KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Lao Tzu berkata, “Perjalanan ribuan mil dimulai dengan langkah pertama“. Ucapan ini sejatinya menjadi prinsip bagi siapapun yang punya visi untuk masa depan. Tidak terkecuali, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang sedang berupaya keras mengurai benang kusut588 sekolah miliknya yang separuhnya sudah berpuluh-puluh tahun ditelantarkan.
Memang bukan perkara mudah mengupayakan perbaikan mutu pendidikan ratusan sekolah itu. Pasalnya, untuk membiayai gaji 4.000an tenaga guru dengan standar UMR saja dibutuhkan paling kurang 6 milyar/bulan. Padahal, faktanya, dukungan dana dari 2.500 jemaat GMIT melalui 2% dana pendidikan tahun 2018 hanya terkumpul 1,9 milyar atau 158,3 juta/bulan. Tahun 2017 lebih kecil lagi, hanya 800-an juta. Melihat angka-angka itu rasanya mustahil bagi GMIT meningkatkan mutu sekolah dari sesi anggaran. Kendatipun demikian patut diingat bahwa uang bukan segala-galanya. Uang bukan jaminan perbaikan mutu. Keyakinan itulah yang mendorong GMIT sebagai pemilik untuk meniti langkah demi langkah mencapai visi terwujudnya pendidikan GMIT yang menghasilkan generasi berhikmat dan Pancasilais.
Langkah pertama GMIT memperbaiki mutu sekolah-sekolahnya dimulai dengan keluarnya keputusan Sidang Sinode GMIT ke-33 tahun 2015 di Rote, yang memberi mandat kepada Majelis Sinode periode 2015-2019 untuk 3 hal: Tidak boleh ada sekolah GMIT yang ditutup, seluruh jemaat GMIT wajib menyisihkan 2% dari total pendapatan rutin per bulan untuk dana pendidikan dan terakhir membentuk sekolah model di desa-desa. Inilah langkah strategis GMIT mencicil tanggung jawabnya terhadap masa depan sekolah-sekolahnya agar jangan mati perlahan-lahan.
Implementasi tiga keputusan sidang tersebut sampai menjelang akhir tahun 2019 patut diapresiasi sebab seluruhnya terlaksana. Tentu dengan catatan evaluasi yang perlu ditindaklanjuti oleh masing-masing pihak sesuai tanggung jawabnya baik sekolah, yayasan dan gereja (jemaat, klasis dan sinode).
Merayakan Bulan Pendidikan GMIT pada Agustus tahun ini, sekaligus mengakhiri periode pelayanan MS GMIT 2015-2019, kita perlu lihat sejauhmana perkembangan sekolah-sekolah model GMIT yang dirintis itu? Apakah perkembangan sekolah-sekolah model itu bisa jadi modal yang cukup meyakinkan jemaat-jemaat GMIT bahwa GMIT bisa mengelola dan meningkatkan mutu sekolah-sekolahnya secara bertahap?
Tujuh sekolah model GMIT dimaksud terdiri dari: SD GMIT Oesamboka di Ba’a-Rote, SD GMIT Nunukniti di Amanuban Timur, SD GMIT Kaku’un di Malaka, SD GMIT Ligu di Sabu, SD GMIT 33 Moru di Alor, SD GMIT Getsemani Aimere-Flores dan SD GMIT Taloi di Amfoang. Sekolah-sekolah model tersebut bukan sekolah yang dibangun baru, melainkan sekolah yang diperbaiki manejemennya. Untuk kelancaran program ini Badan Pendidikan Sinode GMIT mendukung Yayasan Pendidikan Kristen (Yapenkris) yang menaungi sekolah-sekolah tersebut dengan bantuan fasilitas berupa anggaran untuk pengurusan sertifikat tanah, pengurusan akreditasi, pelatihan guru, mengadaan komputer, distribusi buku-buku untuk perpustakaan dan lain-lain.
Perintisan tujuh sekolah model itu dimulai sejak tahun 2018 atas kerja sama GMIT dengan Majelis Pendidikan Kristen Indonesia (MPK). Lembaga ini menempatkan 17 orang guru sekaligus membiayai gaji mereka dengan masa kontrak 2 tahun. Guru-guru ini merupakan lulusan sarjana pendidikan yang direkrut dan dilatih lagi secara khusus oleh MPK agar menjadi Teacher Transformation Center (TTC). Misi yang diemban TTC berupa perbaikan menejemen sekolah, peningkatan kompetensi guru serta mewujudnyatakan pendidikan nilai-nilai iman Kristen kepada naradidik. Lantas bagaimana perkembangan 7 sekolah model tersebut saat ini?
SD GMIT Oesamboka, Baa-Rote
SD GMIT Oesamboka, berdiri tahun 1948. Januari 2019, sekolah ini tercatat memiliki 208 siswa, 8 rombongan belajar, 5 guru berstatus Pegawai Negeri Sipil dan 3 orang tenaga guru kontrak daerah. Bulan Februari yang lalu, sekolah ini mendapat dua tenaga guru dari MPK. Pin Rika (23) guru bahasa Inggris dan Yeni Manaman (24) guru matematika. Keduanya berasal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Memulai tugas perintisan SD GMIT Oesamboka sebagai sekolah model, keduanya mencatat sejumlah tantangan. Hal-hal seperti disiplin jam masuk dan pulang sekolah, disiplin belajar mengajar, kompetensi guru, relasi guru-siswa, dan persiapan bahan ajar sesuai kebutuhan kurikulum menjadi tantangan utama. Hal-hal tersebut kemudian didiskusikan bersama para guru untuk menemukan solusi. Setelah itu mereka menyepati beberapa kegiatan rutin sebagai standar perbaikan layanan pendidikan. Diantaranya: membangun komitmen disiplin, bible timedalam bentuk berdoa, bernyanyi, baca alkitab, dan renungan bagi guru dan murid selama 15 menit sebelum masuk kelas, review pelajaran setiap hari sebelum masuk kelas, memfasilitasi persiapan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), memberikan les tambahan, dan lain-lain.
Mengingat kemajuan belajar anak tidak semata ditentukan oleh kehadiran di sekolah tetapi juga peran orang tua siswa maka Pin dan Yeni mengajak guru-guru untuk membuat buku wisdom yang berisi catatan guru tentang perkembangan belajar anak di sekolah untuk diketahui oleh orang tua setiap hari. Jika ada anak yang kesulitan atau lambat mengikuti pelajaran, anak-anak diajak tingggal bersama mereka 1-2 minggu untuk les. Hasilnya sangat menggembirakan. Kemampuan baca, tulis dan hitung mereka kian maju. Melihat kepedulian kedua guru ini, para orang tua tanpa diminta ikut turun tangan menyumbang beras dan sayur-sayuran selama anak-anak mereka tinggal bersama Pin dan Yeni. Sekali waktu, cerita Pin, datanglah 10 anak sekaligus sehingga mereka kekurangan piring untuk makan. Agar tidak diskriminatif maka dipakailah daun pisang sebagai ganti piring.
Tidak hanya urusan pengetahuan, Yeni dan Pin juga mendidik karakter anak-anak mulai dari disiplin bangun pagi, doa, menyanyi, baca alkitab, bekerja sama, saling menghargai dan sebagainya. Jika selama 1 minggu sudah ada kemajuan belajar, anak diperbolehkan pulang. Biasanya, kata Pin, selama tinggal dengan mereka, para orang tua terutama ibu-ibu datang menjenguk dan menanyakan perkembangan belajar anaknya. Sementara bapak-bapak jarang sekali berkunjung.
“Lebih banyak mama-mama yang datang jenguk anak daripada bapak-bapak. Waktu lihat kemajuan belajar anak, ada orang tua yang minta kami berikan les privat. Kami tolak. Kami bilang, kami datang bukan untuk cari uang, tapi kami mau tunjukan kepada para orang tua bahwa tidak ada anak yang bodoh,” jelas Yeni.
Melalui pengalaman itu, Yeni dan Pin menilai kehadiran buku wisdom penting untuk mengkomunikasikan perkembangan belajar anak dengan para orang tua. Sayang, rekan-rekan guru-guru setempat enggan menggunakan media ini karena alasan merepotkan.
Langkah-langkah perbaikan kualitas pendidikan mulai dari disiplin jam masuk dan keluar sekolah, disiplin mengajar, persiapan materi pembelajaran sesuai kebutuhan kurikulum dan lain sebagainya menurut Yeni dan Pin belum direspon dengan sungguh-sungguh dari pihak sekolah. Kendati demikian hal itu tidak melemahkan semangat mereka membangun mutu pendidikan di sekolah ini.
“Tantangan utama di sini adalah disiplin. Mulai dari disiplin waktu apel pagi, jam mengajar dan jam pulang. Selama kami ada di sekolah ini, kami belum menemukan jam belajar yang efektif satu hari full. Selalu saja ada waktu di mana guru tidak masuk kelas dan membiarkan anak-anak bermain di jam belajar. Ada guru yang sibuk tapi sebenarnya masih bisa dipending, lalu ada juga yang hadir di sekolah tapi tidak mengajar di kelas,” jelas Yeni.
Keluhan ini kata Yeni sudah mereka sampaikan kepada kepala sekolah dalam rapat-rapat evaluasi namun belum tampak implementasinya. Alhasil, tugas utama penempatan mereka yang semestinya menjadi katalisator, berganti menjadi guru kelas demi mengisi kekosongan jam-jam belajar yang ditinggalkan oleh guru kelas.
“Sejak awal datang, kami sampaikan bahwa kehadiran kami untuk mendukung perbaikan mutu sekolah. Dengan pengetahuan dan skill yang kami miliki, kami berharap ada ruang-ruang untuk belajar bersama, tetapi baru ada dua guru honor yang mau memberi diri untuk belajar. Sementara yang lain agak enggan untuk terlibat dan menganggap kehadiran kami hanya untuk menjalankan program dari MPK dan Sinode GMIT. Kami bilang, tidak. Kami tidak sekadar menjalankan program tetapi kami bermitra dengan GMIT untuk memajukan sekolah GMIT yang kesulitan di kampung-kampung.”
Pin dan Yeni juga mengadakan les untuk murid kelas 3, 4 dan 5 usai jam sekolah. Les berlangsung selama 1 jam dimulai dari 12.15 sampai 13.15 yang diikuti 30 orang per kelas. “Sebelumnya sekolah ini tidak ada mata pelajaran bahasa Inggris. Jadi kami les setelah pulang sekolah. Karena pelajaran bahasa Inggris bukan pelajaran wajib maka tahun ajaran baru ini (2019) kami rencana masukan dalam muatan lokal,” ungkap Pin.
Enam bulan pasca kehadiran dua guru MPK ini, mutu sekolah mulai terlihat. PLT Kepala Sekolah SD GMIT Oesamboka, Sarci Adu, S. Pd yang menggantikan posisi Kepala Sekolah yang pensiun pada Mei lalu menilai kehadiran dua guru MPK ini sangat membantu mereka dalam mewujudkan identitas pendidikan Kristen yang sejatinya berbeda dari sekolah umum. Program bible timemisalnya, secara perlahan mulai membentuk identitas dan karakter anak-anak sebagai murid Kristus. Ia berharap kehadiran guru-guru MPK terus dipertahankan dan bila perlu ada penambahan tenaga guru. Sementara terkait keluhan kurangnya disiplin dan partisipasi pada program-program yang ditawarkan guru MPK, ia mengatakan sejauh pengamatannya guru-guru cukup aktif. Ia juga menyampaikan kebutuhan tenaga guru dan ruangan seiring dengan bertambahnya jumlah siswa.
Bulan Agustus 2019, sekolah ini menerima 38 siswa baru dibanding tahun sebelumnya hanya 27 orang. Dengan pertambahan murid tersebut, jumlah rombongan belajar pun bertambah lagi satu menjadi 9 rombongan belajar. Namun pada saat yang sama sekolah kekurangan ruang sehingga mereka terpaksa menyekat salah satu ruangan menjadi dua kelas. Kekurangan lain berupa ruang guru, perpustakaan, UKS dan ruang doa/ibadah.
SD GMIT Kaku’un, Kabupaten Malaka
Aris Pasiamping (24), Guru MPK yang sudah 16 bulan ditempatkan di SD GMIT Kaku’un-Malaka juga mengadapi tantangan yang sama seperti dua rekan mereka di Rote. Menurut Aris sulit sekali mengharapkan komitmen dari guru-guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Loyalitas mereka terutama kepada dinas pendidikan/pemerintah daripada Yapenkris dan Gereja, padahal kata Aris sebagai warga GMIT yang bekerja di sekolah GMIT semestinya guru-guru menunjukan loyalitas kepada gereja dan Yapenkris juga.
Masalah lain di sekolah ini kata Aris adalah kompetensi dan honor guru yang tidak memadai. Dari 7 orang guru, 5 diantaranya adalah tenaga honorer lulusan universitas terbuka dengan insentif hanya sebesar 250 ribu rupiah. Kendati berhadapan dengan tantangan internal namun menurut Aris, advokasi pendidikan kepada para orang tua berdampak pada tingkat kepercayaan para orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka di SD GMIT makin meningkat. Padahal mayoritas orang tua murid di Kaku’un bukan warga GMIT.
“Guru-guru komite semua lulusan universitas terbuka sehingga keterampilan mereka dalam pembuatan media pembelajaran juga terbatas. Jadi kami bantu mereka membuat RPP. Honor mereka juga kecil, hanya 250 ribu rupiah. Mereka bilang kami juga harus cari kerja di luar. Karena itu kami juga tidak paksa mereka untuk mengajar. Untuk mengisi kekosongan jam-jam belajar itu kami bagi 6 kelas itu menjadi dua. Saya tangani kelas 4-6 dan teman saya Patricia, tangani kelas 1-3. Kalau kami lihat anak-anak mulai bosan, kami ajak belajar Pramuka. Atau kalau ada mata pelajaran lain yang terlambat kami beri les pelajaran itu,” terang Aris.
Langkah-langkah perbaikan kualitas SD GMIT Kaku’un yang hampir tutup tahun 2018 lantaran kekurangan murid mulai membaik. Dari hanya 8 siswa baru yang mendaftar pada 2018 mengalami peningkatan sebanyak 20 siswa pada 2019. Saat ini jumlah siswa sekolah ini sebanyak 76 orang yang terbagi dalam 6 rombongan belajar.
“Masa kontrak saya sisa 8 bulan. Saya berharap apa yang sudah kami mulai di sana bisa dilanjutkan. Karena untuk melakukan perubahan, 2 tahun itu terlalu singkat. Mengubah mindset butuh proses yang cukup lama. Tidak secepat balik telapak tangan apalagi daya dukung dari berbagai pihak agak lemah,” ujar Aris.
Keluhan para guru MPK tersebut juga diakui oleh Ketua Badan Pendidikan GMIT Pendeta Elisa Maplani. Menurutnya perbaikan menejemen pendidikan GMIT mesti dimulai dari keberanian Yayasan mengangkat kepala sekolah oleh sebab merekalah yang memiliki kewenangan mengatur menejemen sekolah.
“Salah satu kunci perbaikan menejemen sekolah-sekolah GMIT adalah Yayasan mengangkat kepala sekolah. Sehingga dia loyal pada visi dan misi Yayasan. Kami berharap ada keputusan sinodal pada sidang sinode Oktober 2019 supaya tahun 2020 mendatang dana pendidikan 2% bisa difokuskan untuk kebutuhan gaji kepala-kepala sekolah yang diangkat oleh Yapenkris,” jelas Pendeta Elisa.
Menurut kalkulasinya, dana 2% pendidikan yang saat ini nilainya sudah mencapai 1,5 Milyar per tahun sudah cukup untuk membiayai gaji 13 kepala sekolah di 13 Yapenkris. Seandainya rata-rata gaji kepala sekolah sebesar 5 juta rupiah maka total kebutuhan gaji sebulan 65 juta rupiah atau 780 juta per tahun. Dengan demikian menurut pendeta Elisa, dari sisi anggaran, Majelis Sinode GMIT cukup siap untuk memperbaiki mutu sekolah-sekolah GMIT secara bertahap. Bahkan, melihat kemajuan sekolah-sekolah model tersebut, Badan Pendidikan dengan dukungan 23 guru dari MPK akan menambah 5 sekolah model lagi pada bulan November 2019 mendatang. 5 sekolah model yang direncanakan antara lain; SD GMIT Kesetnana, SD GMIT Mausenu, SD GMIT Camplong, SD GMIT Pantar Timur, dan SD GMIT Oebobo.
Penilaian senada juga disampaikan Ketua MPK, Ir. David Tjandra, MA. Berdasarkan monitoring dan evaluasi kunjungannya ke sekolah-sekolah model GMIT, ia menyimpulkan bahwa kendala utama perbaikan mutu sekolah-sekolah GMIT salah satunya terletak pada lemahnya komitmen kepala sekolah.
“Skema atau tahapan-tahapan sekolah model sudah kami siapkan. Hanya butuh kerendahan hati dari kepala sekolah atau rekan-rekan guru lokal untuk mau belajar dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibawa oleh guru-MPK. Saya lihat, di semua sekolah di Indonesia Timur yang kami tempatkan guru-guru MPK, agak mirip masalahnya. Memang ada perubahan yang sudah jalan, tetapi perubahan yang mendasar perlu komitmen dari kepala sekolah. Sebab kalau pimpinan tidak mau berubah dan menghambat proses itu memang susah. Kita lihat misalnya di salah satu SD, kepala sekolahnya tidak mau bekerja sama. Dia merasa tanggungjawabnya hanya kepada pemerintah. Waktu kami pergi dan diskusi tentang rencana perbaikan mutu sekolah dia bilang, o…, itu harus bicara dengan dinas. Jadi kami bilang, ini sekolah kita, kita mau bikin perubahan itu hak kita sebagai Yayasan dan gereja. Itu keuntungan kita sebagai sekolah swasta,” ujar David.
Meski menghadapi tantangan yang demikian, David yakin bahwa perbaikan mutu pendidikan sekolah GMIT bukan tidak mungkin. Asal ada kemauan, ketekunan dan kerja sama.
Cerita perkembangan dua sekolah model GMIT di atas mewakili 5 sekolah lainnya yang sedang mengalami perkembangan yang kurang lebih sama. SD GMIT Ligu di Sabu dan SD GMIT 33 Moru di Alor misalnya, tahun 2019 ini membatasi pendaftaran siswa baru karena daya tampung ruang terbatas seiring meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap mutu pendidikan sekolah tersebut.
Kabar baik ini membuktikan bahwa asalkan semua pihak berkomitmen, maka peningkatan mutu sekolah GMIT bukan hal yang mustahil. Bukankah dengan dua guru MPK di satu sekolah saja sudah mampu memberi pengaruh positif terhadap kemajuan sebuah sekolah yang hampir tutup, apalagi kalau banyak pihak mau terlibat? *** (wanto/kominfogmit)