KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Rapat Kerja Pendidikan GMIT baru saja usai. Kegiatan yang berlangsung dua hari ini membicarakan realitas terkini dari 13 Yapenkris GMIT dan sekolah-sekolah yang berada di bawah asuhannya.
Raker hari pertama (27/7) dimulai dengan webinar yang menghadirkan panelis Prof. Fred Benu (Rektor Undana) dan Dr. Ayub Meko (Rektor UKAW), dipandu moderator Dr. Godlif Neonufa. Kedua narasumber memberi frame yang sangat penting tentang makna visi pendidikan GMIT yakni “Terwujudnya pendidikan Kristen yang menghasilkan generasi berhikmat, Pancasilais dan mampu bergaul dengan bangsa-bangsa tahun 2031.” Visi ini juga yang kita renungkan sepanjang Perayaan Bulan Pendidikan tahun ini.
Agenda selanjutnya di hari pertama adalah informasi pelayanan dari tiap Yapenkris. Para ketua pengurus Yapenkris diberi kesempatan menginformasikan program pelayanan yang sudah dilakukan, baik untuk mengembangkan sekolah maupun untuk memperkuat kapasitas Yapenkris sendiri. Sejumlah persoalan krusial mengemuka. Hampir semua sekolah GMIT sedang mengalami pergumulan yang tidak ringan. Dibutuhkan langkah-langkah revolusioner untuk membenahi semua persoalan. Langkah biasa sudah tidak mempan lagi.
Memasuki hari kedua (28/7), seluruh agenda percakapan diarahkan untuk membahas strategi implementasi dari empat kebijakan strategis pendidikan GMIT. Menurut Grand Design Pendidikan GMIT, keempat kebijakan strategis itu adalah: (1) Pemerataan dan Akses Pendidikan; (2) Peningkatan Mutu dan Relevansi Pendidikan; (3) Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik; (4) Pengembangan Karakter Kristiani dan Nilai ke-GMIT-an.
Melalui penetapan kebijakan ini, seluruh upaya pengembangan pendidikan GMIT ke depan, baik oleh gereja, Yapenkris maupun sekolah, mesti diarahkan untuk mewujudkannya. Proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan GMIT harus berbasis pada kebijakan ini. Ia memandu kita untuk mengatasi persoalan pendidikan secara terencana, terarah dan sistematis. Mungkin dengan tertatih-tatih, namun memiliki arah yang jelas.
Keempat kebijakan pendidikan ini hanya bisa terwujud bila ada pemulihan relasi Gereja-Yapenkris-Sekolah. Ini adalah langkah paling menentukan bila kita ingin berhasil. Terlalu sering terjadi saling menyalahkan di antara ketiganya. Kalangan sekolah menganggap bahwa gereja sebagai ibu yang melahirkan sekolah telah menelantarkan anaknya sendiri. Anak-anak ini dibiarkan menjalani hidupnya tanpa perhatian sang ibu.
Yapenkris pun menyimpulkan hal yang sama. Gereja adalah ibu yang melahirkan sekolah. Namun karena sang ibu memiliki banyak sekali tugas yang mesti diselesaikan, maka pemeliharaan sang anak dititipkan pada pengasuh lain yakni Yapenkris. Namun sang pengasuh ini tidak dibekali dengan apapun untuk memelihara sang anak. Kalaupun dibekali, itu tak cukup untuk kebutuhan anak buat hidup layak. Akibatnya sang anak terlantar dan tak terawat dengan baik.
Di pihak lain, gereja tentu memiliki alasan tersendiri. Pihak sekolah lebih taat kepada Dinas Pendidikan daripada gereja selaku pemilik sekolah. Gereja juga tidak pernah dilibatkan dalam mengelola sekolah. Tidak ada pembahasan bersama Gereja-Yapenkris-Sekolah mengenai program pengembangan sekolah serta pembagian peran masing-masing di dalamnya. Akte pendirian Yapenkris belum mengatur peran gereja dengan tegas. Gereja disebutkan sebagai pendiri, namun tidak disertai penjelasan tentang tugas dan fungsinya. Peraturan Tata Kelola Pendidikan GMIT memang sudah mengaturnya, namun hal itu mesti tertuang dalam akte Yapenkris sebagai badan hukum negara. Dengan demikian, gereja selaku pendiri dapat menjalankan perannya dengan baik.
Saling menyalahkan seperti ini mesti diakhiri. Sekarang adalah saat untuk menyatukan tekad dan langkah. Kondisi masa lalu menjadi pelajaran berharga untuk menatap ke depan. Masing-masing menyadari kekeliruannya dan membenahi diri. Lalu melangkah bersama dengan menyatukan semua potensi dan sumberdaya yang telah Tuhan sediakan bagi kita.
Raker meyakini sungguh bahwa sekolah GMIT tidak akan mati. Prinsip ini lahir dari iman bahwa gereja di bumi tak akan pernah lenyap. Maut berulangkali hendak melenyapkan gereja, namun tangan Tuhan yang kuat selalu meluputkannya dari bahaya. Bila gereja tak akan pernah mati, demikian pula seharusnya sekolah-sekolah GMIT. Tuhan ingin kita meyakini bahwa dengan modal 5 roti dan 2 ikan, kita dapat menyelesaikan 5000 persoalan pendidikan GMIT, bahkan dengan menyisakan 12 bakul. *** (Pdt. Jahja A. Millu, Ketua Badan Pendidikan GMIT).