SS GMIT XXXIII – sinodegmit.or.id – Salah satu Peraturan Pastoral yang dipercakapkan dalam Sidang Sinode XXXIII adalah Peraturan Pemakaman Orang Mati. Peraturan ini dibahas secara khusus dalam satu komisi yang ditetapkan oleh Sidang Sinode.
Ternyata banyak kasus yang dipraktekkan di jemaat-jemaat sebagai akibat dari landasan teologis yang tidak kuat perihal pemakaman orang mati. “Kita terjebak pada membicarakan kasus per kasus sehubungan dengan pemakaman orang mati di jemaat-jemaat. Dari berbagai sharring tentang kasus-kasus yang terjadi, menjadi bukti bahwa landasan teologis kita tentang pemakaman orang mati masih rendah karena itu maka kita perlu menyusun landasan teologis yang tepat. Lagi pula perihal pemakaman orang mati, pada prakteknya, kita tidak bisa dengan begitu saja lepas dari pengaruh budaya. Maka hal ini perlu diperhatikan dengan baik oleh Majelis Sinode yang akan memutuskan peraturan ini di Sidang Majelis Sinode terdekat nanti,” kata Pdt. Yohanes Ratu.
Pernyataan Pdt. Yohanes dihubungkan dengan sharring pengalaman pelayanan pemakaman orang mati yang begitu beragam di jemaat-jemaat GMIT. Termasuk tidak setujunya peserta persidangan soal ungkapan ‘Ungkapan semoga arwah saudara (menyebutkan nama orang yang meninggal) mendapat tempat di sisi Tuhan, sesuai dengan amal baktinya.’ Ungkapan seperti ini tidak diperkenankan untuk diucapkan oleh anggota GMIT mengingat tidak sesuai tidak sesuai dengan ajaran alkitab.
Pdt. John Ballo, menyatakan ketidaksetujuannya atas kalimat dalam liturgi pemakaman saat hendak memakamkan orang mati ‘Kami memakamkan engkau saudara (menyebutkan nama orang yang meninggal) dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus.’ Baginya itu adalah ungkapan yang tidak alkitabiah karena pelayan dianggap melakukan dialog dengan orang yang meninggal. “Bagi saya ungkapan itu sangat tidak alkitabiah karena konsepnya adalah kita berdialog dengan orang yang telah meninggal,” kata Pdt. John.
Hal menarik lain yang dibagikan dalam persidangan adalah fakta bahwa terjadi diskriminasi perlakuan terhadap orang yang meninggal dengan penyakit khusus seperti HIV AIDS. “Kita perlu ada penjelasan berkenan dengan pemakaman orang mati dengan sakit khusus seperti HIV AIDS. Pada pemakaman orang yang mati karena HIV AIDS, seringkali karena distorsi informasi sehingga pemakaman dilakukan secepat-cepatnya. Begitu jenazah dibawa dari rumah sakit langsung dikuburkan. Ia mendapat perlakukan yang berbeda sekali dengan orang yang meninggal karena alasan lain. Saya kira gereja perlu memberi penjelasan kepada para pendeta dan presbiter tentang soal ini supaya tidak ada diskriminasi perlakukan. Maka perlu diatur pelayanan orang mati untuk sakit khusus seperti ini,” pinta Haris. ••• Leny