Pengantar
The unexamined life is not worth living (hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak bernilai), kata sang bijak Socrates (469 SM-399 SM). Pernyataan ini dilandasi oleh kesadaran bahwa hidup manusia memiliki tujuan yang khas, yakni bagaimana menjadi bermakna/menjadi berkat. Untuk itulah, Socrates mengajak manusia untuk mempertanyakan makna keberadaannya di tengah-tengah dunia.
Pada akhirnya, kemampuan manusia untuk menjadi bermakna di tengah tantangan-tantangan hidup, akan membuatnya nyata sebagai (sia)apa. Suatu kehidupan yang diisolasi (tertutup), lari dari kenyataan hidup, minim tanggung jawab, tidak mau merealisisasikan potensi-potensinya, akan tenggelam begitu saja seiring waktu. Sebaliknya, suatu pribadi yang senantiasa merealisasikan diri, yang dilalui dalam banyak tantangan, akan membuatnya kuat dan besar. Makin besar ujian yang dialami seseorang, makin tangguh dan makin tampak jati dirinya. Tokoh-tokoh besar dunia membuktikan hal itu (Nelson Mandela, Martin Luther King, mother Teresa, Dalai Lama, dst). Yesus pun demikian.
Penjelasan teks                                                                     Â
Injil Matius ditulis kepada jemaat di kota Antiokhia. Jemaat ini hidup dalam suatu ketegangan dengan para pemimpin Yahudi, terutama kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat, imam-imam kepala dan tua-tua. Para pemimpin agama itu terganggu oleh kahadiran jemaat Kristen yang makin hari makin banyak. Banyak pula orang Yahudi meninggalkan agamanya dan menjadi Kristen. Akibatnya, orang-orang Kristen dianiaya. Maka di antara jemaat, ada yang mulai ragu-ragu dan hendak meninggalkan iman kristen. Jadi ketegangan dan permusuhan itu terutama antara jemaat dan pimpinan Yahudi. Dalam masyarakat Yahudi (di perantauan) jemaat Kristen itu sudah menjadi suatu sekte tersendiri, terlepas dari agama Yahudi. Melalui injilnya, Matius ingin membina iman jemaat Kristen itu. Penulis Matius ingin menyelamatkan dan memelihara iman jemaat dari berbagai tantangan dan cobaan.
Matius kemudian mengangkat pencobaan yang dialami Tuhan Yesus di padang gurun. Kisah ini menunjukkan bahwa sebelum Yesus melayani, Ia sendiri sudah dicobai. Tetapi Yesus berhasil menghadapi cobaan-cobaan itu berkat kekuatan Ilahi dari Allah bapak-Nya. Melalui cerita itu, penulis memperlihatkan bagaimana Yesus akan melaksanakan tugas-Nya, tidak dengan kekuatan gaib atau dengan kuasa politis, melainkan sebagai anak yang taat kepada rencana Allah. Itulah kunci keberhasilan Yesus.
Ada tiga cobaan yang dialami Yesus. Cobaan pertama terkait kebutuhan perut, yang kedua menyangkat kehormatan diri (popularitas), dan yang ketiga mengenai godaan dari kemewahan dunia. Pertama, iblis tahu bahwa Yesus baru selesai berpuasa 40 hari sehingga sangat pasti Ia sedang lapar. Iblis tahu kebutuhan Yesus waktu itu, yaitu perut-Nya yang sungguh lapar. Oleh karena itu, iblis menawarkan kepada Yesus untuk mengubah batu menjadi roti untuk mengenyangkan perut-Nya. Tetapi Yesus menolak tawaran iblis. Tentu bukan karena Yesus tidak sanggup mengubah batu menjadi roti (sebab di kisah yang lain, Yesus mengubah air menjadi anggur), melainkan Yesus tidak mau taat pada iblis. Yesus sadar bahwa Ia datang ke dunia untuk mewujudkan misi bapak-Nya, sehingga Ia hanya mau taat pada Allah, Bapa-Nya. Yesus pun hendak menunjukkan bahwa hidup yang sejati tidak hanya bersifat jasmani di dunia ini, sehingga bergantung pada makanan jasmani semata. Hidup yang sesungguhnya bersifat kekal bersama Allah, dan untuk itu, harus taat kepada firman Allah, bukan pada kebutuhan perut.
Kedua, iblis meminta Yesus untuk mendemonstrasikan kehebatan-Nya dengan menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah. Andaikan Yesus berhasil, maka akan dipuji sebagai pemberani dan makin dimuliakan. Yesus bukannya tak mampu melakukan itu, namun sekali lagi, Ia tidak mau taat pada iblis. Itulah sebabnya Yesus berkata pada iblis: jangan mencobai Tuhan, Allahmu. Yesus pun tidak mau tunduk pada godaan kemuliaan diri yang ditawarkan iblis. Yesus tetap mulia dan terhormat karena taat pada Allah Bapa-Nya, bukan karena demonstrasi kehebatan di hadapan iblis. Kemuliaan diri-Nya berasal dari Sang Bapa, bukan dari iblis atau manusia. Ia mulia karena taat pada perintah sang bapak, yakni melakukan kebaikan dan kebenaran di tengah-tengah dunia. Ketiga, Yesus digoda untuk memiliki seluruh kerajaan dunia dan kemegahannya. Namun Yesus menolak tunduk pada iblis. Sebab sesungguhnya kuasa dan kekayaan dunia ada dalam tangan-Nya karena Ia adalah anak Allah. Itulah sebabnya Yesus minta kepada iblis untuk menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya. Seruan Yesus itu hendak mengingatkan iblis bahwa yang empunya kuasa dan seluruh dunia hanyalah Allah sendiri. Iblis tak punya kuasa apa pun atas dunia dan kekayaannya.
Pencobaan-pencobaan ini berhasil dilewati Yesus, karena 1) sikap aktif Allah Bapa melalui Roh yang senantiasa menyertai Yesus, dan 2) Sikap sadar Yesus yang senantiasa memilih taat pada Allah, tanpa mau tunduk pada iblis, atau mau tergoda oleh tawaran-tawaran nikmat dari iblis. Yesus tidak mau tunduk pada tawaran nikmat dari iblis, karena Ia tahu bahwa misi Ilahi (dalam hal ini kerajaan Allah) lebih mulia dari kemewahan dunia. Yesus tahu bahwa Ia datang ke dunia untuk menghadirkan kerajaan Allah (kasih, kebaikan, kebenaran, keadilan), dan karena itu, Ia fokus pada tujuan itu tanpa mau terpengaruh untuk hal-hal lain. Injil-injil mencatat, sejak keberhasilan pertama atas pencobaan ini, tantangan bahkan penderitaan yang datang pun dapat dilalui oleh Yesus. Yesus selalu berhasil mengatasi berbagai pergumulan berat yang Ia hadapi, termasuk ancaman atas nyawa-Nya sekali pun.
Penulis Matius mengetengahkan cerita ini bagi jemaatnya dengan tujuan 1) jemaat tetap setia percaya kepada Yesus Kristus sebagai juruselamat walau pun ada tantangan. 2) belajar mengandalkan Allah dalam seluruh hidup mereka, yakni senantiasa memohon bimbingan roh Tuhan dalam hidup mereka. 3) senantiasa taat pada kehendak Tuhan tanpa kompromi. 4) tidak menyerah pada tantangan iman yang dihadapi. 5) tidak tergoda oleh kenikmatan dunia dan kemewahannya yang entah berupa kekayaan atau pun kekuasaan.
Penutup
Palton (427 SM-347 SM), filsuf Yunani kuno mengidentifikasi 3 hasrat besar dalam diri manusia. Ketiga hasrat itu bercokol dalam tiga bagian diri manusia. Pertama, epithumia (bagian perut ke bawah dari diri kita), yang hasratnya adalah makanan/minuman (harta) dan seks. Kedua, thumos(bagian dada) yang hasratnya adalah kehormatan/kemuliaan diri (popularitas). Ketiga, logistikon(bagian kepala) yang hasratnya adalah kebenaran, keadilan, kebaikan, dan hal-hal rohanian. Makin manusia tunduk pada hasrat-hasrat dada dan perut ke bawah, makin tidak manusiawi perilakunya. Sebab ia akan diperbudak oleh hawa nafsunya yang tak pernah terpuaskan. Sebaliknya, makin manusia mengarahkan hasratnya pada yang rohania, pada yang baik dan benar, makin bermartabat dan mulia manusia itu, karena makin dekat ia dengan yang ilahi, makin lepas ia dari belenggu kedagingannya, sehingga dirinya makin menyerupai yang Ilahi (citra Allah kembali nyata dalam dirinya).
Yesus pernah digoda oleh kebutuhan perut dan dada, yakni hasrat akan makanan dan popularitas. Namun Yesus tidak tunduk pada hasrat-hasrat manusiawi itu. Ia memilih taat pada tarikan hasrat tertinggi, yaitu Allah. Yesus bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya demi kasih dan kebenaran Ilahi yang diemban-Nya, demi yang rohania. Sebab bagi Yesus, yang rohania lebih mulia, lebih berharga, dan lebih bernilai dari yang duniawi.
Minggu ini kita berada di minggu sengsara pertama. Kita diajak untuk merefleksikan ketaatan Yesus pada kehendak Bapa-Nya walau pun via dolorosa harus ia alami. Sikap semacam ini dewasa ini makin sulit ditemukan karena demi harta, popularitas, kekuasaan, banyak orang mulai mengabaikan hukum-hukum (perintah-perintah) Allah. Banyak lembaga sekuler rusak karena cinta uang dan jabatan menguasai orang-orang di dalamnya. Orang berlomba-lomba mencari kekuasaan bukan untuk melayani orang banyak tetapi hanya mau mengejar harta dan popularitas bagi diri. Pekerjaan/pelayanan hanya menjadi sarana untuk mengejar keuntungan diri, sedangkan visi lembaga (visi Allah) diabaikan. Penyangkalan diri mulai dilupakan.
Dalam dunia politik misalnya, orang juga menggunakan berbagai cara haram (penipuan, manipulasi, kekerasan, suap, provokasi, hoaks, saling menjatuhkan, dll) untuk meraih kekuasaan dan uang. Mereka lupa diri sebagai orang beriman dalam dunia politik, dan mengabaikan kebenaran Tuhan yang mestinya menjadi acuan perilaku mereka dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka tidak mampu menjadi garam dan terang dunia di tengah-tengah tantangan dan godaan nikmat duniawi yang fana. Mereka lupa bahwa cara hidup yang demikian merendahkan martabat mereka sebagai manusia, apa lagi sebagai umat beriman. Atau dengan kata lain, mereka menjadi lemah di hadapan tantangan dan godaan dunia sehingga jatuh dalam dosa. Mereka tak sanggup bertahan seperti Yesus, walaupun mereka percaya kepada Yesus.
Belajar dari sikap Yesus berdasarkan bacaan hari ini kita diajak untuk pertama, memelihara iman percaya kepada Allah dengan komitmen penuh pantang mundur, apa pun tantangannya. Hanya Allah di dalam Yesus Kristus satu-satunya Tuhan dalam hidup kita, bukan yang lain. Itu yang mesti menjadi pegangan iman kita sepanjang ziarah hidup ini. Kedua, kita mesti belajar taat pada Allah dan kehendak-Nya secara mutlak. Taat pada Allah dan bukan taat pada keinginan perut dan dada. Taat pada Allah berarti mau mendengar suara Tuhan dan kehendak-Nya dan mau mengikuti-Nya. Itu berarti tidak akan terpengaruh/tergoda untuk mengikuti hasrat/keinginan perut dan berbagai kepentingan diri yang bertentangan dengan kehendak Allah. Ketiga, selalu mengandalkan Tuhan dalam seluruh pergumulan kita agar Roh Kudus menolong kita.
Keempat, tidak meninggalkan Tuhan hanya karena kesulitan-kesulitan hidup, penderitaan, sakit-penyakit, tantangan dan cobaan, kebutuhan perut, kekayaan dan kekuasaan/jabatan-jabatan politis/popularitas yang sifatnya sementara di dunia ini. Artinya fokus pada Allah agar tidak terpengaruh oleh kenikmatan dunia dan jatuh dalam keserakahan akan harta dan kuasa. Kelima, tidak menyerah pada setiap tantangan yang dihadapi, karena Tuhan kita lebih kuat untuk menolong kita. Kita mesti menerima setiap tantangan sebagai ujian untuk membuat kita kuat secara iman. Justru, apa bila kita berhasil melewati tantangan dengan tetap setia kepada Allah, itu akan membuktikan diri kita sebagai anak-anak Tuhan di dunia ini, bahwa Tuhan kita lebih besar dari semua tantangan yang ada. Kita memang lemah, tetapi bila kita mengijinkan Roh Kudus berkuasa dalam hati kita, maka kita pasti dikuatkan. Roh Kudus kiranya menolong kita. Amin. ***Â Pdt. Gusti Menoh.