Kupang, www.sinodegmit.or.id, Prof. Dr. Siti Musda Mulia, pengajar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah menyebut 10 tahun kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai era tumbuh suburnya kelompok-kelompok radikal di Indonesia. Hal ini dilontarkannya saat tampil sebagai pembicara pada acara diskusi panel yang diselenggarakan oleh Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), Kamis, 4/5-2017 di Kupang. ”10 tahun masa SBY, hampir dapat dikatakan mempersubur kelompok-kelompok radikal ini,” kata Prof. Musda Mulia.
Kelompok Radikal Piaraan Proyek Politik
Pernyataan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) dan Sekretaris Jendral ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) ini, bukan tanpa dasar. Bagi orang NTT, masih segar diingatan pada Februari 2011 mantan presiden SBY dalam kunjungannya di Kupang mengatakan, “Jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi kekerasan yang tak hanya meresahkan masyarakat luas, tetapi nyata-nyata banyak menimbulkan korban, penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran atau pelarangan.” Demikian kata mantan Presiden SBY pada peringatan Hari Pers Nasional Ke-65 di Kupang sebagaimana dilansir Detik Forum.com 9 Pebruari 2011.
Namun, sekembalinya ke Jakarta hingga selesai masa jabatannya, mantan Presiden berpangkat jenderal ini seperti tak berdaya. Bahkan ada kesan melakukan pembiaran terhadap sepak terjang kaum anarkis bersorban agama tertentu itu. Kenapa mereka dibiarkan bebas di Indonesia? Menurut Prof. Musda Mulia, kebanyakan kelompok elit politik semasa mantan presiden SBY menggunakan mereka sebagai alat untuk meraup suara. Pemerintah tidak mau dan tidak mampu bertindak tegas.
“Pemerintah nggak tegas. Kapan mereka dibutuhkan suaranya untuk melanggengkan kekuasan politik, mereka digunakan, mereka lupa bahwa kalau memanfaatkan mereka itu resikonya besar sekali dan cost yang harus dibayar sangat mahal,”tuturnya.
Silent MajorityMenyuburkan Radikalisme
Sebab lain tumbuh suburnya kelompok-kelompok radikal kata Prof. Musda Mulia adalah akibat mayoritas orang-orang baik di republik ini yang jumlahnya besar memilih diam (silent majority). Ia bahkan menyebut sikap diam sebagai sebuah bencana.
“Sebab lain tumbuh suburnya kaum radikal di Indonesia adalah banyak orang-orang baik di negara ini diam. Kelompok mayoritas yang diam itu sebenarnya bencana. Apa yang terjadi di Pakistan, Afganistan, Nigeria, saya pernah ke semua negara ini. Kelompok-kelompok perempuan di Taliban misalnya, mengatakan kepada saya agar wanti-wanti. Aduh tolong deh, kalian itu jangan sampai lengah. Dulu kami, sebelum tahun 2000-an, kami menganggap mereka itu biasa-biasa saja. Cuma kelompok kecil. Tidak mengganggu, mereka cuma kelompok keagamaan, nggak apa-apa. Biarkan mereka hidup atas nama demokrasi. Kita biarkan mereka hidup. Kami lupa bahwa agama itu cuma kedok. Dibalik itu semua adalah hasrat untuk berkuasa. Hasrat untuk menghancurkan itu luar biasa. Kami lupa, kami nggak sadar; lalu terjadilah apa yang tidak pernah kami bayangkan. Begitu mereka berkuasa segalanya selesai. Artinya kamu tidak punya lagi kesempatan untuk hidup. Sejak Taliban berkuasa di Afganistan, semua kaum perempuan yang berperan di ruang publik ditarik; doktor, hakim, guru, pegawai, jaksa, dst, tak boleh bekerja atas nama Islam. Haram hukumnya perempuan berada di ruang publik. Coba bayangkan. Karena itu ratusan bahkan ribuan perempuan berpendidikan melarikan diri ke keluar dari Afganistan ke Eropa, Amerika, Afrika. Mereka tidak bisa hidup di Taliban.”
Prof. Musda Mulia yang pernah dua minggu mengunjungi Afganistan menggambarkan situasi di sana ibarat di neraka. Kaum perempuan di bawah Taliban tidak bisa bekerja lagi. Mereka terpaksa menjadi pengemis dan melacur di ruang publik dan ini dibiarkan oleh pemerintah Taliban. Sebagai Muslim, ia mengaku malu atas tindakan kaum radikal yang mengatasnamakan Islam bertindak seperti itu.
“Saya dua minggu tinggal di Taliban sudah nggak betah. Seperti hidup di neraka. Benar. Nggak ada kehidupan untuk perempuan sana. Enam bulan setelah Taliban berkuasa, perempuan di tarik dari ruang publik. Akibatnya? Kemiskinan merajalela dan pemerintah Taliban tidak mampu memberikan kemaslahatan seperti yang dia janjikan bahwa dengan pemerintahan Islam Taliban masyarakat akan sejahtera. Semuanya omong kosong. Kaum perempuan sebagai tulang punggung keluarga nggak bisa ngapa-ngapain. Mereka akhirnya turun di jalan menjadi peminta-minta dan prostitut. Hanya itu yang bisa dilakukan. Herannya pemerintah Taliban membiarkan mereka ada di area publik untuk dua pekerjaan itu. Ini buat saya sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi atas nama agama? Atas nama Islam? Karena itu sebagai Muslim saya malu sekali dengan kondisi ini,” tandasnya.
Waspadai Isu Sesat Kaum Radikal: Belajar dari Kasus Ahok
Belajar dari situasi buruk yang terjadi di negara-negara di Timur Tengah, ia mengajak masyarakat terutama kaum perempuan untuk mewaspadai kelompok-kelompok yang menjual agama untuk tujuan-tujuan politik yang haus kuasa. Menurutnya, orang menjual agama dan mengatasnamakan Tuhan dengan mudah dan murah karena Tuhan tidak bisa dikonfirmasi. Ia mencontohkan kasus Ahok.
“Sekarang lebih bahaya lagi. Ahok ditolak atas nama penistaan agama. Nggak lama lagi ada isu Jokowi bakal di tolak karena dianggap keturunan PKI. Padahal ini omong kosong. Tetapi kebohongan itu diulang-ulang dan di disebarkan secara masif di media. Lama-lama itu akan dianggap sebagai kebenaran. Jadi jangan biarkan kebohongan itu sedetik pun menguasai area publik. Ini sudah mulai di mana-mana. Jadi 2019 isunya bukan penista agama tapi PKI. Sudah mulai di mana-mana. Padahal semua itu bohong. Kalo kita membaca sejarah pergerakan Gerwani misalnya, itu perempuan baik-baik, tetapi di framing (dibingkai) sedemikian rupa sebagai penista negara.”
Prof. Musda Mulia berpesan agar masyarakat waspada dan tidak membiarkan negara ini hancur hanya karena keinginan serakah dari segelintir orang yang sebernarnya adalah orang-orang yang haus kekuasaan tetapi menggunakan agama sebagai topeng.