Pesan Sidang MPL PGI 2022

Pemukulan “Pasolo” oleh Pdt. Gomar Gultom tanda berakhirnya Sidang MPL-PGI 2022/ foto: Yakoma PGI

www.sinodegmit.or.id, Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) tahun 2022 yang dimulai sejak (28/1), ditutup oleh Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, hari ini, Senin, (31/1).

Mengutip rilis PGI.OR.ID, Pdt. Dr. Lintje H. Pellu yang mewakili MPH-PGI, menyampaikan terimakasih kepada tuan dan nyonya rumah, Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaut (GMIST) Jemaat Betlehem Tahuna dan pemerintah daerah Sangihe, Sulawesi Utara, yang telah berjerih lelah mempersiapkan persidangan ini.

Mengacu pada pikiran pokok: “Spiritualitas Keugaharian: Membangun Keadaban Publik demi Pemeliharaan Bumi sebagai SacramentumAllah”, persidangan ini menyerukan tiga pesan teologis kepada gereja-gereja di Indonesia yakni: spiritualitas ugahari, keadaban publik, dan pemeliharaan bumi sebagai sacramentum Allah.

Berikut kutipan lengkap pesan sidang dimaksud:

Setelah dua tahun menyenggarakan sidang secara virtual, oleh kasih dan pimpinan Tuhan, PGI dapat menyelenggarakan Sidang MPL secara campuran antara tatap muka dan virtual. Gereja Masehi Injili di Sangir Talaud (GMIST) menjadi tuan dan puan rumah persidangan ini. Di negeri yang subur, alamnya menawan, masyarakatnya ramah, para pimpinan gereja yang sudah dua tahun tak saling berjumpa karena pandemi dapat kembali bertemu. Persidangan ini dimaksudkan untuk berdoa bersama, merayakan kasih dan pimpinan Tuhan bagi gereja-gereja di masa sulit akibat pandemi, serta membicarakan pelayanan gereja-gereja di Indonesia. Di ujung persidangan ini, kami menyampaikan pesan sidang kepada segenap gereja anggota PGI maupun kepada masyarakat yang lebih luas.

Pikiran pokok persidangan ini adalah: “Spiritualitas Keugaharian: Membangun Keadaban Publik demi Pemeliharaan Bumi sebagai SacramentumAllah”. Dari rumusan itu, ada tiga hal yang ditegaskan, yaitu spiritualitas ugahari, keadaban publik, dan pemeliharaan bumi sebagai sacramentum Allah. Ketiga tema ini saling berkaitan.

  1. Spiritualitas Ugahari

Sudah sejak beberapa tahun terakhir gereja-gereja anggota PGI berkomitmen untuk menghidupi spiritualitas ugahari. Pandemi Covid-19 makin menyadarkan kita betapa pentingnya berugahari. Di hadapan ancaman virus, kita menyadari semua manusia adalah makhluk yang terbatas dan rapuh, sekaligus dikaruniai daya untuk bertahan dan menang atas kesulitan. Untuk bertahan dan berhasil, manusia tak dapat melakukannya sendiri. Manusia membutuhkan sesamanya dan mesti menggunakan sumber daya alam secara bijak. Spiritualitas mapalus dari Sulawesi Utara makin memperkuat nilai hidup saling menopang ini. Keserakahan manusia mengakibatkan rusaknya relasi antar manusia dan merusak pula relasi dengan ciptaan lain. Pandemi sepanjang dua tahun ini menolong kita untuk makin hidup hemat, bertenggang rasa dengan sesama, berbagi sumber daya untuk mampu mengatasi dampak pandemi, dan tidak merusak keseimbangan alam melalui eksploitasi yang tak terkendali.

Spiritualitas ugahari yang bertujuan membangun kehidupan yang adil dan sejahtera bagi semua hendaknya dapat memelihara harapan dan semangat seluruh warga, khususnya yang selama ini sulit beroleh akses terhadap kehidupan bersama yang adil. Dengan berjuang dan bekerja keras, segenap lapisan masyarakat hendaknya dapat bersinergi dan berkolaborasi memanfaatkan segenap potensi karunia Tuhan yang dapat dikelola bersama untuk kebaikan bagi semua.

2. Keadaban Publik

Secara sederhana, keadaban publik adalah sikap atau perilaku yang menghargai, menghormati dan peduli dengan orang lain, taat pada aturan dan norma sosial serta menerapkan dan melakukannya dalam hubungan sosial dengan orang lain dan dalam kehidupan masyarakat. Secara politis, dasar dari keadaban publik ini adalah Sila Kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sedangkan dasar teologis bagi keadaban publik adalah hukum kasih Yesus Kristus: mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi, serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Matius 22:37-39).

Sebagai bagian dari bangsa ini, gereja-gereja di Indonesia memiliki tugas untuk memperkuat kehidupan yang berkeadaban. Dalam hubungan dengan itu, beberapa hal menjadi perhatian. Persidangan ini prihatin terhadap maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak di seluruh Indonesia, termasuk kekerasan seksual. Untuk itu persidangan ini mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual guna melindungi perempuan dan anak dari kejahatan kemanusiaan itu. Selain mendorong upaya penegakan hukum, gereja-gereja di Indonesia perlu secara serius melakukan pendidikan budi pekerti, yang mencakup pendidikan terkait teologi tubuh dan seksualitas.

Sidang ini juga mendesak disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. UU PPRT dibutuhkan untuk memastikan pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat para PRT. Manusia tak boleh diperlakukan sebagai budak. Dengan perlindungan PRT, sebagai kelompok paling rentan dalam relasi kuasa rumah tangga di Indonesia, kita mewujudkan komitmen untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; mulai dari rumah tangga sebagai basis bermasyarakat.

Pokok lain yang menjadi perhatian persidangan terkait keadaban publik adalah mengenai pentingnya pendidikan politik bagi warga gereja dan para pemimpin gereja. Gereja perlu memainkan peran penting dalam pendewasaan berdemokrasi di Indonesia, menjadi pilar nilai yang menolak praktik politik uang dan politik sektarian, terutama menuju pemilihan umum dan pilkada serentak di tahun 2024. Sidang mendorong gereja-gereja di berbagai aras untuk secara sistematis mengupayakan pendidikan politik di sinode masing-masing, di PGIW, dan secara bersama melalui PGI.  Hal ini juga dimaksudkan untuk ikut memotong mata rantai korupsi di Indonesia.

Sidang meminta perhatian gereja-gereja anggota mengenai keadaban publik di ruang virtual. Ruang virtual harus juga menjadi ruang kesaksian gereja-gereja di Indonesia dan ruang partisipasi gereja untuk masyarakat yang beradab. Seringkali ruang virtual menjadi riuh oleh debat keagamaan yang saling menciderai, baik antar agama maupun antar denominasi. Kegaduhan di ruang virtual lalu menjadi spirit negatif bagi relasi-relasi di ruang fisik. Sidang mendorong gereja-gereja terlibat dalam literasi digital bagi anggotanya demi keadaban publik dalam gereja, masyarakat, dan bangsa.   

Keadaban publik berkaitan juga dengan kemandirian ekonomi dan pemberdayaan manusia. Sidang ini mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk bekerja sama antar gereja anggota, maupun dengan pemerintah dan berbagai mitra lainnya untuk kedaulatan hidup masyarakat, terutama di daerah-daerah yang tertinggal dan rawan dieksploitasi. Dalam rangka itu, Sidang mendesak pemerintah agar memberikan perhatian terhadap daerah-daerah yang tertinggal dalam aspek ekonomi, pendidikan, dan sumber daya manusia untuk diberikan prioritas dalam program peningkatan kesejahteraan warga dalam pembangunan daerah dan nasional. Daerah-daerah itu antara lain daerah perbatasan, pinggiran, dan pedalaman: Papua, Kalimantan, Maluku, NTT, serta Kepulauan Sangihe dan Talaud.

Persidangan turut berbelarasa dan prihatin mengenai tindakan kekerasan dan penyerangan terhadap warga Negeri (Desa) Kariuw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah yang menyebabkan mereka keluar dari tanah pusakanya dan menjadi pengungsi di desa tetangga. Persidangan mendesak berbagai pihak untuk tidak melihat konflik ini sebagai konflik agama, tetapi memahaminya sebagai kejahatan kemanusiaan yang menciderai relasi-relasi sosial di Maluku dan dapat berdampak luas (nasional dan internasional), jika tidak ditangani secara tepat. Belajar dari kekerasan serupa yang terjadi di masa lalu, kita perlu mewaspadai meluasnya konflik, termasuk akibat dieksploitasinya isu-isu keagamaan dan pemilikan senjata ilegal oleh masyarakat sipil. Upaya-upaya rekonsiliasi harus dibangun di atas pengungkapan kebenaran dan penegakan hukum untuk mencegah impunitas dan keberulangan konflik di masa depan serta mengembalikan warga masyarakat Kariu ke tanah pusakanya.

Sidang memberi perhatian terhadap kekerasan yang masih terjadi di Papua. Secara khusus, perhatian diberikan kepada korban kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak serta terhadap masyarakat luas yang terpaksa mengungsi dari kampung-kampung mereka karena terancam kekerasan bersenjata dalam operasi keamanan. Kekerasan di Papua akibat konflik berdampak pada pengungsian besar dari empat wilayah konflik di Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua dan Kiwirok Pegunungan Bintang. Sidang menyuarakan dialog demi perdamaian menyeluruh di Tanah Papua. Sidang juga mendorong dihentikannya stigma kepada para pemimpin agama di wilayah konflik sebagai separatis. Pelayanan pastoral mereka dalam kondisi konflik yang melewati batas-batas ideologi politik mesti dihargai.

Berkaitan dengan rencana pemindahan ibu kota negara di Kalimantan, maka sidang mengajak gereja-gereja anggota untuk mempersiapkan partisipasi gereja, misalnya melalui pembangunan sarana pendidikan, rumah sakit, dan sarana pelayanan umum lainnya.

3. Pemeliharaan Bumi Sebagai Sakramentum Allah

Sidang diselenggarakan di Pulau Sangihe yang indah. Masyarakat Sangihe mencintai pulau mereka, namun juga menyadari kerapuhannya, terutama karena ancaman bencana seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi, banjir, dan longsor. Dalam konteks seperti itu, kesadaran akan pemeliharaan bumi sebagai sacramentum Allah menjadi penting.

Sakramen kita pahami tanda rahmat Tuhan yang terlihat secara lahiriah oleh manusia. Bumi adalah tanda rahmat Tuhan yang memelihara hidup manusia. Kita berjumpa kemuliaan dan kebesaran Allah di planet ini. Di dalam bumi juga kita menyembahNya. Di dalam bumi kita dipelihara Allah. Bumi adalah satu-satunya rumah kita. Semua umat manusia memiliki tanggung jawab iman untuk memelihara bumi.

Bencana beruntun di beberapa tempat di Indonesia pada waktu belakangan ini mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk memperkuat ketahanan menghadapi bencana. Gereja-gereja anggota dapat saling berbagi sumber daya untuk tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, dan pengurangan resiko (mitigasi).

Dalam hubungan dengan itu sangat penting bagi manusia untuk menahan diri dari keserakahan/kerakusan yang mengeksploitasi bumi. Gereja-gereja perlu bekerja sama dengan berbagai pihak seperti pemerintah, agama-agama lain, masyarakat adat, dan LSM yang berjuang untuk kelestarian alam. Pemanfaatan sumber daya alam untuk pengembangan ekonomi penting, namun harus dilaksanakan secara bertanggung-jawab untuk kelestarian alam sebagai ciptaan Allah yang mulia.  

Sidang mendukung perjuangan GMIST, pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangir, dan berbagai organisasi masyarakat sipil yang menolak pertambangan emas di Pulau ini. Sidang mendukung visi pemerintah dan masyarakat di Kepulauan Sangir untuk pembanguan pertanian, perikanan, dan pariwisata demi kesejahteraan masyarakat dan keadilan ekologis.

Sepanjang sidang kita diajak oleh GMIST untuk berefleksi secara kontekstual mengenai identitas bergereja di wilayah kepulauan. Perhatian pada bumi sebagai sacramentum Allah mesti meliputi perhatian pada isu-isu kesejahteraan masyarakat nelayan, pesisir, dan keadilan bagi laut. Laut adalah sumber kehidupan hayati yang sangat kaya sekaligus sumber oksigen bagi planet bumi yang penting. Napas Allah (Ruah Elohim) bagi segenap ciptaan datang dari hutan dan laut yang perlu dipelihara demi kehidupan yang terus berlanjut di planet ini. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *