KUPANG, www.sinodegmit.or.id, “Bahasa daerah, tenun ikat dan seterusnya, bukan hanya untuk menyenangkan para turis tapi ini identitas kami. Pariwisata tidak hanya untuk memikat orang luar datang dan kami dapat uang. Money is not everything, tetapi harga diri, harkat martabat sebagai manusia. Itu yang utama.”
Demikian pernyataan Ketua Majelis Sinode (MS) GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon kepada Viktor Laiskodat, calon gubernur NTT saat menemui MS GMIT, Selasa, 5/2-2018.
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan Ketua MS GMIT atas penjelasan Viktor terkait rencananya bila terpilih menjadi gubernur NTT akan membangun pariwisata sebagai sektor unggulan pertumbuhan ekonomi sekaligus salah satu sumbangan NTT bagi devisa nasional.
“Dunia sekarang ini menuju pariwisata. Indonesia misalnya, pariwisata menyumbang devisa urutan ke-4 pada tahun 2015. Namun 2016 dan 2017 sektor ini menyumbang devisa kedua terbesar, hampir mendekati kelapa sawit dan migas. Hitungan saya 2020-2021 pariwisata menduduki peringkat pertama penyumbang devisa. Itu linear dengan NTT. Cuma bedanya di NTT orang tidak desain. Orang (turis, red.) datang sendiri. Ini harus kita bangun,” ujar Viktor.
Ketua MS GMIT mengatakan alam NTT yang mempesona telah dilirik banyak investor, bahkan mereka telah menguasai sebagian besar pesisir pantai di Rote, Alor, Pantai Selatan Timor dan lain-lain. Padahal, katanya, masyarakat adat yang tercabut dari tanahnya akan menjadi budak di negerinya sendiri.
“Kami menyambut baik upaya Pak Viktor mendorong pariwisata di NTT, tetapi ada juga isu lain yang mesti diberi perhatian serius yakni, hak atas tanah. Kami pergi ke Rote Timur, ratusan bahkan ribuan hektar tanah sudah bukan milik lagi orang Rote, bukan lagi milik orang Timor di Pantai Selatan dan mungkin ketika Timau nanti di buka untuk observatorium bosscha, bukan milik orang Timor-Amfoang lagi. Kami harap ketika pariwisata mau kita dorong, orang NTT harus menjadi tuan dan nyonya di tanahnya sendiri,” ujar Pdt. Mery.
Ketua MS GMIT membenarkan bahwa NTT harus memberi sumbangan bagi peradaban nasional dan global namun pada saat yang sama masyarakat NTT tidak boleh tercabut dari identitas budayanya.
“Bayangan kami bahwa masyarakat NTT harus maju dan memberi sumbangan pada peradaban global tetapi pada saat yang sama dia teguh berdiri pada identitas budayanya sebagai orang Timor, Rote Sabu, Alor, Flores, Sumba. Pariwisata tidak hanya untuk memikat orang luar datang dan kami dapat uang. Money is not everything, tetapi harga diri, harkat martabat sebagai manusia. Saya kira itu juga sesuatu yang harus kita perjuangkan di NTT,” tegas Pdt. Mery.
Menanggapi pernyataan tersebut, anggota komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem ini mengaku sepakat. Namun, menurutnya alam dan budaya mesti berdampak ekonomi.
“Saya sepakat dengan Ibu Ketua Sinode, bagaimana orang NTT memperkuat jati dirinya. Dalam penelitian saya berkaitan dengan budaya dan kelestarian lingkungan, kedua hal itu hanya bisa bertahan kalau dia memberi benefit ekonomi. Karena itu lingkungan dan budaya mesti tetap lestari. Namun ketika keduanya tidak memberi dampak ekonomi maka akan tergerus.”
Kendati demikian, Ketua MS GMIT menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi, pelestarian alam dan budaya mesti dibangun secara holistik. Sebab, realitas menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi seringkali menghancurkan ekologi dan budaya lokal.
Kepada semua pasangan calon pemimpin daerah Ketua MS GMIT menyerukan pentingnya memastikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat terutama kepada kaum muda agar mereka tidak menjual tanahnya dan pergi meninggalkan kampung halaman menjadi buruh migran di daerah lain termasuk di luar negeri.***