KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Bangsa Yahudi pada waktu dijajah kekaisaran Romawi memiliki dua jenis pengadilan. Injil-injil memberitakan ada dua proses pengadilan yang berbeda terhadap Yesus, yakni pengadilan Yahudi dan pengadilan Romawi. Awalnya Yesus menjalani proses hukum di pengadilan agama Yahudi. Dalam hukum Yahudi, Yesus harus menjalani pengadilan tiga kali. Pertama, Yesus diperhadapkan kepada Hanas, mertua imam besar Kayafas. Imam Besar Hanas menanyai Yesus tentang murid-murid-Nya dan tentang ajaran-Nya, dan Yesus pun menjawabnya sebagaimana adanya: “Aku berbicara terus terang kepada dunia: Aku selalu mengajar di rumah-rumah ibadat dan di Bait Allah, tempat semua orang Yahudi berkumpul; Aku tidak pernah berbicara sembunyi-sembunyi. Mengapakah engkau menanyai Aku? (Yohanes 18: 19-21). Hanas, tidak dapat membuktikan kesalahan Yesus sehingga ia mengirim Yesus kepada Kayafas.
Di hadapan imam besar Kayafas, Imam-imam kepala mencari kesaksian palsu terhadap Yesus supaya Ia dapat dihukum mati. Tampil banyak saksi dusta, tetapi kesaksian-kesaksian mereka tidak sesuai yang satu dengan yang lain sehingga tidak bisa dijadikan alasan hukum untuk menjatuhkan Yesus. Lalu mereka mengajukan tuduhan lain: “Kami sudah mendengar orang ini berkata: Aku akan merubuhkan Bait Suci buatan tangan manusia ini dan dalam tiga hari akan Ku dirikan yang lain, yang bukan buatan tangan manusia.” Dalam hal ini pun kesaksian mereka tidak sesuai yang satu dengan yang lain (Matius 26:57-61). Lalu Imam Besar Kayafas bangkit berdiri di tengah-tengah sidang dan bertanya kepada Yesus, katanya: “Tidakkah Engkau memberi jawab atas tuduhan-tuduhan saksi-saksi ini terhadap Engkau?” Yesus tetap diam dan tidak menjawab apa-apa. Imam Besar itu bertanya kepada-Nya sekali lagi, katanya: “Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji?” kali ini Yesus menjawab: “Engkau telah mengatakannya. Akulah Dia. Akan tetapi, Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” Maka Imam Besar itu mengoyakkan pakaiannya dan berkata: “Ia menghujat Allah. Untuk apa kita perlu saksi lagi? Sekarang telah kamu dengar hujat-Nya terhadap Allah. Bagaimana pendapat kamu?” Lalu dengan suara bulat mereka memutuskan dan berkata: “Ia harus dihukum mati!” (Markus 14: 60-64).
Tetapi agar hukuman mati itu mendapat legitimasi pengadilan tertinggi bangsa Yahudi, maka para tua-tua dan imam-imam kepala serta ahli-ahli taurat menghadapkan Yesus ke Makamah Agama (Sanhedrin). Di pengadilan ketiga ini Yesus dimintai ketegasan tentang diri-Nya: “Jikalau Engkau adalah Mesias, katakanlah kepada kami”. Tetapi Yesus menjawab mereka: “Sekalipun Aku mengatakannya kepada kamu, namun kamu tidak akan percaya; dan sekalipun Aku bertanya sesuatu kepada kamu, namun kamu tidak akan menjawab. Mulai sekarang Anak Manusia sudah duduk di sebelah kanan Allah Yang Mahakuasa.” Mendengar jawaban Yesus, mereka bertanya sekali lagi kepada-Nya: “Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?” Jawab Yesus: “Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah.” Lalu kata mereka: “Untuk apa kita perlu kesaksian lagi? Kita ini telah mendengarnya dari mulut-Nya sendiri” (Lukas 22: 66-71). Maka semua imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi mengambil keputusan untuk membunuh Yesus (Matius 27:1). Jadi, di pengadilan Makamah Agama itu Yesus dituduh melakukan pelanggaran agama, karena mengaku sebagai “Anak Allah,” di mana Ia menyamakan diri-Nya dengan Allah dan itu merupakan penghujatan yang harus dihukum mati.
Namun di bawah Kekaisaran Romawi, pengadilan Yahudi tidak berhak menjatuhkan hukuman mati. Oleh sebab itu, mereka melimpahkan kasus ini ke pengadilan Romawi, supaya hukuman mati dapat dilakukan. Di pengadilan Romawi, Yesus menjalani proses hukum di hadapan Pilatus, lalu Herodes, dan akhirnya kembali ke Pilatus.
Massa berbondong-bondong mengerumuni pengadilan Romawi di depan istana gubernur Pilatus. Para pemimpin agama Yahudi dan rakyat mendesak Pilatus menghukum mati Yesus. Sambil menunggu Pilatus keluar mendapati orang-orang Yahudi itu, untuk memanaskan suasana, mereka berbisik: “Yesus sudah menghujat Allah, masak Dia menyatakan diri sama dengan Allah? Itu kan ajaran sesat. Pokoknya yang namanya ajaran sesat, kita harus membasminya. Daripada Dia menyesatkan kita, kita harus mendesak Pilatus untuk menjatuhkan hukuman mati bagi-Nya.” Tidak lama kemudian Pilatus keluar dan mendapati orang-orang Yahudi itu. Pilatus bertanya kepada mereka: “apa kesalahan orang ini?” Orang-orang Yahudi itu bukannya menjawab pertanyaan pilatus, melainkan membuat argumentasi yang meyakinkan. Mereka menjawab Pilatus: “tuan yang mulia, kalau Ia bukan seorang penjahat, kami tidak membawa-Nya kepadamu!” (Yoh. 18: 29-30). Sementara itu, massa di depan istana makin bertambah jumlahnya.
Namun, sadar bahwa orang-orang Yahudi melakukan kerancuan berpikir maka Pilatus berniat menyerahkan kembali Yesus kepada mereka. Kerancuan berpikir (logical fallacy)yang terjadi di sini dalam istilah latinnya disebut Ignoratio elenchi atau dalam bahasa inggris adalah irrelevant conclusion(kesimpulan yang tidak sesuai). Kerancuan berpikir ini terjadi apabila antara premis (pertanyaan) dan kesimpulan (jawaban) tidak terdapat hubungan yang sesuai. Secara sederhana, kerancuan berpikir ini terjadi jika seseorang (sekelompok orang) menyatakan orang lain bersalah bukan dari apa yang dilakukannya, melainkan dengan memberikan gambaran tentang betapa buruk perbuatan yang dituduhkan padanya. Kerancuan berpikir ini begitu jelas dalam percakapan tadi. Ketika Pilatus menanyakan apa kesalahan Yesus, orang-orang Yahudi bukannya menunjukan kesalahan yang dilakukan Yesus, melainkan memberi jawaban yang tidak cocok. Mereka bukannya menjelaskan apa yang dibuat Yesus, melainkan dengan mengatakan bahwa Yesus adalah penjahat maka Dia dinyatakan bersalah.
Karena tidak mendapat alasan yang memadai, Pilatus berkata kepada orang-orang Yahudi itu: “pendapat kalian tidak disertai argumen dan bukti yang kuat. Hukum Romawi tidak bisa asal menjatuhkan hukuman bagi seseorang yang tidak terbukti bersalah. Maka saya kembalikan Dia kepadamu dan biarlah kalian menghakimi-Nya menurut hukummu”. Tetapi niat orang-orang Yahudi itu adalah harus menghukum mati Yesus, sementara pengadilan Yahudi tidak berhak menjatuhkan hukuman mati bagi seseorang, maka mereka secara lihai mengajukan argumen yang lain. Kata mereka kepada Pilatus: “tuan yang mulia, tuan sendiri tahu bahwa pengadilan kami tidak berwenang memberi sanksi hukum mati pada seseorang, lagian hukum taurat kami melarang kami membunuh! Andaikata kami memiliki hak dan wewenang seperti tuan, kami tidak perlu datang meminta ijin dari tuan.” Di luar gedung istana, massa makin berteriak minta Yesus dihukum mati, tetapi Pilatus merasa tidak cukup bukti untuk itu.
Para imam kepala tidak kehilangan akal untuk menjatuhkan Yesus. Kepada Pilatus, mereka mengajukan tuduhan lain: “kami mendengar langsung, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja” (Lukas 23:2). Massa di depan istana mendukung tuduhan itu dengan berteriak: “betul, Ia menghasut kami untuk tidak membayar pajak kepada kaisar, karena ia menyatakan diri sebagai raja yang lebih berkuasa dari Kaisar!” Pilatus sedikit terprovokasi oleh desakan massa, lalu ia mendatangi Yesus dan bertanya pada-Nya: “apakah betul kamu raja orang Yahudi?” Yesus hanya menjawab: “tuan yang mulia sendiri yang bilang. Masalahnya, apakah tuan bilang itu dari hati, atau ada orang lain yang bilang itu kepada tuan tentang Saya?” Pilatus pun bingung menjawab Yesus, oleh karena itu ia secara persuasif berkata kepada Yesus: “Engkau sendiri tahu, aku bukan orang Yahudi, karena itu aku tidak begitu mengenal Engkau. Sebab bangsa-Mu sendiri yang membawa Engkau kepadaku. Itulah sebabnya aku minta kamu jujur kepadaku, apa sebenarnya yang kamu buat?” Sementara Pilatus bercakap-cakap dengan Yesus, di halaman istana orang-orang Yahudi sudah tidak sabar menanti keputusan Pilatus, agar mereka segera mengeksekusi Yesus.
Yesus lalu melanjutkan percakapannya dengan Pilatus. Kali ini Yesus mulai terbuka. Ia bercerita: “tuan yang mulia, kerajaan-Ku tidak berasal dari dunia ini, sebab kalau dari dunia ini, maka para pengawal-Ku akan melawan pada saat Aku ditangkap supaya Aku tidak diserahkan kepada orang-orang Yahudi, akan tetapi kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” Mendengar itu, Pilatus makin bingung, katanya: “jadi apakah betul Kamu raja?” Yesus menjawab: “seperti yang tuan katakan, untuk itulah Aku lahir dan datang ke dalam dunia ini, supaya aku bersaksi tentang KEBENARAN, dan siapa yang berasal dari kebenaran itu, pasti mendengarkan suara-Ku.” Belum selesai mendengar penjelasan Yesus, Pilatus tersentak dengan kata kebenaran, lalu bertanya kepada Yesus: “kebenaran, apa itu?”
Suasana di halaman istana Gubernur makin panas karena massa yang menanti keputusan Pilatus makin beringas dan membuat kegaduhan. Para imam dan rakyat terus berteriak minta Pilatus segera menyerahkan Yesus kepada mereka untuk dieksekusi. Namun proses pengadilan pertama di hadapan Pilatus tidak berhasil menjatuhkan hukuman mati bagi Yesus. Pilatus keluar dari dalam istana dan mendapati orang-orang Yahudi dan berkata kepada mereka: “”Aku tidak mendapati kesalahan apapun pada orang ini, bagaimana mungkin Ia kujatuhi hukuman mati?” (bdk. Yoh. 18: 38b).
Tak puas dengan keputusan Pilatus, para imam bersekongkol lagi untuk menjatuhkan Yesus. Mereka berusaha mengajukan tuduhan baru. Juru bicara orang-orang Yahudi itu menemukan suatu ide yang brilian. Mereka berharap kali ini Pilatus langsung membuat keputusan hukuman mati pada Yesus. Dari halaman istana sang jubir bersaksi: “Yesus ini sudah menghasut rakyat dengan ajaran-Nya di seluruh Yudea, Ia mulai di Galilea dan sudah sampai ke sini.” Ketika Pilatus mendengar bahwa Yesus seorang Galilea, ia merasa mendapat celah untuk cuci tangan. Dalam hati Pilatus berujar: “syukurlah, saya bisa lolos dari tuntutan orang-orang Yahudi ini.” Pilatus lalu berkata kepada orang-orang Yahudi: “Saya akan mengirim Yesus kepada raja Herodes, karena Herodes berwenang mengadili kalian di seluruh wilayah Yerusalem. Ini bukan tanggung jawab saya.”
Suasana di depan istana Pilatus makin gaduh karena para imam dan rakyat Yahudi tak terima dengan keputusan Pilatus. Mereka melampiaskan kekesalan dengan memukul Yesus, meludahinya, dan mengolok-olok Dia. Walau pun demikian, mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap keputusan Pilatus. Satu-satunya jalan adalah melakukan keputusan sang Gubernur, yaitu membawa Yesus kepada Herodes. Yesus akhirnya dipaksa berjalan lagi menghadap Herodes. Dengan senang hati, Herodes menerima Yesus, karena banyak hal mengenai Yesus, khususnya tentang mujizat-mujizat Yesus sudah terdengar olehnya. Para imam dan ahli-ahli taurat berharap kali ini mereka mendapatkan keputusan final atas nasib Yesus. Mereka sudah terlalu jengkel dengan pengadilan yang bertele-tele di tangan Pilatus, sehingga berharap Herodes segera mengeksekusi Yesus. Mereka sudah bernafsu untuk membunuh Yesus.
Namun sayang, semua pertanyaan Herodes tidak dijawab oleh Yesus, sehingga Herodes pun bingung. Untuk meyakinkan Herodes bahwa Yesus layak dihukum mati, para imam dan ahli-ahli Taurat mengajukan banyak tuduhan palsu terhadap Yesus. Karena kesal tak memberi jawaban, Herodes menista dan mengolok-olok Dia. Namun demikian, karena diam itu, Herodes pun tak menemukan alasan yang cukup untuk menghukum Yesus. Herodes akhirnya mengenakan jubah kebesaran kepada Yesus, lalu mengirim-Nya kembali kepada Pilatus dengan harapan Pilatus yang membuat keputusan atas nasib Yesus.
Para imam dan ahli-ahli Taurat tak sabar lagi. Mereka jengkel dan kesal, dan itu membuat mereka makin menyiksa Yesus. Orang-orang Yahudi ini sudah sangat lelah, dan marah karena pengadilan Romawi di bawah Pilatus dan Herodes tak kunjung usai. Tetapi bagaimana pun, tidak ada pilihan selain membawa kembali Yesus kepada Pilatus untuk keduanya. Mereka berharap kali ini Pilatus segera memutuskan hukuman mati bagi Yesus. Namun harapan itu tidak langsung terjadi. Pilatus sendiri kesal karena Yesus dibawa kepadanya lagi. Maka Pilatus keluar dan mendapati mereka serta berkata: “kenapa kalian membawanya kembali kepada saya? kalian menuduh orang ini melakukan penyesatan terhadap rakyat, tetapi kalian sendiri melihat bahwa setelah saya menyelidiki-Nya, tuduhan-tuduhkan kalian tidak terbukti. Herodes pun tidak menemukan bukti atas tuduhan kalian. Saya kira tidak cukup alasan untuk menghukum orang ini, apalagi hukuman mati. Karena itu, saya kira Ia harus dilepaskan” (bdk. Lukas 23: 13-16). Massa di luar gedung pengadilan itu makin berkecamuk karena tak terima dengan keputusan Pilatus. Mereka berteriak minta Yesus disalib. Mereka mengancam akan membakar istana Gubernur apabila Yesus dilepaskan.
Pilatus dalam situasi dilema. Di satu sisi, tidak cukup bukti untuk menjatuhkan hukuman mati pada Yesus, di sisi lain, massa di luar gedung memaksa Pilatus menghukum Yesus dengan disalibkan. Dalam dilema itu, Pilatus mendapat ide baru. Kebetulan menjelang hari raya Paskah. Pilatus lalu keluar dan mendapati massa dan berkata: “kalian tahu, bahwa ada kebiasaan pada setiap hari raya keagamaan, kami memberikan grasi pembebasan pada satu orang hukuman. Sekarang ada dua orang, Yesus Barabas dan Yesus yang kalian sebut Kristus, kira-kira siapa yang harus kubebaskan?” Sementara Pilatus berbicara dengan massa, istrinya mengirim pesan bagi dia, yang isinya begini: “jangan ikut campur perkara orang benar ini, karena tadi malam saya mimpi buruk gara-gara Dia.”
Seakan sudah mendapat solusi, Pilatus malah dihambat lagi. Ia benar-benar kebingungan: “Apa yang harus saya perbuat kalau begitu?” Tetapi imam-imam kepala menghasut massa di depan istana untuk meminta supaya Barabaslah yang dibebaskannya. Dari luar gedung mereka berteriak bersama-sama: “Enyahkanlah Dia, lepaskanlah Barabas bagi kami!” Sementara yang lain berteriak pula: “Jangan Dia, melainkan Barabas!” Yesus Barabas, seorang penyamun, yang dimasukkan ke dalam penjara bersama beberapa orang pemberontak lainnya, berhubung dengan suatu pemberontakan yang telah terjadi di dalam kota dan karena pembunuhan, malah dikehendaki bebas karena kebencian orang Yahudi terhadap Yesus Kristus sudah keterlaluan.
Tidak mau bertanggung jawab atas dosa yang menimpanya nanti, Pilatus terus berusaha membebaskan Yesus Kristus. Ia berbicara dengan keras kepada massa orang Yahudi agar Yesus dilepaskan. Ia bertanya sekali lagi kepada mereka: “Saya harus buat apa dengan Yesus yang disebut Kristus ini?” Tetapi karena kebencian yang mendalam terhadap Yesus maka mereka berteriak membalas Pilatus: “Ia harus disalibkan! Salibkanlah Dia! Salibkanlah Dia!” Tuntutan massa begitu keras dan Pilatus rupanya kehilangan pertahanan. Namun demikian ia masih mau bertanya kepada massa. Maka untuk ketiga kalinya Pilatus bertanya kepada mereka: “Apa kejahatan yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Kalian tahu bahwa setelah saya selidiki, tidak ada suatu kesalahan pun yang kutemukan pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati. Jadi saya pikir Ia harus dilepaskan.” Tetapi orang-orang Yahudi makin berteriak dan menuntut supaya Yesus disalibkan.
Tetapi Pilatus rupanya masih tak menentu untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus. Itulah sebabnya dia kembali membujuk Yesus, katanya: “Beritahu saya, dari manakah asal-Mu?” Tetapi Yesus hanya terdiam. Pilatus kesal, dan karena itu kali ini dengan ancaman: “Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?” Karena merasa direndahkan, Yesus pun menjawab: “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya.” Pilatus rasanya diperhadapkan pada suatu situasi yang sangat sulit. Maka ia terus berusaha untuk membebaskan Yesus, tetapi orang-orang Yahudi berteriak: “Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar.”
Ketika Pilatus mendengar perkataan itu, ia menyuruh membawa Yesus ke luar, dan ia duduk di kursi pengadilan. Tetapi dari luar gedung, massa terus berteriak: “Salibkan Dia! Enyahlah Dia.” Kata Pilatus kepada mereka: “Haruskah aku menyalibkan rajamu?” Untuk mengambil hati Pilatus, imam-imam kepala menjawabnya: “Kami tidak mempunyai raja selain dari pada Kaisar!” (Yohanes 19: 15). Dengan begitu, para imam berharap Pilatus merasa dinomorsatukan, didewakan, sehingga mau mendengar permintaan mereka.
Ketika Pilatus melihat bahwa segala usahanya sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan di halaman istana, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!” Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!”
Pilatus betul-betul tak berdaya lagi mempertahankan Yesus sehingga akhirnya teriakan dan tuntutan massa itu dimenangkan. Nasib Yesus akhirnya tidak bisa ditentukan oleh hukum batin (hati nurani yang jujur) maupun hukum objektif (hukum negara). Pilatus, yang berwenang menegakkan hukum atas dasar kebenaran dan keadilan terpaksa diabaikan karena teriakan massa disertai ancaman kekerasan. Bisikan hati nuraninya, juga pesan istreinya agar tidak melakukan dosa terkait nasib Yesus terpaksa diabaikan Pilatus karena tuntutan massa begitu kuat. Desakan politik massa, dan bukan kebenaran dan keadilan, yang menjadi penentu nasib Yesus. Yesus akhirnya menjalani via dorolosa akibat sebuah pengadilan yang tidak benar dan tidak adil.
Sejumlah catatan aplikatif dapat diambil. Pertama, Yesus akhirnya menderita karena iri hati, ketidaksukaan dan kebencian yang berlebihan dari para imam, orang-orang Farisi dan para pemuka agama Yahudi atas diri-Nya sehingga mereka berupaya membunuh Yesus. maka dosa-dosa semacam itu tak boleh dipelihara lagi dalam hati orang percaya karena dapat melahirkan kejahatan terhadap sesama. Kalau kita memelihara rasa benci, iri hati, dan tidak suka terhadap seseorang, lama-kelamaan kita merancang kejahatan terhadap dia atau setidaknya kita selalu berupaya untuk terus menjatuhkan dia. Selain itu, dosa ketamakan seperti diperankan Yudas pun ikut berperan dalam penderitaan Yesus. Kedua, penting sekali bagi kita untuk memelihara hati nurani sehingga mampu bertindak baik dan benar dalam segala setuasi, bahkan meski pun nyawa menjadi taruhan. Nurani kita biasanya tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Apabila nurani kita sudah dikalahkan kepentingan diri, materi atau mamon maka lama-kelamaan kita mengabaikan kebenaran dan suara Tuhan. Kebenaran tak boleh dikompromikan demi kepentingan diri semata. Ketiga, dalam masa sulit seperti ini akibat pendemi virus Corona, para pejabat publik perlu menempatkan keselamatan umat manusia sebagai dasar utama dalam setiap kebijakan yang diterapkan. ***