KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Perhimpunan Perempuan Berpendidikan Teologi (PERUATI) menyelenggarakan Training of Trainer (ToT) bertema “Gender Justice”. Kegiatan ini berlangsung selama 4 hari sejak Selasa, 21-24/11-2017 di jemaat Ebenhaeser Matani, klasis Kupang Tengah. Kupang merupakan kota kedua setelah sebelumnya kegiatan yang sama digelar di Manado.
Ketua PERUATI, Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, M.Th, mengatakan bahwa tujuan dari ToT ini adalah memberi penguatan kapasitas bagi para peserta yang kebanyakan pendeta terkait isu ketidakadilan gender bagi kaum LGBT (Lesbian, Gay, biseksual, Transeksual).
“Keadilan gender yang kami maksud tidak hanya keadilan gender bagi perempuan yang selama ini mengalami kekerasan, penindasan dan diskriminasi tapi lebih pada ketidakadilan gender bagi kaum LGBT. Kami di PERUATI memang secara sadar menyikapi fenomena LGBT sebagai bagian dari kehidupan bersama dalam gereja maupun dalam masyarakat.”
Terkait kontroversi di sekitar isu LGBT, Pdt. Dr. Stephen Suleeman, salah satu nara sumber dalam kegiatan ini mengemukakan bahwa gereja tidak perlu merasa aneh dengan kehadiran LGBT karena mereka juga bagian dari gereja.
“Seharusnya kaum LGBT diterima sebagai salah satu dari saudara-saudara kita. Mereka dilahirkan dengan orientasi seksual yang berbeda, hampir sama dengan orang yang dilahirkan kidal atau bermacam hal lain seperti orang yang lahir dengan badan pendek dsb, jadi mestinya kita menerima mereka sebagaimana adanya, nggak ada masalah. Cuma, saya pikir gereja merasa kuatir karena tidak mengenal mereka dan menganggap apa yang mereka alami sebagai kelainan, keanehan, berbahaya yang bisa menggangu kehidupan masyarakat.”
Dalam ToT ini, peserta juga belajar salah satu metode tafsir yang disebut hermeneutik biblikal kritis.
“Kita memulai dengan bagaimana melihat teks-teks Alkitab yang berkaitan dengan isu keadilan gender. Kami menggunakan metode yang diperkenalkan oleh teolog feminis Elisabeth Fiorenza, di mana bukan hanya biblical semata tetapi juga pengalaman orang diberi tempat dan bagaimana kedua hal itu dipertemukan,” kata sekretaris PERUATI, Pdt. Ratnawaty Lesawengen.
Pada kesempatan ini, Liny Zurnia, Koordinator Advokasi dari LSM Arus Pelangi, yang juga menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa ada tiga institusi yang paling menyumbang bagi ketidakadilan gender dalam masyarakat yakni: agama, negara dan adat. Namun menurutnya pada saat yang sama, institusi-institusi tersebut terutama agama-agama memiliki nilai-nilai pembebasan.
“Di Islam misalnya kita kenal Nawal el Saadawi atau di Kristen ada Elisabeth Fiorenza, teolog-teolog ini memberi kontribusi bagi teologi feminis namun pada saat yang sama mereka tidak cukup mendapat ruang dalam agama karena agama-agama masih mempertahankan kekuasaannya dengan cara-cara patriarkal,” ungkapnya.
Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon yang memberi sambutan dalam kegiatan ini mengatakan bahwa sejauh ini keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam GMIT memperlihatkan kemajuan dari sisi angka namun indikator keadilan gender bukan pada soal angka.
“Kami bersyukur kepemimpinan dan keterlibatan perempuan di GMIT sudah cukup maju. Sekitar 60% dari 1300-an pendeta kami adalah perempuan. Bahkan dalam sejarah kami Majelis Sinode Harian periode 2015-2019 terpilih 4 perempuan dan 1 laki-laki. Meski begitu kami sadar benar bahwa perhatian kita bukan pada angka. Angka memang penting untuk melihat partisipasi perempuan dalam gereja tetapi yang harus kita kejar adalah kualitas kehadiran perempuan,” ungkap peraih penghargaan internasional Sylvia Michel Prize 2017 ini.
Pada kegiatan ini panitia juga mengundang Komunitas LGBT NTT, untuk mendengarkan kesaksian mereka mengenai persoalan-persoalan yang mereka hadapi.***