
Esai ini merupakan sebuah refleksi yang bersumber dari pengamatan tentang dinamika kuasa dan dominasi di GMIT, secara khusus mengenai tempat dan suara kelompok marginal. Pengamatan ini juga berakar pada pengalaman bergereja di GMIT sebagai anggota jemaat dengan berbagai peran sampai dengan sekarang, yaitu sebagai seorang vikaris. Pertanyaan yang muncul dalam kepala saya adalah bagaimana GMIT dapat menciptakan ruang bagi kelompok yang dimarginalkan untuk berbicara? Pertanyaan ini muncul dari kenyataan bahwa dalam berbagai rapat/persidangan, suara perempuan, termasuk yang presbiter, dari latar belakang pendidikan dan ekonomi yang sering disebut rendah tidak mendapatkan ruang dan keberanian untuk bersuara. Pengaruh kolonialisme dan budaya patriarki dalam GMIT juga turut membentuk kenyataan itu, yang kalau terus dibiarkan akan membudaya atau menjadi cara bergereja di GMIT.
Namun, belakangan saya menemukan bahwa ruang itu telah tersedia di GMIT, yaitu pemberitaan firman di ibadah-ibadah rayon atau rumah tangga. Entah keberadaan ruang itu disengajakan atau tidak, itu bukanlah sebuah persoalan. Yang jelas adalah ada ruang, bahkan yang sentral dalam gereja bertradisi Calvinis, bagi kelompok yang Gayatri Spivak sebut sebagai subaltern yang dikembangkannya dari pemikiran Antonio Gramsci itu untuk berbicara. Maka, dalam esai ini, saya akan menunjukkan bagaimana pemberitaan firman itu dipahami sebagai ruang bagi kelompok marginal atau subaltern untuk berbicara. Tetapi, saya juga akan menunjukkan bahwa ruang itu hanyalah salah satu dari ruang-ruang lain dalam gereja untuk mendengar suara mereka yang termarginal. Pemikiran Spivak tentang subalternyang didialogkan dengan kisah Maria Magdalena dan para perempuan lainnya sebagai saksi pertama kebangkitan Yesus dalam bingkai pemahaman jemaat misioner GMIT akan menegaskan pentingnya ruang itu. Dialog itu juga akan menegaskan bahwa menciptakan ruang itu di seluruh wacana bergereja adalah sebuah keharusan, yang kemudian menjadi budaya atau cara bergereja.
Pentingnya Kelompok Marginal Berbicara Sendiri
Dalam artikelnya, “Can the Subaltern Speak?”[1] yang sangat berpengaruh itu, Spivak menegaskan pentingnya kelompok yang dimarginalkan untuk berbicara, khususnya mereka yang berada dalam posisi subaltern, yaitu yang tidak mendapatkan tempat dalam wacana dominan, baik karena kolonialisme maupun budaya patriarki. Dia mengkritisi dua filsuf Perancis, yaitu Michael Foucault dan Gilles Deleuze yang sebenarnya berupaya untuk menempatkan kelompok termarginal sebagai subjek yang berdaulat dan bisa bersuara, tetapi keduanya masih terjebak dalam dominasi intelektualitas Barat yang memahami diri mereka sebagai representasi atau wakil dari kelompok marginal untuk berbicara. Menurut Spivak, konsep representasi yang digaungkan kedua pemikir itu bukannya menyampaikan suara subaltern, malah membungkam atau menggantikan subaltern untuk berbicara. Alih-alih suara subaltern yang diperdengarkan, kaum terpelajar Barat malah menyamarkan dan memanipulasi suara sejati dari kelompok yang mau mereka perjuangkan.
Bagi Spivak, upaya Foucault dan Deleuze bermasalah seperti itu karena mereka mengabaikan kenyataan pengaruh kolonialisme dan struktur global yang menempatkan bangsa bekas penjajah di posisi tinggi (superior) dan bangsa bekas terjajah di posisi rendah (inferior). Bekas penjajah terus mendominasi dalam konsep representasi khususnya karena intelektualitas mereka, bahkan itu menghasilkan bentuk baru dari kolonialisme yaitu kolonisasi suara.
Dominasi kelompok superior itu merupakan warisan kolonialisme yang juga dikukuhkan oleh budaya patriarki. Spivak memberikan sebuah contoh yang sangat jelas dalam konteks India. Pada masa kolonial, kelompok kolonialis Inggris hendak menghentikan praktik sati, yaitu pembakaran diri janda. Sedangkan, kelompok nasionalis India ingin mempertahankan praktik itu. Tetapi, kedua kelompok itu tidak memberi ruang kepada para perempuan yang menjadi subjek langsung dari praktik itu untuk berbicara. Upaya kedua kelompok itu hanya didasarkan pada pandangan mereka sendiri, yang mengangkat diri sendiri untuk mewakili para perempuan.
Kenyataan seperti itu juga tergambar dalam kehidupan bergereja seperti yang disebutkan sebelumnya di atas. Kelompok jemaat berpendidikan dan berekonomi menengah ke atas, khususnya laki-laki, mendominasi percakapan dalam persidangan serta wacana lain dalam pelayanan. Keputusan-keputusan yang dihasilkan pun tentu berada dalam bingkai dominasi itu. Misalnya, jika percakapan pembangunan pastori didominasi oleh kelompok yang berekonomi menengah ke atas, maka ada kemungkinan pastori yang dibangun akan mencerminkan standar kelompok ekonomi menengah ke atas. Tentu, tidak salah jika jemaat membangun pastori yang terbaik, tapi terbaik versi kelompok dominan dan kelompok marginal itu tidak sama. Pastori yang berwajah kelompok menengah ke atas bisa saja semakin meminggirkan kelompok yang sudah berada di pinggiran.
Dominasi semacam itu akan terus berlangsung jika “merepresentasi” atau “mewakili” tetap menjadi pemahaman dan praktik yang nyaman dilakukan atau dianggap biasa, bahkan menjadi budaya atau cara bergereja. Akibat lainnya adalah gereja menjadi “milik” kelompok dominan itu. Mereka yang dipinggirkan hanya akan terus menjadi objek atau “bawahan” yang siap mengikuti keputusan yang diambil para “atasan.” Istilah keputusan bersama atau pelayanan bersama atau jalan bersama itu hanya akan terus menjadi ilusi.
Kelompok Marginal Harus Berbicara Sendiri
Alasan yang sering kali dikemukakan untuk “mendiamkan” kelompok marginal adalah mereka tidak bisa berbicara. Mereka punya kalimat “kaki kepala” atau tidak beraturan, dan mereka “omong tidak jelas” sering kali menjadi alasan bagi kelompok terpelajar untuk tidak memberi ruang bagi mereka. Demikian juga stigma itu mengikis kepercayaan diri kelompok marginal itu dan memudarkan sedikit keberanian yang mungkin mereka punya untuk menyampaikan pendapat. Perempuan dalam kelompok marginal mengalami pembungkaman yang berlapis karena budaya patriarki. Itulah kenyataan pengaruh kultural yang dialami banyak jemaat GMIT, di India dan juga dalam konteks masyarakat Yahudi saat Yesus bangkit.
Namun, syukur kepada Allah, karena Ia tidak berpandangan demikian. Kebangkitan Kristus pertama kali diberitakan kepada para perempuan Yahudi dan merekalah pemberita pertama dari peristiwa itu. Itu dicatat dengan jelas oleh keempat kitab Injil. Bahkan, Matius mempertentangkan tempat dan peran para perempuan sebagai saksi kebangkitan Yesus dengan para pemimpin Yahudi serta serdadu Romawi yang berdusta tentang kebangkitan-Nya. Para perempuan dalam budaya masyarakat Yahudi dianggap rendah, bahkan kesaksian mereka dianggap sebagai bukan kesaksian. Tetapi, Maria Magdalena dan perempuan lainnya malah dipercayakan kabar baik oleh Allah. Seperti ditegaskan Mery Kolimon, mereka tidak hanya menjadi penerima kabar baik itu, tetapi juga diberdayakan-Nya menjadi pemberita peristiwa yang menjadi inti iman Kristen itu.[2] Tepat sekali yang ditegaskan Elizabeth Schüssler Fiorenza bahwa yang pertama kali percaya terhadap kebangkitan Yesus adalah seorang perempuan, dan iman Kristen itu berasal dari kesaksian perempuan.[3] Tidak mengherankan juga jika Bernard dari Clairvaux menyebut Maria Magdalena sebagai “rasul bagi para rasul.”[4]
Maria Magdalena dan para perempuan merupakan pemberita yang sangat penting karena, menurut catatan ketiga Injil Sinoptik, merekalah yang melihat Yesus mati, diletakkan ke dalam kubur, dan kubur yang kosong. Kata “melihat” di situ menjadi sangat penting karena dalam teori kognisi Yunani Kuno, seperti diungkapkan Heraklitus, “mata adalah saksi yang lebih dapat dipercaya daripada telinga.”[5] Mereka dapat disebut saksi kunci karena mereka melihat semua peristiwa penting itu. Jika kenyataan itu menjadi pertimbangan, tentu tidak mengherankan jika merekalah yang paling layak untuk memberitakan kebangkitan-Nya. Maria Magdalena, khususnya, yang pertama kali melihat dan berbicara dengan Yesus setelah kebangkitan-Nya adalah sumber yang berotoritas untuk kisah kematian dan kebangkitan Yesus.[6]
Kisah kematian sampai penguburan dan kemudian kebangkitan Yesus itu adalah kisah mereka bersama Yesus. Itu merupakan pengalaman yang khusus dan tak tergantikan. Dengan pengalaman itu, hanya mereka sendirilah yang bisa mengartikulasikan berita itu secara utuh dan hidup. Pengalaman seperti itu membuat mereka tidak bisa direpresentasikan oleh siapa pun. Seperti yang diingatkan Spivak, upaya pihak lain untuk mewakili Maria Magdalena dan para perempuan lainnya itu berisiko menyalahartikan dan membungkam mereka.
Kisah itu tidak bisa diwakilkan juga karena representasi bisa membuat kebangkitan Yesus itu tidak terdengar sebagai berita yang hidup. Para perempuan bukan sekadar menjadi pemberita sebuah peristiwa. Kebangkitan Yesus itu tentu merupakan peristiwa yang menggemparkan dan menggetarkan. Tetapi, bagi para perempuan yang menyaksikan dengan mata mereka sendiri seluruh rangkaian penderitaan dan kematian Yesus serta penguburan-Nya, kebangkitan itu lebih dari sebuah kegemparan dan getaran hebat. Kebangkitan Yesus adalah bagian dari diri mereka; meresapi seluruh tubuh dan iman mereka. Itulah sebabnya, pemberitaan mereka tentang Yesus yang telah bangkit dan hidup itu bukanlah sebuah kabar semata, tetapi sebuah berita yang mengalir dari atau menyatu dengan seluruh keberadaan mereka.
Kisah para perempuan di atas menegaskan bahwa setiap orang yang memiliki pengalaman otentik dengan Allah harus diberikan ruang untuk berbicara atas nama mereka sendiri. Kisah mereka dengan Allah adalah kisah yang hidup, dan itu akan terekspresi dalam bahasa verbal dan tubuh yang juga otentik. Jika diberikan ruang, mereka akan berbicara tentang Allah yang hidup dan nyata secara otentik dalam kehidupan mereka. Itu tidak bisa digantikan dengan apa pun, termasuk budaya.
Tetapi, pertanyaannya adalah apakah memang mereka bisa berbicara, mengisahkan kisah yang otentik dan hidup itu kepada dunia?
Ya, Kelompok Marginal Bisa Berbicara Sendiri
Spivak tentu memahami bahwa bagi kelompok yang dimarginalkan, “berbicara sendiri” itu bukan perkara mudah. Mereka berhadapan dengan hambatan struktural yang sangat besar, yang bukan hanya soal tingkat pendidikan dan ekonomi, tetapi juga mentalitas dan keberanian mereka sendiri yang sudah hampir terkikis habis oleh pengaruh kolonialisme dan budaya. Tetapi, bagi Spivak, mendengar suara asli dari kelompok marginal itu merupakan perjuangan yang penting. Kepentingan itu bukan hanya terkait upaya untuk mencapai keadilan epistemik dan pembebasan sejati yang digaungkan Spivak, tetapi juga pemberitaan tentang Allah dan karya-Nya melalui kisah yang otentik dan hidup.
Faktanya, kelompok subaltern bisa berbicara sendiri untuk mengutarakan pendapat dan refleksi kisah mereka bersama Allah. Di tempat vikariat saya, Jemaat Emaus Liliba, banyak perempuan yang menjadi presbiter. Mereka memang tidak cukup berani untuk berpendapat dalam rapat atau persidangan. Tetapi, ruang bagi mereka untuk berbicara melalui pemberitaan firman dalam ibadah-ibadah rayon/rumah tangga atau syukur tidak pernah mereka lewatkan. Mereka bersemangat dan berani untuk berbicara.
Pemberitaan firman adalah ruang bagi mereka untuk berbicara tanpa ragu atau kuatir di ruang publik. Ira Mangililo menekankan pentingnya kita memahami kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam ruang publik. Namun, jika dalam pembahasan Mangililo kesetaraan itu dicapai perempuan melalui pendidikan yang tinggi,[7] kesetaraan dalam ruang publik dalam pemberitaan firman itu memberi ruang “sekarang” dengan keadaan perempuan yang apa adanya. Saat memberitakan firman, mereka keluar dari keadaan sebagai kelompok marginal. Memang, pengamatan atau kajian teologis yang akademis mungkin akan menemukan kekurangan dari pemberitaan mereka. Tetapi, bagaimana pun, pemberitaan firman merupakan ruang bagi mereka untuk mengisahkan pemahaman dan pengalaman mereka dengan Allah berdasarkan nas yang disampaikan.
Kisah yang mereka sampaikan juga otentik dan hidup. Sering kali saya amati, para presbiter ini tidak bersusah-susah untuk berdialog dengan pemikiran para teolog atau buku tafsiran. Itu memang di luar kapasitas mereka. Adalah tugas pendeta atau teolog untuk memfasilitasi mereka dengan wacana akademis sesuai kapasitas mereka. Tetapi, pemberitaan firman memberi ruang bagi mereka untuk berefleksi tentang nas Alkitab menurut pemahaman dan pengalaman keseharian mereka, dan itu yang mereka beritakan. Bukankah itu merupakan pemberitaan yang otentik dan hidup? Bukankah bagi GMIT yang mengamini imamat am orang percaya, pemberitaan firman oleh pejabat-pejabat khusus dan setiap anggotanya berdasarkan perjumpaan mereka dengan Allah melalui firman-Nya merupakan karakter jemaat misioner yang dicita-citakannya?
Jadi, kelompok marginal bisa berbicara, dan selama ini mereka telah berbicara melalui ruang yang tersedia di GMIT itu. Tetapi, apakah itu cukup? Tentu saja tidak! Ruang pemberitaan firman itu harus dipahami sebagai titik awal dan salah satu ruang saja. Dalam pemberitaan firman yang mereka lakukan, mereka memang keluar dari label marginal. Tetapi, setelah itu mereka akan kembali menjadi kelompok yang dimarginalkan karena dalam ruang yang lain suara mereka tetap tidak terdengar. Karena itu, setiap ruang wacana dalam pelayanan di GMIT harus menjadi ruang bagi mereka untuk berbicara secara kritis dan konstruktif, mengutarakan pendapat, dan bahkan berani berbeda pendapat dengan orang lain.
Lalu, siapakah yang harus menciptakan ruang-ruang itu? Sebagai Familia Dei, setiap anggota jemaat GMIT harus saling memberi ruang bagi yang lain untuk berbicara. Kesediaan untuk mendengar merupakan langkah awal dari upaya itu. Keduanya, yaitu memberi ruang untuk berbicara itu dan kesediaan untuk mendengar, harus menjadi budaya GMIT yang melampaui batasan-batasan budaya apa pun. Budaya yang dijiwai kebangkitan Yesus itu bukanlah saling mendominasi, tetapi saling mendengar dan berbicara tentang kisah otentik dan hidup bersama Kristus yang bangkit serta karya-Nya bagi dan melalui gereja-Nya.
((Vikaris GMIT di Jemaat Emaus Liliba, Dosen Pascasarjana UKAW))
Notes:
[1] Gayatri Chakravorty Spivak. “Can the Subaltern Speak?” In Imperialism, pp. 171-219. Routledge, 2023.
[2] Mery Kolimon. Misi Pemberdayaan: Perspektif Teologi Feminis.BPK Gunung Mulia, 2022. 501.
[3] Elisabeth Schüssler Fiorenza. “Feminist theology as a critical theology of liberation.” Theological studies 36, no. 4 (1975): 622-626.
[4] Sermones in Cantica, Serm. 75, 8 (PL 183, 1148).
[5] Dikutip dalam Richard Bauckham. Jesus and the eyewitnesses: the gospels as eyewitness testimony. Wm. B. Eerdmans Publishing, 2008. E-Book, bab 3.
[6] Bauckham; dan Edmondo Lupieri. “The Earliest Magdalene: Varied Portrayals in Early Gospel Narratives.” In Mary Magdalene from the New Testament to the New Age and Beyond, pp. 11-25. Brill, 2019.
[7] Ira Desiawanti Mangililo. “Teologi Perempuan dan Pengimajinasian Ulang Komunitas Inklusif di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 8, no. 1 (2022), 240.