www.sinodegmit.or.id, Percakapan tentang sekolah GMIT di kalangan anggota jemaat sendiri mungkin menimbulkan pesimisme. Anggapan bahwa sekolah GMIT tidak bermutu meluas di mana-mana. Preseden ini menyebabkan anggota jemaat lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah pemerintah atau sekolah yang dikelola agama atau denominasi lain.
Kondisi ini tentu berbeda dengan masa lalu dimana banyak anggota jemaat menyekolahkan anaknya di sekolah GMIT. Mutunya sangat terpercaya dan mampu menyaingi, bahkan mengungguli sekolah lain. Rata-rata nilai ijazah dan ujian nasional siswa sangat baik. Mereka sering menjuarai perlombaan cerdas cermat antar sekolah. Mereka juga sering memenangkan berbagai kompetisi seperti lomba pidato, bahasa Inggris, atletik, sepakbola, paduan suara dan masih banyak lagi.
Banyak dari kita para orangtua mungkin adalah alumni sekolah GMIT. Kita dididik dalam keterbatasan yang jauh lebih buruk dari kondisi sekarang. Namun toh kita masih bisa bersaing di ruang publik. Bahkan tidak sedikit alumni yang menduduki jabatan penting, baik di gereja, pemerintahan, TNI/Polri maupun swasta.
Namun kini, sekolah GMIT ditinggalkan oleh pemiliknya sendiri yakni jemaat. Ramai-ramai para orang tua menengok ke sekolah lain. Pilihan ini tidak dapat disalahkan begitu saja. Mereka tentu memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap kualitas akademik anaknya. Entah itu jago matematika, unggul fisika, hebat kimia atau mahir bahasa inggris. Mereka rela mengorbankan apapun demi menggapai pendidikan bermutu tersebut.
Tetapi orangtua seharusnya tidak boleh abai terhadap pembentukan karakter anaknya. Penguasaan ilmu dan pembentukan karakter mesti berjalan seimbang. Dan sebagai orang percaya, kita mengamini bahwa satu-satunya dasar terbaik untuk membentuk karakter anak ialah firman Tuhan. Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Amsal 1:7). Tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi hal ini.
Memilih sekolah pemerintah itu baik. Namun disana tidak terdapat pengajaran yang mendalam tentang diktrin GMIT seperti Allah Tritunggal, dosa, keselamatan, eskatologi dan berbagai ajaran dasar iman kristen lainnya. Panduan kurikulum belum sepenuhnya memberi ruang untuk mendalami etika kristen sesuai Alkitab.
Lebih celaka lagi bila kita menyekolahkan anak di tempat yang memberi pengajaran iman yang berbeda. Akan terjadi perbedaan pemahaman antara apa yang diajarkan orangtua dan gereja dengan apa yang diperoleh di sekolah. Akibatnya anak mengalami spiritualitas ganda. Mereka dengan mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran. Aspek ini sebenarnya sangat fatal, namun kita anggap sepele.
Di sinilah letak pentingnya sekolah GMIT. Ia memiliki peran yang strategis untuk menyediakan pengajaran iman dan pembentukan karakter kristiani yang tak mampu disediakan sekolah lain. Proses pembinaan anggota gereja di sekolah GMIT akan jauh lebih efektif dari peran tradisional yang selama ini dijalankan oleh sekolah minggu dan katekisasi. Sekolah memiliki jumlah dan frekuensi pertemuan enam jam sehari selama seminggu, jauh lebih banyak dari yang terjadi di sekolah minggu dan katekisasi.
Tulisan ini hendak mengajak gereja, baik sebagai lembaga maupun seluruh anggota GMIT untuk memberi perhatian yang serius terhadap sekolah GMIT. Fungsinya yang demikian strategis bagi pembinaan anggota gereja tidak akan terwujud manakala kita mengabaikannya. Mungkin saat ini kondisi sekolah GMIT masih memprihatinkan. Tapi perlu ditegaskan bahwa proses pembenahan sedang berlangsung.
Kurikulum sedang dirancang untuk menjadikan sekolah GMIT tidak hanya sebagai pusat ilmu, tapi juga pusat pendidikan iman dan pengembangan karakter kristiani. Demikian pula dengan revitalisasi Yapenkris sebagai penyelenggara pendidikan, pelatihan kompetensi guru, penempatan guru misionaris untuk mengembangkan sekolah GMIT di pedalaman dan sejumlah pembenahan lainnya.
Tentu proses pembenahan ini tidak mungkin tuntas dalam semalam. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Demikian pula dengan kendala keterbatasan dana dan sumber daya. Tidak mudah memang, namun dengan pertolongan Tuhan dan kerja keras kita bersama, semua yang mustahil akan menjadi mungkin. ***