KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Menyadari pentingnya kebutuhan jemaat pada liturgi kontekstual mendorong Majelis Sinode GMIT melalui UPP Liturgi dan Musik Gereja menggelar Seminar dan Lokakarya (semiloka) liturgi yang berlangsung di jemaat Zion Camplong, 24-26/1-2018.
Kegiatan yang melibatkan 34 pendeta ini dibuka oleh Wakil Sekretaris MS GMIT, Pdt. Marselintje Ay-Touselak. Dalam suara gembala Pdt. Marselintje mengatakan perkembangan zaman menuntut adanya liturgi yang dapat menyentuh kebutuhan jemaat dengan segala konteks hidup mereka.
“Episode ibadah jemaat pertama-tama berlangsung di ruang ibadah dan selanjutnya nampak dalam karya kehidupan sehingga sangat dibutuhkan tata ibadah yang bisa menyentuh aneka latar belakang hidup, suku, budaya dan aneka aktivitas lainnya,” ungkap Pdt. Marselintje.
Menurutnya bahasa yang digunakan dalam liturgi pun perlu mendapat perhatian sehingga tidak terkesan “kering” dan bias gender. Karena itu ia mengharapkan semiloka ini dapat menghasilkan sejumlah liturgi dan revisi terhadap liturgi yang sudah ada.
Semiloka menghadirkan pemateri Pdt. Irene Umbo Lolo, MT.h, mahasiswa S3 dari STT Jakarta dan Pdt. Samuel Pandie, wakil ketua Satgas UPP Liturgi dan Muger, dengan moderator Pdt. Heinrich Fanggidae, M.Si.
Dalam materinya tentang “Prinsip-prinsip Liturgi Gereja Protestan di Indonesia, Hari Raya dan Tahun Gerejawi” Pdt. Irene menyampaikan beberapa pokok teologi liturgi:
Pertama, liturgi tidak terbatas pada ruang ibadah pada hari tertentu melainkan melingkupi seluruh aktivitas manusia setiap waktu.
“Ibadah/liturgi tidak berhenti dalam ruang ibadah. Oleh karena itu pada bagian akhir liturgi terdapat unsur pengutusan dan berkat. Jemaat tidak berlama-lama tinggal dalam ruang ibadah melainkan diutus untuk melanjutkan liturgi dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Kedua, liturgi tidak hanya menyangkut relasi perjumpaan Allah dan manusia tetapi juga alam. Terkait hal ini ia mengkritisi kebiasan gereja-gereja yang cenderung mendekor ruangan dengan bunga-bunga plastik.
“Gereja-gereja kita kerap kali memenuhi ruangan ibadah dengan barang-barang plastik. Allah yang kita imani adalah Allah yang hidup. Lantas, mengapa kita tidak menanam dan menaruh bunga-bunga hidup dalam ruang ibadah sebagai simbol liturgis yang menandakan relasi Allah, manusia dan alam?” ungkap dosen STT Lewa ini.
Ketiga, Pergerakan liturgi gereja Katolik dan Protestan. Menurutnya saat ini, liturgi menjadi sangat dinamis. Baik gereja Katolik, gereja-gereja Reform maupun Pentakostal saling memengaruhi satu dengan yang lain. Bahkan ada gejala di mana liturgi Katolik cenderung Protestan dan sebaliknya Protestan menjadi Katolik. Misalnya, pada aspek homili yang makin menjadi perhatian di kalangan Katolik, sedangkan di lingkungan protestan mengadopsi penggunaan stola dan leksionari. Begitu pun dengan penggunaan nyanyian. Gereja-gereja Reform mulai mengadopsi lagu-lagu hillsong yang berasal dari kalangan Pentakostal.
Keempat, prinsip-prinsip liturgi. Bahwa prinsip utama dalam liturgi adalah inisiatif Allah yang memanggil manusia melalui peristiwa Kristus.
“Seringkali untuk memberi kesan rohani dalam ibadah, pemimpin ibadah berseru, “Kami mengundang Engkau ya Allah untuk hadir dalam ibadah ini” atau “kami rindu bertemu dengan-Mu…dst”, kata-kata ini kelihatan indah tetapi secara teologis keliru. Sebab Allah-lah yang memanggil manusia yang berdosa bukan sebaliknya,” demikian kritik Pdt. Irene.
Mengutip Robert Weber dalam bukunya, “Worship Old & New, a Biblical, Historical and Practical Introduction”, ia juga mengingatkan agar unsur kesaksian dalam ibadah persekutuan doa atau Kebaktian Penyegaran Iman (KPI), tidak menggeser kesaksian tentang Allah.
“Peristiwa kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus adalah pusat dari liturgi. Karena itu, kita mesti hati-hati dalam liturgi kontemporer yang terlalu menekankan aspek kesaksian pribadi/pengalaman iman seseorang. Akibatnya, tidak jelas lagi di mana peristiwa Yesus yang mau diberitakan, karena yang dia omong adalah peristiwa dirinya saja.”
Terkait liturgi kontemporer/ekspresif Pdt. Irene juga menegaskan bahwa perlu kehati-hatian dalam mengemasnya sehingga tidak terkesan jemaat datang menonton pertunjukan. Liturgi mengandung unsur menghibur tetapi bukan hiburan.
“Seringkali liturgi kontemporer dikemas dalam model seperti orang yang mau menonton pertunjukan. Aspek hiburan terlalu diutamakan. Jemaat juga maunya begitu, jadi kalau tidak ada hiburan dia tinggalkan ibadah. Pokoknya yang menyenangkan hati, itu yang dia sukai. Persis seperti orang menonton konser. Jadi ada panggung tersedia, ada orang yang tampil di situ supaya memuaskan audiens. Hati-hati dengan perkembangan liturgi kontemporer saat ini yang terlalu menekankan aspek emosi padahal prinsip liturgi adalah berpusat pada peristiwa Kristus. Jangan sampai Kristus tergeser karena kita sibuk dengan pusat-pusat yang lain.” ***