Kupang, www.sinodegmit.or.id, Jumat, 17/03-2017 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI bekerja sama dengan Dinas PPPA Provinsi NTT menyelenggarakan workshop bertema “Literasi Media Bagi Masyarakat” yang berlangsung di Hotel Sotis-Kupang.
Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Deputy Bidang Partisipasi Masyarakat Kementrian PPPA RI, Budi Hartono. Dalam sambutannya ia mengutarakan bahwa saat ini dunia sedang digempur oleh media massa dengan segala implikasi baik dan buruknya. Karena itu literasi media punya peran yang sangat penting untuk memproteksi generasi muda dari dampak negatif media.
“Apa itu literasi media? Literasi media adalah kemampuan mengolah, memilih dan memilah media. Literasi media merupakan bentuk pemberdayaan agar konsumen dapat menggunakan media secara bijak, cermat, sehat dan aman,” demikian jelas Budi Hartono.
Melalui literasi media, diharapkan masyarakat ditolong untuk mengembangkan pengetahuan mengenai konten media, tv, film, radio, musik, telepon, iklan, surat kabar, majalah, buku, web site, blog, dsb. Diakui olehnya bahwa banyak isu perempuan dan anak yang belum dikemas dengan baik oleh media seperti bentuk kekerasan, bullying, eksploitasi yang muncul dalam program acara misalnya sinetron yang tidak ramah anak.
Ia mengharapkan dengan workshop ini, masyarakat NTT memahami literasi media dan mampu menggunakan media secara bijak sehingga bisa menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Workshop berbentuk panel ini menghadirkan tiga orang panelis yakni: Dr. Yermia Djefri Manafe dari LPM Undana, Dewi Setyarini dari Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI) dan Musiana Yudhawasthi dari Lembaga Sensor Film dan Founder Komunitas Jelajah.
Waktu Luang Picu Budaya Nonton
Komisioner KPI, Dewi Setyarini mengutarakan bahwa masyakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya nonton. Hal ini sesui dengan hasil riset Nielsen tahun 2016. Riset ini menyatakan bahwa media yang paling berpengaruh terhadap masyarakat adalah sebagai berikut: TV mencapai angka 96%, internet/media on line 40%, Radio 38% dan koran 8%.
“Data ini menunjukan bahwa budaya nonton masyarakat Indonesia masih sangat tinggi dibanding peminat internet, radio dan koran. Mengapa karena TV paling banyak diakses oleh seluruh masyarakat baik diperkotaan maupun di pedesaan. Sementara sebaran internet lebih sedikit karena lebih menyasar perkotaan ataupun kalau sampai di pedesaan hanya di akses kalangan tertentu saja,”ungkap Dewi Setyarini.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sekarang televisi nyaris telah menggantikan peran orang tua bahkan menjadi orang tua pertama dalam mendidik anak.
“Saat ini kita mengalami gempuran yang dasyat dari perkembangan teknologi media. Televisi telah menjadi orang tua kedua bahkan bisa jadi menjadi orang tua pertama bagi anak-anak karena secara diam-diam media televisi masuk dalam kamar mereka. Dengan sekali pencet mereka sudah bisa ke mana-mana,”ungkapnya.
Disisi lain ia meyakini bahwa masyarakat punya kekuatan untuk membalikkan fungsi negatif media tersebut menjadi alat penyampai pesan positif yang efektif bagi kampanye isu-isu perempuan dan anak baik melalui program berita, film, sinetron dsb.
Terkait kecenderungan masyarakat terhadap budaya nonton, Dr. Yermia Manafe mengatakan bahwa pengaruh media terhadap perilaku masyarakat tidak semata-mata salahnya media tapi juga pada khalayak.
“Saat ini banyak pekerjaan-pekerjaan manual digantikan oleh robot atau dikerjakan oleh orang lain sehingga banyak waktu luang yang dimiliki oleh khalayak; terbatasnya lapangan kerja yang mengakibatkan banyak orang menganggur, sehingga banyak waktu luang di rumah dari pagi sampai malam. Waktu luang itu di dipakai untuk apa? Berita? Tidak. Melainkan gaya hidup. Hal-hal yang cece remeh yang ditonton sedangkan hal-hal yang berkualitas diabaikan,”tutur Yermia Manafe.
Sementara itu, Musiana Yudhawasthi dari Lembaga Sensor Film mengatakan bahwa LSF telah berusaha maksimal untuk menyensor sinetron-sinetron yang tidak edukatif. Ia mencontohkan sinetron “Anak Jalanan” yang mana mereka berulangkali memanggil produsernya agar merevisi sejumlah adegan.
“Si Boy dalam sinetron “Anak Jalanan”, sinetron ini makin ke tengah ia berubah menjadi anak yang soleh, bahkan membuat banyak ibu-ibu menangis sedih ketika peran itu dimatikan. Itu karena kami memanggil terus menerus pembuat filmnya dan terus kami revisi,” ungkapnya.
Workshop ini diikuti oleh sekitar 30 orang peserta dari berbagai media di kota Kupang baik media cetak, online, radio dan televisi.