupang.

Usai mengisi perut, rapat berkala klasis dimulai. Belasan remaja perempuan mengenakan kebaya dan sarung adat sibuk di ruang konsistori. Rupanya mereka sedang mempersiapkan acara penyambutan. Kami disambut secara adat dengan natoni (tuturan adat) oleh anak-anak remaja tadi. Seorang anak perempuan didaulat bicara natoni. Inilah pertama kali saya lihat remaja perempuan Timor bicara dalam bahasa adat. Padahal di antara para remaja perempuan itu ada juga empat anak laki-laki yang berdiri di barisan belakang. Apakah ini sebuah terobosan budaya? Ataukah ini gerakan emansipasi perempuan melawan dominasi laki-laki?

Kepala saya tak sempat lagi memikirkan jawaban pertanyaan tersebut karena harus menunduk untuk dianugerahi selendang. Motif kain tenun Timor Amantun memang unik dan indah. Kata Pdt. Mery, sehelai kain tenun di sini seharga dua juta rupiah.  Namun, di Bali, harganya dibandrol 12 juta rupiah atau naik harga 5 kali lipat. Saya terhenyak mendengar angka sejagat itu. Bukan soal jumlahnya yang fantastis tapi lonjakan harga antara pengrajin lokal dan distributor yang bikin saya geleng kepala.

Untuk menghasilkan sehelai kain, ibu-ibu di kampung menghabiskan waktu minimal satu bulan. Sementara distributor bermodal besar yang cuma tahu jadi dan jual meraup untung tak kepalang tanggung. Belum lagi bila kain tenun sudah menjadi busana indah di tangan desainer. Bisa dibayangkan berapa keuntungannya.

Kadang saya rasa jengkel menyaksikan presenter-presenter  TV yang tampil memukau dengan balutan pakaian tenun adat NTT namun asal muasal tenunan tidak disebut sama sekali dalam runing teksdi akhir program acara. Yang mendapat nama justru desainernya. Ibarat pepatah “kerbau yang punya susu; sapi yang dapat nama”.  Ini pelanggaran hak cipta yang serius.

Bangsa ini mencak-mencak ketika negara tetangga mencaplok hak paten atas beberapa produk budaya nusantara padahal pelanggaran yang sama terus terjadi di dalam negeri secara masif di depan mata. Sebagai gereja suku, Gereja Masehi Injili di Timor perlu bicara dan memperjuangkan hak paten guna melindungi dan merawat warisan budaya serta karya seni warganya.

Rapat berkala yang pimpin ketua klasis berlangsung lancar dan wajar. Tak ada yang berbeda apalagi kikuk karena dihadiri ketua MS GMIT. Pdt. Ivon, membaca laporan kegiatan pelayanan, evaluasi dan diskusi. Ketua majelis sinode tidak bicara apa-apa kecuali jari-jemarinya yang terus menari di atas gadgetnya sepanjang rapat berlangsung. Ia mendengar dan mencatat hal-hal penting dalam rapat. Sesekali ia bangun dari tempat duduknya dan berpindah ke kursi belakang sambil terus mengamati proses persidangan.

Guna mengobati rasa penat, saya mendekati  seorang bapak yang sedang menikmati sirih pinang di teras gereja. Saya memantik percakapan soal teku (bhs. Timor yang berarti: perampok/pencuri). Sekitar tahun 80-an, Amanatun sangat terkenal dengan sindikat perampok berkelompok ini. Kisah tentang para teku yang mencuri di malam bahkan siang hari menyebar di seantero pulau Timor. Hewan piaraan seperti sapi, babi, kambing juga uang dan harta benda lainnya disapu bersih oleh mereka tanpa ampun dan kasihan. Konon, mereka memakai ilmu hitam sehingga sulit ditangkap polisi.

Meski pernah menyandang nama sebagai kampung teku, namun orang Amanatun sangat baik hati. Mereka pantang meminta imbalan kepada barangsiapa yang meminta makanan.  “Pak, boleh minta kelapa, kacang hicau, jagung, pokoknya makanan yang kami punya tanpa harus beli. Itu kami orang Amanatun punya baik,” tutur Enos Mellu (40) dengan bangga sambil mengunyah sirih pinang.  Saya pun membatin, kalau terhadap orang luar yang mereka belum kenal saja penduduk di sini begitu baik hati apalagi para pendeta yang bekerja di sini. Pasti mereka tak pernah membeli makanan. Beda dengan kami yang melayani di kota terutama di Kupang. Tak ada yang gratis.

Sidang memasuki agenda terakhir. Pdt. Mery diberi kesempatan berbicara. Ia mengapresiasi kerja keras para pendeta, memberi motivasi, menjawab pertanyaan yang diajukan peserta sidang, menawarkan ide-ide kreatif tapi juga mengkritisi model-model pelayanan yang monoton. Tak lupa ia mengingatkan para pendeta agar menjaga sikap dan perilaku di tengah-tengah jemaat maupun cara berkomunikasi di media sosial.

Selaku ketua Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Komunikasi dan Informasi MS GMIT saya tak menyangka diberi kesempatan olehnya untuk bicara dalam persidangan ini. Saya menjelaskan tentang literasi media terutama bagaimana memanfaatkan media sosial untuk mengembangkan pelayanan gereja semisal menulis pengalaman-pengalaman iman yang inspiratif di facebook atau di media cetak dan online milik gereja.

Usai bicara, saya tersadar akan percakapan-percakapan saban hari dalam rapat-rapat di kantor majelis sinode, terutama berkaitan dengan keterbatasan anggaran dalam menjemaatkan produk-produk sinode, semisal hasil-hasil keputusan, peraturan-peraturan gereja dan program-program yang bersentuhan dengan jemaat dsb-nya.

Maksudnya, jikalau setiap kunjungan Majelis Sinode ke jemaat-jemaat turut mengikutsertakan Badan Pembantu Pelayanan (BPP) dan UPP untuk mensosialisasikan hal-hal yang dibutuhkan di lingkup jemaat atau klasis, maka tidak perlu lagi double anggaran belanja di lingkup majelis sinode, klasis dan jemaat alias sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Gereja jangan sampai meniru sikap mental proyek seperti yang terjadi di beberapa instansi pemerintah yang banyak menghamburkan uang rakyat untuk beberapa proyek di lokasi yang sama. Sebut saja trotoar yang saban hari dibongkar oleh tukang ledeng, bulan depan dibongkar lagi oleh si tukang listrik dengan dalih perbaiki kabel. Tak berhenti di situ, bulan berikut, eh…dibongkar lagi sama tukang halo-halo. Begitulah model proyek bongkar pasang atas nama pembangunan yang sudah jadi ritual tahunan di republik yang sakit mental ini.

Tak terasa bohlam listrik menyala. Siang berganti malam. Terang bertukar gelap. Kami telah melewati hari yang melelahkan namun sangat berkesan. Rapat yang berlangsung sekitar 7 jam diakhiri dengan doa syukur pada Tuhan Yesus Kepala dan Pemilik Gereja.

Saya kagum pada sahabat-sahabat saya para pendeta di klasis Amanatun Utara. Laki-laki dan perempuan. Saya jatuh kasihan pada beberapa anak kecil yang terpaksa dibawa orang tuannya mengikuti rapat. Dengan sepeda motor mereka menerobos gelap malam, melintasi jalanan terjal, hujan, lumpur dan debu. Menaiki gunung. Menuruni bukit dan lembah. Menyeberang sungai. Melewati hutan. Menerjang angin malam demi kesetiaan pada janji yang pernah diucapkan kepada Sang Pemilik Gereja tatkala pertama kali mengenakan jubah hitam.

Mobil perlahan bergerak. Saya menarik napas panjang, mengingat buah hati saya yang baru berusia satu tahun empat bulan bersama ibunya di ujung kilometer 217. Jam di handphone menunjukan pukul 19:20. Otak saya rasanya berat memikirkan pukul 1:00 dini hari. Lima jam lagi barulah kami akan tiba di Kupang. ***

*Kuan: kampung,

*To’o: sapaan akrab di kalangan orang Rote yang berarti  paman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *