
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) telah menetapkan bulan Mei sebagai “bulan budaya”. Bulan budaya menjadi sebuah momen yang ditunggu-tunggu oleh jemaat GMIT. Sesuai dengan kalender gerejawi perayaan bulan budaya di bulan Mei bertepatan dengan peristiwa Kenaikan Tuhan Yesus ke Surga dan peristiwa Turunnya Roh Kudus (Pentakosta).
Dalam perayaan bulan budaya setiap jemaat – jemaat GMIT baik yang ada di kota maupun di kampung, baik jemaat yang homogen maupun jemaat heterogen menyambut dan merayakan dengan sukacita dan meriah. Perayaan ini didukung dengan liturgi yang diterbitkan oleh Majelis Sinode yang bernuansa etnik, menggunakan tarian, syair dan nyanyian, alat musik, tenunan, anyaman dan ornament lainnya. Misalnya tahun 2022, pada minggu I dari etnis Tetun (khusus Malaka), minggu ke II etnis Alor (Pantar), minggu III etnis Sabu Raijua, dan minggu IV etnis Krowe (Kab. Sikka), tanggal, 26 Mei 2022 dalam peristiwa Kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga menggunakan etnis Rote Ndao, minggu V menggunakan etnis Amfo’ang. Pada tahun 2024, di minggu I liturgi yang digunakan dari etnis Timor Amanatun dan Amanuban, pada hari Kamis, 9 Mei 2024 dalam perayaan Kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga menggunakan etnis Helong, minggu II etnis Rote, dan minggu III sekaligus perayaan Pentakosta dengan menggunakan multi etnis, dalam ibadah syukuran Pentakosta menggunakan etnis Timor Amarasi, dan pada minggu IV menggunakan etnis Sabu Raijua.
Dalam desain Tata Ibadah (liturgi) Majelis Sinode memberi ruang bagi anggota jemaat untuk menata ibadah sesuai dengan konteksnya agar setiap anggota jemaat dapat membangun kehidupan berjemaat yang memahami identitasnya. Setiap narasi dalam liturgi yang dijadikan sebagai referensi diangkat dari pergumulan yang sedang dihadapi oleh anggota GMIT. Misalnya di Jemaat Pola Tribuana Kalabahi sesuai yang dirilis oleh KBRN, Atambua (https://www.rri.co.id), berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Pdt. Loisa Ena Blegur, M.Th bahwa dalam bulan budaya tahun 2024, jemaat Pola Tribuana mengenakan pakaian adat dari etnis Pantar berkolaborasi dengan etnis Kolana di minggu I, minggu II etnis Rote, minggu III multi etnis, dan minggu IV dengan menggunakan etnis Sabu. Sedangkan menurut berita yang dirilis dari KBRN, Kupang, 31 Mei 2024 (RRI.co.id), jemaat GMIT Talitakumi Pasir Panjang dalam ibadah minggu IV (26/5/2024) menggunakan liturgi multi etnis, dan petugas liturgi menggunakan busana Jawa Kraton Solo, Timor, Bali dan Batak. Pujian dalam liturgi juga menggunakan beragam bahasa, diantaranya Bahasa Jawa, Alor, Timor, dan Batak. Di akhir dari ibadah Ketua Majelis Jemaat dan liturgos yang adalah kaum pemuda menyanyikan lagu dan tarian dari Timor. Pada acara penutupan bulan budaya tanggal 31 Mei 2024 selain ibadah penutupan disertakan juga berbagai kegiatan budaya, konser musik budaya, fashion show, pameran UMKM, kuis berhadiah dan game.
Ada hal menarik yang ditemukan dalam ibadah di bulan budaya yakni setiap petugas liturgi dan sebagian jemaat antusias menggunakan pakaian adat bahkan ruang ibadah pun ditata sesuai dengan etnis yang ditetapkan dalam liturgi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk melestarikan budaya sekaligus menunjukkan identitas pemilik budaya semakin meningkat. Ketika sebuah narasi tentang keadaan suatu suku dibacakan, setiap pendengar yang adalah jemaat mendapat sebuah informasi tentang suku tersebut. Di saat lagu-lagu, doa, dan ajakan dalam bahasa daerah diucapkan, jemaat pemilik bahasa daerah tersebut akan merasa tersentuh dan setiap sentakan kaki dalam tarian yang dipersembahkan memberi semangat baru bagi setiap orang. Setelah ibadah ada juga kegiatan yang dilakukan selama bulan budaya, yakni menjual hasil olahan makanan khas dan kerajinan tangan dari setiap suku, bahkan berbagai kegiatan lainnya.
Sebuah pertanyaan, ketika kita ada dalam perayaan bulan budaya, apakah kita diwajibkan menggunakan pakaian khas etnis, bahasa daerah, lagu-lagu, tarian dan alat musik dari daerah tertentu sesuai liturgi, atau lebih dari itu yakni hendak memahami nilai – nilai Kristiani dalam budaya tanpa harus menggunakan aksesoris baik pakaian maupun identitas lainnya termasuk tata ruang dalam sebuah liturgi? sebab ketika semua unsur budaya ditampilkan dalam sebuah liturgi, ibadah seperti sebuah pentas seni. Bahkan ada petugas liturgi yang tidak fasih dalam berucap dalam menggunakan bahasa daerah sehingga kalimat yang diucapkan kehilangan makna, selain itu ada jemaat yang tidak memahami apa yang sedang diucapkan oleh petugas liturgi, ketika setiap bahasa daerah tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jika dalam perayaan bulan budaya jemaat hanya fokus untuk menggunakan aksesoris daerah sebagai sebuah identitas dan mengabaikan pemaknaan mendalam tentang menemukan nilai – nilai Kristiani dalam setiap budaya, maka sebuah ketakutan adalah warga jemaat GMIT dapat terjebak dalam pemahaman bahwa Injil dapat berjalan sejajar dengan kebudayaan, sebagaimana salah satu skema yang digambarkan oleh Richard Hiebuhr, seorang teolog dari Amerika Serikat tentang masalah hubungan antara Injil dan kebudayaan. Dalam diri warga jemaat akan ada dualitas di antara Injil dan kebudayaan. Orang dapat menerima kewibawaan, baik Injil maupun kebudayaan. Dalam praktek seorang Kristen dapat tunduk kepada dua moralitas sekaligus, atau sebagai warga dari dua dunia yang bukan saja tidak berkesinambungan satu sama lainnya, tetapi juga bertentangan. Akan ada polarisasi dan ketegangan di antara Injil dan kebudayaan. Seorang Kristen harus menjalani suatu kehidupan yang tidak jelas, sulit dan sekaligus berdosa dalam polarisasi dan ketegangan itu. Dalam pada itu ada juga pengharapan besar bahwa di balik sejarah akan terjadi suatu pembenaran.
Budaya merupakan identitas suatu masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Koentjaraningrat (antropolog Indonesia), secara umum unsur-unsur yang terdapat dalam suatu budaya sebagai identitas suatu masyarakat adalah sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan. Dengan demikian, dalam perayaan bulan budaya, tidak salah jika setiap pemilik budaya dapat mengekspresikan identitasnya melalui kesenian berupa tarian dan alat musik tradisional, penggunaan bahasa daerah, bagaimana kehidupan para leluhur menyembah Yang Kuasa serta memelihara lingkungan dan menjaga keutuhan hidup bersama dalam narasi dan drama/fragmen. Dengan ditampilkannya budaya sebagai identitas suatu daerah merupakan kesempatan bagi kita untuk menghayati akar budaya kita. Lewat perayaan bulan budaya menjadi kesempatan untuk kita menelusuri jejak sejarah, memahami makna di balik setiap tradisi, dan menghargai nilai – nilai luhur yang terkandung di dalamnya di tengah arus globalisasi yang terkadang melupakan nilai – nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang. Perayaan bulan budaya yang dirayakan setiap tahun bukan hanya pentas seni untuk bernostalgia, melainkan sebagai momentum untuk melestarikan warisan budaya. Di era digital yang serba cepat, tradisi dan budaya lokal terancam tergerus oleh arus informasi global, karena itu perayaan bulan budaya menjadi kesempatan untuk memperkenalkan budaya kepada generasi muda, menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap warisan budaya, dan mendorong mereka untuk menjadi penerus budaya yang bertanggung jawab.
Wilayah pelayanan GMIT memiliki begitu banyak budaya lokal dan itu merupakan anugerah Allah bagi jemaat GMIT. Catatan Sejarah iman kita menyaksikan bahwa tuntunan Allah kepada manusia berlangsung dalam sejarah, dimana budaya adalah bagian dari tanda sejarah itu. Dalam kaitan dengan budaya, Pokok-pokok Eklesiologi GMIT berbicara tentang tradisi. Tradisi diibaratkan seperti sejarah yang diwarisi dari masa lalu. Sebagai pemilik suatu budaya, kita tidak saja sebagai penerima tradisi, tetapi sebagai yang terlibat dan terhisap di dalam tradisi. Dengan memelihara tradisi sebenarnya kita melestarikan identitas kita. Meskipun tradisi hanya sebagai acuan, namun sekaligus terbuka terhadap interpretasi sehubungan dengan kebutuhan lokal yang dinamis yang dipicu oleh kebutuhan zaman yang berubah. Sekalipun demikian, harus bertolak dari Alkitab.
GMIT memahami bahwa budaya sebagai kekayaan dalam bermisi, maka GMIT melihat budaya dan teologi sebagai dua hal yang dapat saling mentrasformasi. Dengan berpijak pada PPE GMIT, perayaan bulan budaya merupakan kesempatan bagi warga GMIT untuk menemukan, mengembangkan dan mewujudkan nilai-nilai Kristiani yang ada dalam setiap budaya untuk meningkatkan iman kepada Tuhan pemilik budaya, sekaligus mempererat hubungan antar sesama umat manusia dan juga untuk pelestarian alam semesta. Di tahun 2025 ini, GMIT merayakan bulan budaya dalam satu momen penting sesuai kalender gerejawi yakni peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga dengan tema “Yesus yang bangkit membarui dan memulihkan budaya yang saling berbagi dan merangkul perbedaan” kiranya menolong kita untuk memaknai perayaan bulan budaya bukan sebagai sebuah pertandingan etnis yang memicu perselisihan dan perpecahan dalam jemaat. Melainkan merayakan bulan budaya sebagai pesta iman. Pesta di mana kita menanamkan nilai – nilai budaya dalam kehidupan sehari – hari, sehingga budaya menjadi bagian integral dari kehidupan kita. Kita menjadikan bulan budaya sebagai pesta yang istimewa, bukan sekedar pentas seni atau hiburan, melainkan sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan dan juga kesempatan untuk berefleksi tentang karya Allah dalam setiap budaya serta dapat menghidupkan dan mempertahankan nilai – nilai luhur yang adalah nilai – nilai Kristiani dalam budaya seperti saling berbagi, saling menolong, dan menghargai perbedaan yang ada, sehingga harapan untuk hidup dalam kasih, keadilan, kebenaran, dan damai Sejahtera menjadi bahagian dalam hidup bersama kita. ***