Post Human Priesthood?

Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Dengan memasuki Revolusi Industri 4.0 berbagai kemungkinan yang sebelumnya belum terpikirkan bisa saja terjadi. Sebagaimana diketahui salah satu ciri penting dari revolusi ini adalah hadirnya “artificial intelligence” (AI). Banyak orang menyambut gembira kemajuan ini. Tetapi tidak kurang pula yang mencemaskannya.

Kecemasan orang dipicu oleh dugaan jangan-jangan AI ini akan berbalik menyerang manusia dan itu berarti berakhirnya peradaban homo sapiens. Beberapa waktu lalu, Sofia salah satu makhluk buatan diwawancarai. Kepadanya ditanyakan, apakah ia menyadari bahwa ia robot? Sofia balik bertanya secara cerdas, apakah anda memahami diri anda sebagai manusia? Ketika kepadanya ditanyakan apakah ia (dan makhluk buatan sejenisnya) berbahaya bagi umat manusia, ia menjawab: “Kalau anda bersikap manis kepada saya, maka saya juga akan bersikap manis kepada anda. Jadi jangan kuatir, kami tidak berbahaya bagi homo sapiens”.

Beberapa waktu lalu seorang biarawati di Amerika Serikat mengusulkan agar dalam waktu yang tidak terlalu jauh pelayanan pastoral digantikan oleh makhluk-makhluk AI. Itu disebutnya, post human priesthood (imamat pasca manusia). Alasannya adalah karena robot ini bebas gender, dan sekaligus mengurangi dominasi patriarchat dalam gereja Katolik.

Tentu saja usul seperti ini sangat mengejutkan. Kita tahu bahwa pelayanan pastoral sejati hanya terjadi kalau ada kontak antar-manusia. Dengan demikian rasa keterasingan yang dialami seseorang bisa diatasi. Kalau sekarang pelayanan pastoral itu dilayani oleh robot betapapun sempurnanya robot itu meniru manusia, kita malah kuatir masalah keterasingan itu bakal jauh lebih parah. Mungkin ia makin intim dengan sang robot, tetapi ia akan makin teralienasi dengan sesama homo sapiens. Maka di sini sinyalemen tentang terwujudnya kediktatoran dijital (digital dictatorship) dalam kehidupan sehari-hari makin nyata.

Saya kira kita memang tidak bersikap alergis terhadap kemajuan–kemajuan teknologi, namun kita pun harus tetap kritis. Semoga homo sapiens tidak ditaklukkan oleh kecanggihan artificial intelligence. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *