Toga Pendeta Bukan Busana Pribadi

KUPANG,www.sinodegmit.or.id, Beragam desain toga pendeta GMIT dan penambahan asesoris lain berupa kalung salib pada pakaian jabatan tersebut, baru-baru ini mendapat perhatian Majelis Sinode (MS) GMIT. Pasalnya, dasar teologis maupun unsur-unsur lain dalam penggunaannya dianggap belum cukup detail diatur dalam Tata GMIT.

Menanggapi hal itu, MS GMIT melalui UPP Teologi menggelar diskusi teologis, mengundang tiga narasumber yakni: Pdt. Dr. Albinus Netti (teolog bidang liturgi), Pdt. Semuel Nitti, M.Th (mantan Wakil Ketua Sinode GMIT) dan Pdt. Jack Karmany, S.Th (mantan Sekretaris Sinode GMIT), dengan moderator Pdt. Dina Dethan-Penpada, M.Th.

Dalam pemaparan materinya Pdt. Nitti menegaskan bahwa jabatan pendeta adalah jabatan milik gereja yang diberikan kepada warganya yang memenuhi syarat tertentu untuk tugas khusus. Dan, toga sebagai pakaian jabatan adalah ikutannya. Oleh karena itu seorang pendeta tidak boleh menambahkan asesoris apapun sebab toga bukan busana pribadi.

“Toga pendeta bukan busana milik pribadi. Pilihan asesoris juga bukan pilihan pribadi dan sesuka hati. Karena itu pakaian jabatan berhubungan dengan jabatan yang diberikan oleh gereja untuk tugas khusus maka asesoris-asesoris juga diberikan oleh gereja. Jadi waktu saya lihat ada pendeta yang mulai gantung kalung salib berwarna keemasan atau perak baik di depan maupun di belakang menurut saya ia merendahkan pakaian jabatan.”

Ia juga membandingkan penggunaan pakaian jabatan dan asesoris  di gereja dan pemerintahan.

“Kalau kita ikut upacara-upacara pemerintahan, orang hanya pakai pakaian jabatan dan asesoris yang diberikan lembaganya. Mereka tidak tambah macam-macam,” ujarnya.

Sementara itu, secara teologis, kata Pdt. Albinus, pakaian jabatan tidak punya dasar yang kuat dalam Alkitab.

“Dalam Perjanjian Baru tidak ada pakaian jabatan. Yesus dan murid-murid juga orang-orang pada zaman itu pakai pakaian harian, pakaian Yahudi, Romawi atau Yunani. Filipus dan Stefanus saat membaptis juga tidak pakai toga,” jelasnya.

Penggunaan toga bermula ketika agama kristen dijadikan agama/gereja negara pada zaman kaisar Theodosius, sekitar abad ke-4.

“Pada masa kasisar Theodosius gereja menjadi gereja negara. Jabatan-jabatan gereja disesuaikan dengan jabatan pemerintahan. Uskup diberikan jubah imam yang tampak agung, ada penutup kepala seperti mahkota, tata gerak liturgis terlihat agung, mencium tangan dan cincin uskup, serta arsitektur gereja menunjukan keagungan dan kemegahan imperium Romawi.”

Tradisi ini terbawa hingga zaman reformasi Luther dan Calvin pada abad ke-16.

“Pada zaman Reformasi , Luther dan Calvin menolak sama sekali semua yang berbau Katolik, termasuk penggunaan pakaian jabatan. Namun, dikemudian  hari jemaat merasa perlu ada pakaian jabatan. Oleh sebab itu Luther memakai toga doktoralnya dengan topi. Hal yang sama juga dilakukan Calvin. Sebagai ahli hukum ia menggunakan toga  yang biasa dipakai para akademisi pada waktu itu. Calvin pakai toga hitam dengan dasi putih panjang seperti para jaksa dan hakim. Dari Belanda kebiasaan itu dibawa ke Indonesia dan kita terima toga sederhana itu selama  beberapa abad.”

Ditambahkan pula bahwa dikalangan para ahli liturgi, sebagian menolak penggunaan pakaian jabatan dengan alasan bahwa hal itu justru merupakan penyangkalan terhadap prinsip imamat am orang percaya dan juga penyangkalan terhadap penggenapan ibadah Israel melalui pengorbanan Yesus.

Kendati tidak cukup dasar teologisnya, menurut Pdt. Albinus, toga tetap dapat digunakan berdasarkan keputusan gereja, dengan catatan bahwa penggunaan toga harus dipahami dalam pengertian bukan sebagai bentuk penyangkalan terhadap dua prinsip di atas. “Pandangan ini juga disetujui oleh Profesor Abineno. Beliau pembimbing utama saya jadi saya juga sepakat dengannya,” kata Pdt. Albinus saat diwawancarai pada kesempatan yang berbeda.

Di lingkup GMIT untuk waktu yang lama pakaian jabatan pendeta berupa toga hitam dengan dasi putih srigunting. Di atas bahu terdapat tiga kancing hitam. Menurut dugaan Pdt. Nitti, tiga kancing itu simbol Trinitas. Namun belakangan ada toga yang pada bahunya dipasang 6 kancing.

“Sekarang  ada toga yang dipasang 6 kancing sebelah menyebelah dan bilang itu lambang 12 murid Yesus. Itu miring sama sekali. Maka ada satu waktu di mana pentahbisan pendeta saya suruh buka dan ganti 3 kancing saja.”

Selanjutnya pada sidang MS Niki-Niki, tahun 1985 diputuskan pula penggunaan kemeja dengan collar putih. Lalu berkembang lagi penggunaan toga berwarna putih yang diputuskan pada sidang MS di Kota Baru tahun 1999. Kedua persidangan ini sama sekali tidak menetapkan penambahan asesoris lain pada toga, termasuk kalung salib.

“Kalaupun ada yang merasa perlu tambahan kalung salib harus melalui keputusan gereja. Jangan tiap orang pakai menurut selera,” tandas Pdt. Albinus.

Senada dengan penjelasan kedua pemateri sebelumnya, Pdt. Jack mengatakan bahwa penggunaan toga sebagai pakian jabatan di kalangan gereja Protestan lebih menunjukan alasan sosiologis ketimbang teologis.  Meski menurutnya, jemaat-jemaat GMIT tidak mempersoalkan pakaian jabatan yang dipakai oleh pendeta namun dengan perkembangan zaman yang terus berubah, kajian–kajian teologis perlu dilakukan secara terus menerus. Ia memberi contoh, penggunaan toga pada penahbisan anggota sidi di beberapa jemaat GMIT serta kombinasi pemakaian toga dengan busana adat pada perayaan bulan bahasa dan budaya perlu dikritisi.

Pada sesi tanggapan Pdt. Dr. John Campbell-Nelson mengatakan bahwa, pakaian, apapun bentuk dan fungsinya pada dasarnya mau menyampaikan sesuatu. Berkenaan dengan itu maka pertanyaannya adalah:  Apa yang gereja mau dimaknai dari pemakaian toga.

“Kalau kita mau buat pakaian jabatan atau pakaian liturgis pendeta menjadi tampil mewah, apa sebenarnya yang kita mau katakan? Apakah kita mau bilang bahwa pendeta sudah makmur? Harus jelas, apa yang gereja mau katakan dengan pakaian jabatan itu supaya jangan muncul kesan pendeta seperti artis, yang sebetulnya tidak tepat,” tandas Pdt. John.

Hasil dari diskusi teologis yang berlangsung pada Jumat, (18/5) ini menjadi masukan bagi MS GMIT guna mempersiapkan toga bagi 170-an Vikaris GMIT yang akan ditahbiskan menjadi pendeta pada bulan September mendatang. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *