KUPANG, www.sinodegmit.or.id. Sebanyak 74 jemaat di wilayah pelayanan Klasis Kupang Tengah menggelar persidangan majelis klasis di jemaat Getsemani Tarus Timur. Persidangan yang bertujuan mengevaluasi program pelayanan tahun sebelumnya ini dihadiri oleh seluruh pendeta dalam wilayah klasis sebanyak 93 orang. Persidangan ini mengusung tema periodik “Yesus Kristus Adalah Tuhan” dan Sub Tema “Berdasarkan Karya Kristus yang Memperbaharui kita Berkarya untuk Perubahan dan Pembaharuan Diri, Gereja dan Masyarakat.”
Selain dihadiri Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon, tampak juga perwakilan dari pemerintah kabupaten Kupang, yakni asisten II Charles Amekan dan beberapa anggota DPRD: Nelson Matara, Jerry Manafe dan Soleman Dethan. Persidangan diawali dengan ibadah pembukaan yang dipimpin oleh Pdt. Dr. Mesakh Dethan.
MANUSIA BIANG KEHANCURAN
“Apakah pada hari kiamat Tuhan akan menghancurkan dunia? Dengan cara apa? Apakah dengan air bah seperti zaman Nuh ataukah dengan api sebagaimana dikatakan surat Petrus? Di mana kesaksian Aliktab yang mengatakan bahwa Tuhan akan menghancurkan bumi ciptaan tangan-Nya sendiri?” Demikian pertanyaan Pdt. Dr. Mesakh Dethan mengawali khotbahnya.
Jawaban yang diberikan kebanyakan orang atas pertanyaan di atas biasanya menunjuk pada kitab Wahyu 21. Bahwa dunia ini akan dihancurkan oleh Tuhan dan digantikan dengan dunia yang baru sama sekali. Pdt. Dr. Mesakh Dethan menolak tafsiran yang demikian. Menurutnya, fakta membuktikan bahwa kehancuran dunia bukan diawali dari Tuhan tapi justru dimulai oleh manusia sendiri.
“Banyak data menunjukan bahwa manusia dengan perilakunya secara perlahan-lahan menghancurkan dunia di mana dia tinggal. Tiap tahun setiap kota di dunia menghasilkan 1,3 milyar ton sampah. Tahun 2025 jumlah ini meningkat 2,2 milyar ton. Di Indonesia setahun setiap orang menghasilkan 700 sampah kresek (kantung plastik). Bahkan di tahun 2015 dua kampung di Jawa Barat hilang dari peta karena hantaman longsoran sampah.”
Ia juga menambahkan bahwa cara pandang gereja yang memandang dunia secara negatif mengakibatkan gereja turut andil dalam pengrusakan alam. Ia mencontohkan penebangan hutan-hutan keramat di Timor pada masa penginjilan oleh jemaat dan para utusan Injil karena pepohonan dijadikan tempat berhala.
Melalui Wahyu 21:1-8 yang menjadi refleksi khotbahnya, Pdt. Mesakh Dethan mengajak jemaat untuk merubah cara berteologi yang memandang dunia sebagai musuh. Menurutnya langit dan bumi baru dalam pandangan Yohanes tidak menunjukan satu indikasi bahwa Tuhan akan menghancurkan langit dan bumi yang lama, tetapi lebih pada penyelamatan dan penyempurnaan bumi itu sendiri. “Kutipan-kutipan dari Alkitab yang dilepaskan dari konteksnya tidak cukup untuk membuktikan bahwa bumi akan dihancurkan oleh tangan Tuhan sendiri.”
70 TAHUN GMIT DAN 500 TAHUN GEREJA REFORMASI MOMENTUM PEMBAHARUAN
Pada kesempatan yang sama, Ketua Sinode GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon menjelaskan bahwa pemilihan sub tema GMIT tahun 2017 ini dilatari oleh momentum 500 gereja Reformasi dan 70 tahun GMIT. Kedua bilangan ini memiliki nilai sejarah yang penting. Bicara reformasi tutur Pdt. Mery Kolimon, adalah bicara tentang pembaharuan dan perubahan sebagaimana termaktub dalam sub tema, perubahan dan pembaharuan diri, Gereja dan masyarakat.
Demikian juga 70 tahun dalam tradisi Perjanjian Lama, merujuk pada masa pembuangan bangsa Israel yang penuh dengan penderitaan. Namun setelah 70 tahun mereka berseru kepada Tuhan. Tuhan memulihkan mereka. Karena itu, momentum 70 tahun GMIT mesti menjadi tahun pemulihan yang dimulai dari diri para pendeta, persekutuan dalam jemaat dan masyarakat.
Selanjutnya Ketua Majelis Sinode mengemukakan sejumlah isu yang menjadi tantangan GMIT di tahun 2017 ini antara lain: predikat miskin, ancaman gagal tanam dan panen, kekeringan, bencana alam, pencaplokan tanah, keterbatasan lapangan kerja dan perdagangan orang. Namun, pada saat yang sama katanya, jemaat-jemaat GMIT menampilkan gaya hidup yang bertolak belakang dengan realitas sosial melalui pembangunan gedung-gedung gereja yang bernilai milyaran.
“Kita provinsi nomor 3 termiskin di Indonesia tapi perencanaan pembangunan gedung-gedung gereja luar biasa. Masyarakat sedang berjuang melawan kemiskinan tapi jemaat berlomba-lomba membangun gedung gereja yang megah-megah,” kritik Pdt. Mery.
Ketua Majelis Sinode mengajak jemaat-jemaat GMIT agar ditahun 2017 ini perlu dilakukan moratorium pembangunan gedung-gedung gereja yang megah. Sebab bisa jadi bila sumber daya manusia diabaikan sekali kelak gedung-gedung kebaktian akan kosong seperti yang terjadi di Eropa karena gereja hanya membangun batu-batu yang mati bukan manusia yang hidup. Ia mengharapkan Persidangan klasis Kupang Tengah memperhatikan hal-hal tersebut.
Hal lain yang juga tidak kalah urgen adalah gejala kerapuhan spiritualitas para pelayan dan juga jemaat. Hal ini tampak dalam perilaku cinta uang, korupsi, nepotisme dan membenci yang berbeda. Terkait sikap-sikap ini, ia mengajak jemaat GMIT untuk mengedepankan sikap ugahari, yakni merasa cukup dengan berkat yang Tuhan berikan dan berani berkata tidak terhadap godaan korupsi.
Ketua Majelis Sinode juga menyinggung ancaman penarikan guru-guru PNS dari sekolah-sekolah swasta termasuk di dalamnya sekolah-sekolah milik GMIT. Ia mengharapkan pemerintah memperhatikan hal ini.
Terkait 500 tahun Reformasi ia juga meminta pendeta-pendeta dan jemaat untuk membangun relasi oikumenis yang harmonis dengan sesama umat gereja Katholik.
Sementara itu, menyangkut upaya menjaga kelestarian alam, Pdt. Mery Kolimon mengajak seluruh jemaat GMIT melanjutkan gerakan tanam air dan gerakan hutan gereja. “Kami berkomitmen tahun ini ada satu lahan hutan Majelis Sinode, kami harap itu juga diikuti oleh klasis dan jemaat. Pada akhir tahun nanti kita minta UPP pemuda dan kaum bapak untuk evaluasi berapa lubang tanam air dan berapa hutan gereja yang kita rintis. Jangan sampai kotong hebat di omong tapi pelaksanaan nol,” tutup Pdt. Mery Kolimon.