Rumah Harapan GMIT Bahas Implementasi Moratorium TKI NTT

KUPANG, www.sinodegmit.or.i, Empat bulan pasca diterbitkannyaSurat Keputusan Gubernur NTT tentang Moratorium TKI, Rumah Harapan GMIT menggelar diskusi terbatas mengenai implementasinya. Kegiatan ini bertempat di kantor Majelis Sinode GMIT, Senin, (25/3).

Sekretaris Dinas Koperasi Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT, Untung Sudrajat salah satu narasumber pada kegiatan ini menjelaskan bahwa pada dasarnya moratorium atau penghentian tenaga kerja asal NTT ini merupakan bentuk perlawanan pemerintah dan masyarakat NTT terhadap para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sekaligus sebagai  upaya pembenahan secara menyeluruh terhadap sistim dan tata kelola pelayanan penempatan calon pekerja migran agar menjadi lebih baik dan terintegrasi mulai dari hulu sampai ke hilir.

Menurut Untung, dampak moratorium bagi P3MI yang ada di Nusa Tenggara Timur antara lain adalah berupa kewajiban Kantor Pusat dan Kantor Cabang P3MI untuk:

  1. Membangun Balai Latihan Kerja Luar Negeri di Nusa Tenggara Timur dan harus terakreditasi oleh Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja (LA-LPK). Bagi Kantor Cabang P3MI yang belum mampu membangun BLK LN wajib menjalin kerjasama dengan BLK LN yang telah terakreditasi dan ada di wilayah Nusa Tenggara Timur;
  2. Mempunyai Instruktur Latihan Kerja yang bersertifikat kompetensi;
  3. Menyediakan Tempat Uji Kompetensi (TUK);
  4. Menyediakan atau bekerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) sebagai pemegang Lisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagai penguji kompetensi Calon PMI / PMI asal NTT;

Pada kesempatan yang sama Dedi Manafe, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, menyatakan dukungannya pada kebijakan ini sekaligus meminta pemerintah dan gereja untuk sungguh-sungguh memberi perhatian pada tiga hal, yakni:

Pertama, Pencegahan:

  • Membangun jejaring kerjasama dengan berbagai stakehoulders dan juga antar daerah;
  • Sosialisasi dan KIE yang lebih masif dengan segmen yang terfokus;
  • Membentuk dukungan struktur dan regulasi;
  • Penertiban administrasi kependudukan;
  • Peningkatan kualitas SDM tenaga muda produktif;

Kedua, Penindakan Pelaku:

  • Dukungan terhadap penegakan hukum oleh Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan terhadap kasus TPPO harus terus diintensifkan;
  • Saatnya mengoptimalkan peran Sat Pol PP terkait Penegakan Perda NTT tentang Pencegahan dan Penanganan Korban TPPO, serta terkait dengan pelanggaran administrasi kependudukan.

Ketiga, Perlindungan Korban:

  • Pendampingan korban;
  • Rehabilitasi, resititusi, dan kompensasi perlu diterapkan;
  • Reintegrasi sosial terhadap korban harus digarap dengan lebih serius.

Sementara itu Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Maria Filiana Tahu, M.Hum, mengatakan sebelum gubernur NTT mengeluarkan moratorium TKI, tahun 2016 Pemerintah Daerah Kabupaten TTU telah mengeluarkan  Instruksi Bupati TTU No: Tapem. 130/113/IV/TTU/2016 tentang Pemberhentian Sementara Perekrutan dan Pengiriman TKI ke luar negeri asal Kabupaten TTU.

Kebijakan ini menurutnya cukup efektif mengurangi arus migrasi tenaga kerja ke luar daerah meskipun ia mengaku tidak menghentikan sama sekali.

“Meskipun telah ada instruksi bupati, tidak serta merta mengatasi masalah. Tahun 2018 misalnya, kami menggagalkan 20 kali perjalanan TKI.”

Guna mengefektivkan pelaksanaan aturan di lapangan ia mengusulkan adanya turunan peraturan mulai dari Perda hingga Perdes yang mana proses pembuatannya perlu dilakukan secara partisipatif.

“Peraturan harus sampai Perdes karena basis migrasi ada di desa. Peraturan Desa lebih efektif karena masyarakat lebih dekat dengan informasi itu apalagi kalau mereka terlibat secara partisipatif. Kalau prosesnya partisipatif maka kita tidak butuh energi besar untuk sosialisasi sebab semua pemangku kepentingan sudah paham karena sejak tahap jaring aspirasi, konsultasi rakyar, uji publik hingga penetapan mereka ikut terlibat.”

Selain itu ia menganjurkan pemerintah perlu alokasi anggaran khusus untuk penyelenggaraan sistem perlindungan di komunitas, dukungan Balai Latihan Kerja & Lembaga Pelatihan Kerja Swasta terakreditasi dengan anggaran dan bimbingan untuk persiapan kompetensi tenaga kerja dan jejaring lintas sektor di semua tingkat pemerintahan melibatkan semua stackeholder termasuk gereja untuk mendukung berjalannya sistem perlindungan di komunitas.

Diskusi terbatas ini dibuka oleh Ketua MS GMIT, Pdt. Dr Mery Kolimon. Dalam sambutannya ia menyebut moratorium TKI yang dikeluarkan gubernur NTT sebagai bentuk keseriusan pemerintah provinsi NTT dalam menangani masalah perdagangan orang.

“Kami menyadari bahwa wilayah pelayanan GMIT sangat rentan terhadap kejahatan kemanusiaan perdagangan orang.  Karena itu melalui pelayanan Rumah Harapan GMIT kami belajar bahwa SK Gubernur Nomor 357 tentang moratorium adalah sesuatu yang penting. Kami memandangnya sebagai bentuk keseriusan Pemda NTT untuk melihat kedaruratan masalah perdagangan orang di daerah ini.”

Melalui diskusi ini diharapkan ada komunikasi dan kerja sama timbal balik antar lembaga sehingga makin memperkuat kualitas pelayanan terkait isu ini.

“Kalau kita bekerja sama, dampaknya akan lebih baik. Untuk itu kami berharap melalui diskusi ini kita dapat saling belajar dan berbagi pengalaman pendampingan sehingga kita bisa lihat langkah apa yang bisa ditempuh dan rekomendasi apa yang bisa kita sampaikan kepada pemerintah terkait penangangan masalah TPPO yang mengancam kemanusiaan dan kehidupan di daerah kita.” ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *