Tahbis Gedung Gereja Kefas Teas – Bangun Rumah Tuhan dari Susah

Dalam perjalanannya, gereja terus bertumbuh dan menata dirinya sebagai bukti bahwa Tuhan selalu menyertai perjalanan gereja. Salah satu bentuk pertumbuhan gereja yang dapat diukur secara fisik adalah melalui dibangunnya gedung-gedung kebaktian.

Hal ini terjadi di Jemaat Kefas Teas, Klasis Amanuban Selatan. Setelah membangun gedung kebaktian selama 15 tahun, jemaat  mempersembahkan sebuah gedung kebaktian untuk diresmikan dan ditahbiskan menjadi tempat bersekutu dan bertemu Tuhan.

Pentahbisan dan peresmian gedung kebaktian ini, dilaksanakan dalam sebuah kebaktian yang dilangsungkan pada Selasa, 21 Oktober 2014. Bertindak sebagai pendeta pentahbis adalah Pdt. Robert St. Litelnoni. Sementara pemimpin kebaktian adalah Pdt. Semuel Pandie.

Ketua MS, Pdt. Robert Litelnoni, menyatakan bangga karena jumlah jemaat Kefas Teas yang hanya 227 KK, dengan rata-rata 90 % jemaat bermata pencaharian sebagai petani tapi mempersembahkan sebuah gedung kebaktian yang terbilang cukup mewah. “Gedung gereja ini adalah bangunan yang paling besar di Desa Teas. Karena itu jemaat harus bisa menjadi berkat bagi masyarakat. Apalagi gedung ini dibangun dari jemaat yang susah secara hidupnya. Menjadi berkat adalah menghadirkan damai sejahtera di tengah kesulitan hidup masyarakat.” Kata Pdt. Robert.

Menurut Pdt. Robert, wilayah Teas, cukup potensial kalau dikelola dengan baik. Untuk itu ia mendorong gereja untuk memberi solusi bagi persoalan jemaat.

Wilayah Desa Teas Kecamatan Noebeba Kabupaten Timur Tengah Selatan cenderung kering dan persoalan yang dihadapi dari tahun ke tahun adalah kesulitan air pada musim kering. Untuk mengambil air, masyarakat harus menempuh perjalanan sejauh 3 km, ke kali yang sudah kering. Di sana, masyarakat menggali sedalam 1-2 meter untuk mendapatkan air yang layak untuk diminum. Dan lubang galian air harus kembali digali sekitar 1-2 minggu sebab airnya cepat kering jadi harus kembali digali lebih dalam lagi atau mencari sumber galian lain di sekitar kali.

Sebagai upaya membantu mengatasi persoalan air maka Ketua Majelis Sinode memberikan bantuan satu buah sumur bor kepada jemaat. Sementara Wakil Gubernur NTT, yang hadir pada kesempatan itu memberi bantuan sebuah sepeda motor.

Mata pencaharian jemaat adalah petani musiman. Saat musim hujan maka mereka menanam jagung, kacang-kacangan. Selain itu mereka menjual asam dan kemiri. Sebagai warga memilih berjualan kayu api dan arang di seputaran Kota Soe untuk bertahan hidup. Di tengah kemiskinan dan kesulitan hidup, mereka berhasil membangun gedung kebaktian seluas 32×32 meter. Bentuknya bulat dan cukup megah. Butuh waktu hingga 15 tahun untuk membangunnya. “Sumber dana pembangunan paling banyak berasal dari persembahan jemaat dan anak asal jemaat yang telah merantau ke luar daerah,” kata Pdt. Guten Selan, salah satu anak jemaat yang berasal dari Teas. ••• Leny

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *