Sub Tema 2019: Kristus Memberi Kita Daya Untuk Menata Relasi Pelayanan Dalam Gereja Dan Masyarakat Sebagai Sesama Murid Dan Kawan Sekerja Allah Serta Relasi Dengan Alam Sebagai Sesama Ciptaan Allah (Band. 1 Kor. 3:9 Dan Matius 10:1)

Pdt. Dr. Mesakh Dethan

Judul tulisan di atas “Kristus Memberi Kita Daya Untuk Menata Relasi Pelayanan Dalam Gereja Dan Masyarakat Sebagai Sesama Murid Dan Kawan Sekerja Allah Serta Relasi Dengan Alam Sebagai Sesama Ciptaan Allah” merupakan sub Tema Pelayanan GMIT untuk tahun 2019. Sub Tema ini merupakan penjabaran dari Tema pelayanan GMIT periode 2015-2019,yakni “Yesus Kristus adalah Tuhan”.  Di akhir periode pelayanan (2015-20190, Sub Thema ini mau menegaskan dua hal penting, yaitu kemuridan dan kawan sekerja. Hal ini penting, oleh karena di tahun 2019 GMIT dalam semua lingkup pelayanan akan mengalami periode transisi dan persidangan-persidangan. Dua aspek ini (kemuridan dan kawan sekerja) diperlukan sebagai dasar untuk menata kualitas relasi pelayanan gereja maupun kualitas relasi dengan alam di berbagai aspek pelayanan gereja.

Dalam rangka itu saya diminta untuk menyoroti Sub Tema “Kristus Memberi Kita Daya Untuk Menata Relasi Pelayanan Dalam Gereja Dan Masyarakat Sebagai Sesama Murid Dan Kawan Sekerja Allah Serta Relasi Dengan Alam Sebagai Sesama Ciptaan Allah” (Band. 1 Korintus 3:9 dan Matius 10:1) dari perspektif Alkitabiah (biblis). Berharap diskusi awal hari ini memperkaya materi ini untuk selanjutnya membuka perspektif mengenai sub Tema Pelayanan GMIT tahun 2019.

Pemahaman Teks

Tantangan pergumulan pelayanan yang akan dihadapi GMIT di tahun 2019 tentu berbeda dengan tantangan dan konteks yang dihadapi oleh penulis teks 1 Korintus 3:9 dan Matius 10:1. Tentu pula pada kesempatan yang singkat ini saya tidak bermaksud menjelaskan panjang lebar tentang latar belakang teks dari kedua penulis itu disini. Beberapa penjelasan latarbelakang teks dan konteksnya diangkat sepanjang membantu kita mempertajam atau menampilkan pokok-pokok teologis yang penting yang dengannya membuka diskusi dan percakapan lebih lanjut. Tentang latar belakang teks dan lain-lain silahkan saudara-saudari menelusuri lebih jauh sendiri pada literatur-literatur yang disebutkan dalam footnote maupun daftar pustakanya.

Teks 1 Kor 3:9

Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah       (1 Kor 3:9 ITB).

Kutipan kata-kata ini berasal dari salah satu nasehat rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus menjawab permasalahan-permasalahan dan perselisihan yang dihadapi jemaat sebagaimana yang dilaporkan oleh keluarga Kloë kepada Rasul Paulus (bandingkan 1 Kor 1:11, 5:1, 7:1, 8:1, 11:18, 12:1, 15:12).[1]  Menurut Niebuhr dilihat dari struktur penulisan surat 1 Korintus ini maka dapat dibagi atas tiga bagian besar yaitu bagian pertama terdiri dari awal surat (1:1-9) bagian kedua (1:10-15:58) yang dapat dirincikan lagi menjadi tiga bagian: a) 1:10-4:21 yang berisi penjelasan mendasar Paulus tentang salib Kristus yang memiliki makna sentral dalam kehidupan jemaat; b) 5-7 sikap etis Paulus tentang masalah seksualitas; c) 8-10 berkaitan dengan persembahan berhala; dan d) pasal  15 tentang kebangkitan  dibagi dan bagian ketiga penutup surat (16:1-24).

Bagi Paulus, Salib Kristus adalah sebuah peristiwa penting yang menjadi dasar dan inspirasi bagi kesatuan mereka. Pada salib Kritus terletak kehendak dan hikmat Allah, yang baik bagi kehidupan jemaat, yang bertentangan dengan kehendak dan hikmat manusia, yang buruk dan membawa kepada kebinasaan.  “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. Karena ada tertulis: “Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.” (1 Kor 1:18,19).

Bagi Paulus penanaman nilai-nilai Kristiani bukan saja kita peroleh dalam relasi keluarga, masyarakat atau dalam hubungan dengan mereka yang berbeda keyakinan (lihat misalnya pasal 1 Kor Pasal 8-10), tetapi juga terutama dalam kehidupan bergereja kita. Tugas Gereja adalah menuntun orang percaya untuk setia dan dibangun di atas dasar Yesus Kristus sebagai kepala gereja, dengan menggalang semangat persatuan dan pelayanan berdasarkan karunia dan talenta yang dimiliki masing-masing orang.

Saya kira pemahaman ini yang menjadi inti pemikiran dasar Rasul Paulus dalam nasehat kepada Jemaat di 1 Kor 3:9 dst, dimana Paulus menasehati jemaat di Korintus untuk bersatu sebagai Tubuh Kristus turut serta dalam pekerjaan pelayanan pembanguan Jemaat. Pelayanan dalam gereja hanya bisa jalan kalau jemaat bersatu dan menghindari perpecahan dan pengelompokan diri atau membangun kubu-kubuan dalam jemaat. Bagi Paulus pelayanan dalam gereja adalah membangun kemitraan, sinergitas dan kebersamaan di bawah pimpinan Allah di dalam menyebarkan kebenaran. (1 Kor 3:5-4:5).

Bagi Rasul Paulus yang empunya pelayanan dalam gereja adalah Tuhan Allah sendiri, sehingga kita semua baik itu para pekerja gereja, para Pendeta, Penatua, Diaken,Pengajar, dan semua pelaku pelayanan, adalah para pekerja Allah, mitra Allah dalam membangun gereja sebagai Tubuh Kristus. Bagi Paulus para pelayan itu tidak lebih dari pada hamba, karena sesungguhnya yang bekerja adalah Allah (1 Kor 3:5-9). Para pelayan sebagai mitra Allah dengan kapasitas dan talenta masing-masing  diapakai Allah untuk membangun jemaat Tuhan (1 Kor 3:9-18), karena tidak boleh ada yang membanggakan diri atau terjebak dalam pengkultusan diri (1 Kor 3:18-23), karena semua kita toh akan dihamiki Allah ( 1 Kor 4:1-5).  Teolog perempuan Iris Geyer dari Jerman bilang bahwa “kita bekerja di dalam dan bersama Kristus, dan tidak lebih dari itu”.

Rasul Paulus sendiri sadar bahwa kendatipun dia yang telah merintis terbentuknya jemaat Korintus, tetapi itu bukan alasan untuk menyombongkan diri, karena bagi Paulus pekerjaan pelayanan di Korintus adalah tanggungjawab bersama jemaat juga para pelayanan Tuhan yang meneruskan pekerjaan pelayanan itu. Paulus berkata dengan indah dalam ayat 10: “Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya”.  Dengan indah juga Paulus melukiskan gereja sebagai bangunan Allah (ayat 9: Orang percaya sebagai bangunan Allah bahkan ladang Allah, dimana semua orang percaya juga adalah Mitra Allah dalam pembangunan itu, “Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah”.

Bagi Paulus juga pembangunan jemaat itu tidak dengan hal-hal yang tidak tahan uji (ayat 12) atau juga dengan pengajaran yang dangkal, tidak dengan pengajaran dan tindakan jerami berdasarkan hikmat manusia[2] (lihat 2:4-5, 13, tetapi didasarkan pada hikmat Tuhan. Jemaat bahkan adalah Bait Allah,[3] dan barangsiapa yang menghancurkannya dia akan berhadapan dengan Allah sendiri (ayat 16 dan 17).  Ini sebetulnya kritik bagi pihak-pihak yang suka merusak persekutuan jemaat tertentu, dengan cara-cara yang licik dan jahat. Kritik juga bagi pihak-pihak yang dengan ambisi pribadinya merusak relasi dan persekutuan dalam gereja Tuhan.

Itu berarti Gereja Tuhan harus dibangun diatas dasar hikmat Kristus selaku dasar gereja dan sekaligus kepala gereja. Perselisihan, pementingan diri sendiri, memupuk egoisme diri maupun ego kelompok atau ego sektoral, upaya cari nama, godaan untuk membesarkan diri sendiri, pengekploitasian dan pemerasan terhadap sesasama dan arogansi adalah tanda-tanda dan hikmat duniawi, karena hikmat Kristus mengajarkan sebaliknya kasih, pengorbanan dan kerendahan hati.  Penekanan pada salib yang menekan pada kasih, pengorbanan dan kerendahan hati sudah sejak awal ditekankan oleh Yesus waktu ia memanggil murid-muridnya untuk tugas pemberitaan Injil (Mat 10:1).

Teks Mat 10:1

Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan.” (Mat. 10:1).

Persiapan dan Pembekalan kepada para murid dan orang percaya telah Yesus lakukan oleh Yesus sendiri sebagai “Pelatih, Tutor, Penceramah, Narasumber, Motivator, Mentor, Guru Magang dan Guru yang Agung dalam  teks Matius 5:1-7:29  dengan judul “die Bergpredigt” [4] (khotbah di Bukit).

Khotbah di Bukit dan beberapa bagian teks lainnya dari Injil Matius sebetulnya memperlihatkan atau mencerminkan etika dari Injil Matius yang menekankan bahwa para murid dan orang percaya mampu melakukan kehendak Allah sebagai syarat untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Injil Matius menurut Schnelle menekankan respons dan tanggungjawab manusia terhadap pemberitaan Yesus tentang “Injil Kerajaan Alah (bandingkan Matius 4:23; 9;35; 24:14).

Percaya kepada Yesus berarti melakukan kehendak Bapa-Nya. Sebagaimana Yesus sendiri, semua tindakanNya adalah dimengerti sebagai pemenuhan terhadap kehendak Allah (Mat. 3:15), yaitu yang bermuara pada melakukan dan mewujudkan dikaiosyne (kebenaran) Allah dalam kehidupan nyata (band. Mat. 5:6,10, 20; 6:1, 33; 21:32). Tuhan Yesus menuntut para muridnya memiliki pola hidup keagamaan, pada satu pihak harus lebih baik dari para Farisi, dan dipihak lain harus lebih baik dari pada pemungut cukai (Mat 5:46) maupun orang yang tidak menganal Allah (Mat 5:47) sebagai persyaratan untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Mat. 5:20, 48). Para murid dituntut untuk menempatkan sikap etis mereka pada tindakan dan ajaran Yesus. Sebagaimana Yesus sendiri di Getsemani (band. Mat. 26:42) menggenapi Doa Bapa Kami (Mat.6:10), maka para murid dan Gereja pun mesti berserah kepada kehendak dan hikmat Allah yang bermuara pada salib dan tindakan kasih. Para murid harus memiliki kesabaran terhadap mereka yang berbuat jahat, membantu mereka yang berhak mendapatkan bantuan dan berlaku adil seperti Tuhan yang berlaku adil (bandingkan Mat 5:39-45).

Pemanggilan dan pengutusan para murid dilakukan Yesus secara sistematis, terprogram, terarah dan dalam pengawasan yang ketat dan bahkan secara masif pula karena Yesus sudah memperhitungkan resiko yang harus dihadapi mereka, maka Yesus memberikan gambaran tentang salib yang harus mereka pikul, sehingga mereka harus pandai-pandai membawa diri (band. Mat 10:16, 40; 23:34). Sebelum mengutus mereka, Yesus melakukan  persiapkan, pengajaran yang matang. Istilah pemilihan para murid mengindikasikan bahwa dua belas murid yang terpilih telah melewati tahap seleksi dan ujian yang ditentukan Yesus sendiri. Mungkin saja banyak yang ingin menjadi murid-murid Yesus, tetapi pada kesempatan awal itu hanya 12 yang terpilih (Mat 10:2-4). Sebagai bagaian dari persiapan Yesus selalu membawa mereka kemanapun. Bahkan ke pesta pun Yesus membawa mereka (Pesta Nikah di Kana, Yoh.2:1-10), pergi ke berbagai kota (Yoh 2:12, 4:1 dyb, 4:43; 5:1 dyb; 7:1 dyb; 12:1 dyb), Bagaimana Yesus mengajari mereka berdoa (Mat 5:44; 6:5-6, 9; 14:23; 17:21; 24:20; 26:36-44) dan berbagai hal lainnya. Intinya dengan membawa mereka bersama-Nya Yesus mau menekankan bahwa persiapan yang paling baik untuk melakukan pelayanan adalah mengenal dan bersekutu dengan Yesus. Orang yang mau melayani Tuhan Yesus harus terlebih dulu berada bersama-Nya (Yoh. 12:26). Merasakan kehadiran Tuhan dalam keseluruhan hidupnya sama seperti dirasakan oleh Rasul Paulus.

Paulus mengalami penyataan Kristus bukan hanya melalui penampakan kepadanya, melainkan juga di dalam dirinya, sebelum ia memberitakan-Nya di antara bangsa-bangsa bukan-Yahudi (Gal. 1:16 “berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia”). Melalui tindakan-tindakan iman dan kegiatan doa tanpa henti dan melalui perenungan akan Firman Allah yang mendalam, maka persekutuan dengan Kristus pasti akan terus terjaga dan terpelihara. Hal ini merupakan persyaratan baku dan mendasar untuk melakukan pelayanan Tuhan dalam segala lini dan tingkatan dan di segala lingkup pelayanan.  Yesus mengajarkan murid-murid-Nya sebelum Ia mengutus mereka (Mat 5:2) dan juga setelah itu, ketika memperluas amanat mereka, Ia mengajarkan lebih banyak petunjuk lagi kepada mereka (Kis. 1:3). Yesus tidak hanya memberkati mereka tetapi juga menjamin mereka dengan kuasaNya yang akan menyertai mereka sampai akhir jaman (Mat 28:20)

Dengan mengajar mereka baik secara pribadi maupun di depan umum tentang Kitab Suci, tentang rahasia Kerajaan Sorga dan berbagai pengajaran lainnya, Yesus mempersiapkan dan mengutus mereka untuk pekerjaan Allah bagi dunia ini. Mereka tidak hanya diterima sebagai murid tetapi juga dipersiapkan sebagai guru dan pemberita injil. Akan tetapi orang yang ingin menjadi guru harus terlebih dulu belajar menjadi murid; mereka harus menerima, supaya bisa memberi, mereka harus cakap mengajar orang lain (2Tim. 2:2). Kebenaran-kebenaran Injil harus diletakkan dalam diri mereka terlebih dulu sebelum mereka diutus untuk mengajarkannya. Penulis Amsal seolah memberikan menegaskan bahwa mendelegasikan  wewenang  kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengajar orang lain hanyalah merupakan suatu penghinaan bagi Tuhan dan jemaat-Nya; ini bagaikan Amsal yang diberitakan oleh mulut orang bebal (Ams. 26:6).

Yesus memberikan mereka daya (Yunani: exousia), kuasa, wewenang yang tidak berasal dari dunia, tetapi dari Tuhan Allah sendiri. Daya untuk melayani orang agar mereka patuh dan dengar-dengaran pada Allah. Semua daya, wewenang, kuasa dalam jemaat berasal dari Yesus Kristus.Yesus memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat dan atas segala penyakit. Pada konteks dan jaman Yesus para murid adalah orang-orang biasa, namun Yesus memberikan daya sehingga mereka memiliki kuasa-kuasa luar biasa yang membuat mereka melebihi para ahli Taurat. Kalau para murid pada jaman dan konteks kehidupan mereka saja yang terbatas menjadi sangat luar biasa pada jamannya, apalagi kita “para murid modern” yang hidup dalam era kecanggihan teknologi dan informasi semestinya memberikan lebih banyak buah-buah iman bagi Tuhan.

Pergi mencari domba-domba yang hilang sebagai bagian utama juga dari tugas para murid adalah mencari domba-domba yang hilang (orang-orang di kampung-kampung, pedalaman, pelosok, terkebelakang, minim akses)[5] dalam konteks GMIT masa kini, bisa diartikan juga sebagai para korban perdagangan orang, para TKW/TKI yang diperlakukan secara tidak adil. Gereja terpanggil untuk bermitra bersinergi dengan berbagai pihak yang kompeten untuk membawa kabar baik kepada mereka.

Kakayaan alam yang berlimpah di desa-desa yan belum dikelola dengan baik, mestinya mendorong gereja untuk bersinergi dan membangun network dengan semua pihak untuk mengelola alam secara ekologis dan berkelanjutan agar orang tidak tergoda meninggalkan kampung dan mau terbujuk dengan iming-iming dan mimpi-mimpi palsu yang menyesatkan bahkan mencelakakan atau terperangkap dalam jaringan perdagangan orang. Pelestarian alam dalam rangka pemberdayaan ekonomi pedesaan perlu dipikirkan oleh gereja2 kota yang kuat secara ekonomi. Aspek kemitraan dan sinergitas juga bisa mendapat makna yang kuat jika aspek lingkungan alam yang memberi aspek ekonomis namun berkelanjutan diperhatikan.

Tanah mesti dikelola dengan bertanggungjawab, oleh karena kita dibentuk dari tanah, makan dari tanah dan akan dikuburkan dalam tanah.

Penutup

Demikian beberapa catatan awal yang dapat saya sampaikan. Kiranya diskusi kita makin memperkaya materi ini, terutama pemahaman kita.

Daftar Pustaka
Browne, R.E.C.: The Ministry of the Word, SCM Press LTD, London 1984, hal. 52 dst.
Conzelmann, Hans, Lindemann, Andreas,Arbeitsbuch zum Neuen Testament, 14. Auflage, Mohr Siebeck, 2004.
Erdward, Richard A: Mathew’s Stor of Jesus, Fortress Press, Philadelphia 1985, hal. 24
Fackre, Gabriel: Word in Deed, Theological Themes in Evangelism, WB Eerdmans Publishing Company, Michigan 1975, hal. 52.
Haag, Herbert:Bibliches Wörterbuch,Verlag Herder,Freiburg-Basel-Wien 2003.
Hughs, Philip Edcumbe: Paul’s Second Epsitle to the Corinthians, WB Eerdmns, Michigan 1982, hal 305 dst.
Guthrie, D, dkk,New Bible Commerntary, Intervasity Press, England 1970, hal. 829
K.-W. Niebuhr (Hg.), Grundinformation Neues Testament, 2. Auflage, Vandenhoeck & Ruprecht In Göttingen 2003, hal. 58 dyb
Schnelle, Udo: Einleitung in das Neue Testament, 5 Auflage, Vandenhoeck & Ruprecht, Goetinggen 2005, hal. 269.
[1] Lihat  K.-W. Niebuhr (Hg.), Grundinformation Neues Testament, 2. Auflage, Vandenhoeck & Ruprecht In Göttingen 2003, hal. 58 dyb..
[2] Ayat 19 dari perikop ini menjelaskan bahwa hikmat dunia ini tidak ada artinya dengan hikmat yang berasal dari Allah. Hikmat dari dunia ini juga tidak dapat dibandingkan dengan hikmat yang berasal dari Allah. Jika ditelusuri ke belakang, di ayat 18 dijelaskan bahwa banyak orang yang menganggap ajaran-ajarannya benar, namun hal tersebut justru menunjukkan kebodohan mereka. Ayat 18 menunjukkan kepada pembaca bahwa hikmat dunia sering kali dilandasi dengan keangkuhan dari orang-orang yang mempercayai hikmat tersebut. Teori dan filsafat yang dikembangkan bukan untuk memuliakan Tuhan dan hanya untuk membanggakan pikiran diri sendiri atau hanya untuk mencari popularatas tidak ada manfaatnya bagi gereja dan pertumbuhan iman Jemaat. Oleh sebab itu Paulus melalui nas ini mencoba menekankan bahwa hikmat yang berasal dari keangkuhan hanya akan menunjukkan kebodohan manusia dan hanya akan menjadi suatu kebodohan yang hendak ditunjukkan manusia di hadapan Allah. Oleh karena itu Paulus menekankan pentingnya orang mengandalkan Kristus sebagai hikmat Allah yang sejati.
[3] Yang ditekankan di sini ialah seluruh jemaat orang percaya sebagai Bait Allah dan tempat kediaman Roh (bd. ayat 1Kor 3:92Kor 6:16Ef 2:21). Selaku Bait Allah di tengah-tengah lingkungan yang bobrok, umat Allah di Korintus tidak boleh berpartisipasi dalam kejahatan yang lazim dalam masyarakat itu seperti percabulan dan penyembahan berhala atau rupa-rupa kejahatan lainnya, tetapi mereka harus menolak segala bentuk kebejatan. Bait Allah harus kudus (ayat 1Kor 3:17) karena Allah itu kudus (bd. 1Pet 1:14-16;). Bait Allah bukan sarang penyamun (Mat 21:13; Mark 11:17, Luk 19:46).
[4] Udo Schnelle, Einleitung in das Neue Testament, 5 Auflage, Vandenhoeck & Ruprecht, Goetinggen 2005, hal. 269.
[5] Bandingkan D. Guthrie, dkk, New Bible Commerntary, Intervasity Press, England 1970, hal. 829

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *