Theologi Agama-agama sebagai Wahana Kerukunan dan Perdamaian*
(Prof. Dr. Olaf Schumann)
Apabila Theologi Agama-agama hendak menemui tugasnya di dalam masyarakat yang majemuk di mana ia berada, dan bukan dalam sebuah vacum nilai dan situasi, maka ia harus membersihkan dulu lapangan di mana ia hendak bergerak.
Sebagai suatu bidang pemikiran yang terkait dengan “-logia” maka ia punya tempatnya di alam akademis di mana metode pemikiran dan perkembangan argumentasi ditentukan oleh logika. Dalam hal ini, Theologi Agama-agama memang berbeda dengan “Ilmu” Agama-agama. Kalau “Ilmu Agama-agama” merupakan Ilmu yang deskriptif yang membahas secara obyektif dan memperhatikan ep’ochè[1],yakni menahan diri dari setiap penilaian atau ucapan kwalitatif mengenai bahan yang dibahas, maka Theologi Agama-agama merupakan Ilmu normatifyang dapat juga menilai suatu gejala religius atas dasar plausibilitas intern (kedudukannya dalam sistemnya). Justru cabang-cabang pemikiran yang berurusan dengan soal-soal yang berbau “agama” rasanya menghasilkan daya khas untuk menarik segala macam pikiran dan khayalan mengenai “apa itu agama”? sehingga baik Ilmu maupun Theologi Agama-agama menghadapi kesulitan besar untuk menuntut rasionalitas dan obyektivitas apabila orang bicara mengenai agama. Dua cabang ilmu ini bukan ideology di mana masing-masing boleh mengembangkan idenya tanpa rujuk secara kritis dan metodis kepada bahan-bahan yang tersedia. Jadi memberikan definisi yang jelas kepada apa yang dimaksud dengan “Theologi Agama-agama” merupakan salah satu tugas utama, dan saya ingin menekankan pokok ini secara khusus sebab justru di Indonesia pada tahun yang lalu istilah “theologia” yang dignunakan di kalangan Kristen, (“filsafat keilahian”? istilah itu malah tidak cocok untuk menerjemahkan ”meta ta physika”).
Jadi “theo-logia” membahas secara kritis dan rasional suatu kompleks data-data keagamaan yang disediakan – dalam hal ini –oleh beberapa agama, dan tujuan penelitian itu perlu dijelaskan. Saya kembali ke pertanyaan ini.
Masalah ke-2 yang sama-sama rumit yang dihadapi oleh Ilmu Agama-agamaatau oleh Theologia Agama-agamaialah penggunaan kata “Agama” (Religion) dalam bentuk tunggal: Science,or Theology of Religion, seolah-olah hanya ada satu agama saja yang menjadi bahan penelitian. Penggunaannya dalam bentuk tunggal punya makna dalam bidang Filsafat Agama, sebab apa yang dibahas di situ, dalam bidang Filsafat, ialah ide tentang makna “agama” sebagaimana ia dipahami dan dikembangkan oleh sang filsuf.[2], dan hasil pemikirannya ialah satu konsep mengenai “agama” saja.
Lain soal yang dihadapi dalam “Theologi” atau “Ilmu Agama-agama”. Bukan ide yang dibahas di situ, melainkan agama-agama yang kongkrit yang ada dan bukan diwijudkan dalama plemikiran se peneliti. Memang, setiap peeliti berhak untuk membatasi ruang penelitiannya pada salah satu agama saja. Namun, dalam hal itu, si peneliti harus dengan jujur menyebut nama agama yang dibahasnya, meskipun itu agamanya sendiri. Mungkin bagi dia sendiri, agamanya sendiri merupakan “agama yang sebenarnya” sehingga ia merasa berhak untuk membicarkannya dalam bentuk tunggal, sebagai “agama itu”. Sekiranya peneliti lain pegang pada pemahaman yang samak, maka Ilmu itu, atau Theologi itu” akhirnya menjadi “Toko Serba Guna”, dan yang satu tidak memahami yang lain. Sikap “ilmu” lenyap, dan yang tertinggal ialah mentalitas supermarket.
Baik “Ilmu Agama-agama” maupun “Teologi Agama-agama” membahas fenom-na-fenomena yang dikenal sebagai “agama” (religion), dan masing-masing system keagamaan mempunyai ciri-khas dan serta pemahman mengenai hakikat jagat, dewa(-dewa), manusia dst. sendiri. Memang ada agama-agama yang mirip seerti agama-agama suku atau “natural”, namun dalam hal=hal khas meeka cukup berbeda juga, tergantung dari iklim dan situasinya yang umum di mana mereka berada. Juga “agama-agama yang monoteis” (Yahudiyya, Kekristenan, dan Islam), meskipun secara historis, fenomenologis dan sistematis mereka sangat mirip, namun dalam pemahaman akan diri sendiri, pesan religius dan struktur community-nya mereka sangat berragam. Pendek kata: setiap agama merupakan sebuah individu dan perlu juga dihormati dan dihargai sebagai individu, dan demikian juga metode-metode penelitian harus mencerminkan pterhadap sifat individualitas ini. Tanpa syak wa-sangkah ada juge kemiripan-kemiripan di antara agama-agama, namun yang mirip belum sama, dan setiap penelitian hendak menghasilkan suatu gambar yang jelas mengenai apa yang dibahas, bukan sesuatu yang samar-samar.
Jadi baik “Ilmu” maupun “Teologi Agama-agama” mengakui dan membahas agama-agama dalam kepelbagaiannya. Saya kira bahwa Persethia di Jakarta insyaf pada kenyataan itu ketika ia menyebutkan Seminar tahunannya, apabila agama-agama menjadi obyek pembahasan, sebagai “Seminar Theologia Religionum” (bahasa Latin) dan “Seminar Agama-agama” yang pernah diselenggarakan oleh Litbang PGI dengan sadar menggunakan bentuk jamak karena ruang pemikiran dan kegiatan para peserta yang berlatar belakang agama-agama yang berbeda, namun yang hidup dalam satu masyarakat majemuk dan pancasilais yang hendak dibangun bersama menjadi focus pada setiap tahun.
Dengan caatan ini kami sebenarnya sudah menyinggung soal pokok yang disinggung dalam tajuk Makala ini. Namun msih ada satu soal lagi yang rasanya perlu dikemukakan karena sering juga kurang diperhatikan. Saya tadi menekankan bahwa kata “agama” dalam wacana baik ilmiah maupun kemasyaerakaan harus dipakai dalam bentuk jamak apabila ia hendak besentuhan dengan realitas yang berada dalam dunia keagamaan. Akan tetapi pengamatan ini berlaku juga berhubungan dengan istilah “theologia”, berbeda dengan ilmu. Kalau Ilmu Agama-agama adalah – terutama – cabang ilmiah yang deskriptif, maka Theologia ialah cabang ilmiah yang normatif. Tadi saya tekankan bahwa setiap agama perlu diperhatikan sebagai individu. Ini berlaku baik untuk peneliti dan agamanya, maupun untuk agama yang dibahasnya dan yang berbeda dengan apa yang dia peluk sendiri. Supaya jangan terlalu teoretis: Sebagai seorang peneliti Kristen, pendekatan saya kepada agama Islam tentu berbeda dengan pendekatan pada agama Buddha, dan tema utama yang dibahas dengan seorang Muslim pasti akan berkisar pada soal tauḥîd (siapa Allah, dan sikap wajar manusia terhadap Allah). Hasil yang saya peroleh dari percakapan dengan ekan Muslim – dan hal bersama berlaku buat dia juga – saya tidak dapat menggunakan apabila saya – atau beliau_ bicara dengan seorang penanut agama Budha. Konsep “ketuhanan’ dalam agama itu berlainan sekali. Sehinga menuntut pendekatan teologis yang berbeda juga.
Yang menonjol dalam agama Buddha ialah kosep metta / maitri,compassion, yang sering diserupakan dengan konsep “kasih” (ἀγάπη) dalam agama Kristen. Namun biasanya ada satu hal yang kurang diperhatikan dalam perbandingan itu: Apabila “kasih” menandai hubungan di antara dua individu, maka “individu” dalam pemahaman serupa, berdasarkan ajaran anatta / anatman dalam agama Buddha tidak ada. Apa dampaknya atas usaha perbandingan? Atau konsep mengenai “keadilan” (δικαιοσύνη, ṣ’daqah) yang dalam Alkitab punya makna relational juga? Mungkin seorang Muslim akan menemui konsep-konsep lain yang penting baginya dalam dialog Islam-Buddhisme.
Kesimpulan secara pendek: bukan saja kata “agama” harus dilihat dalam aspek keragaman, melainkan teologia juga, sebab dari dalam setiap agama, konsep teologi dikembangkan, dan masing-masing agama punya “kedalaman” sendiri; guru saya Gerhard Rosenranz menyebutkan “pusat” intern suatu agama “metazentrum” yang menjiwai setiap aspek dari pada fenomena-fenomena yang wujud di dalam sistem sesuatu agama dan yang menjadi sumber penghayatannya. Di sisi lain metazentrum itulah yang juga menyebabkan bahwa gejalah-gejalah (fenomena-fenomena) yang umum muncul dalam kehidupan beragama, seperti doa, qurban, dalam masing-masing agama mempunyai makna tersendiri yang jauh berbeda dengan gejala yang mirip dalam rumpun agama yang lain. Umpamanya menjadi perbedaan apakah doa tertuju kepada Dewa yang dipahami sebagai pribadi (di situ doa menjadi dialog), atau kepada Dhat Ilahiah yang tidak punya kepribadian dan oleh karena itu juga tidak menjawab. Khususnya pada TheologiAgama-agama, apabila ia hendak memahami dan melukiskan sikap seseorang beriman dalam menjalankan kegiatan religious, perhatian terhadap metazentrum dan ddampaknya atas gejala-gejala agamanya menjadi titik ukur berahap jauhkah ia sempat memahami apa yang ditelitinya, atau saja melukis gejala-gejala itu secara dangkal (superficial). Cabang Fenomenologi Agama, yang akhirnya bergabung dengan “Perbandingan Agama” kehilangan minatnya bagi para peneliti agama-agama karena banyak penemuan mereka tidak tembus pada kenyataan religius di bumi. Keluhan terhadap ilmu yang dangkal itu dan tidak serius sudah dikemukakan oleh kebanyakan ahli Fenomonologi Agama sejah akhir abad ke-19.
Sumbangan sebagai wahana Kerukunan dan Perdamaian hanya dapat diharapkan dari Theologi Agama-agama apabila ia serius dan objektif membahas materinya. Prinsip utama ialah, sama dengan Ilmu Agama-agama, bahwa setiap agama dihargai sebagai kepribadian yang punya martabat sendiri. Kepentingan-kepentingannya ia menyuarakan sendiri, melalui ahli-ahlinya yang berbobot tanpa “bantuan yang baik” dari pihak luar yang memandang diri “lebih faham” namun pada hakikatnya menilai yang lain dengan kaca mata yang ia fahami, yakni yang disediakan oleh agamanya sendiri. Apabila kekhilafan itu tidak disadari dan dibuka sebagai kekeliruan, maka setiap usaha untuk mendekatkan dua pihak yang berhadapan itu pasti akan gagal. Masing-masing mengutarakan pendiriannyasendiri, dan masing-masing harus menahan diri dalam usaha menilai pihak yang lain atau mengeritik apa yang dirasakannya sebagai kelemahan atau kekeliruan atau lebih rumit dari pada itu. Masing-masing boleh bertanya kepada yang lain, namun ia tidak boleh menjawab pertanyaannya sendiri dengan mengatasnamakan yang lain. Kaidah itu sebenarnya berlaku dalam setiap pertemuan. Namun sebenarnya ia berlaku, sebenarnya juga ia sering tidak diindahkan.
Sebenarnya inilah hal-hal yang tidak perlu diuraikan karena sudah logis dalam dirinya sendiri. Namun yang mempersulit peranan agama-agama sebagai pembawa damai dalam banyak masyarakat masa kini, ialah bahwa terlalu banyak unsur yang tampil sebagai pengurus agama, namun yang sebenarnya bukan beragama dalam arti bahwa “iman” religius dan pribadiyang menghayati mereka dalam hakikatnya tidak ada kaitan dengan agama kecuali menggunakan symbol-simbol yang diambil dari salah sau agama terentu secara lahir dan dangkal. Mereka hendak menentukan apa itu agama, namun keterikatan batin dan pemahaman tulen dengan isi dan hakikat agama tidak ada lagi. Agama dijadikan komoditi yang digunakan untuk membenarkan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan agama seperti penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan tetentu, dan seerusnya.
Apabila pemahaman dan pengamalaan agama sudah demikian dirusak sehingga ia dipakai, seperti sudah dikatakan,demi kepentingan dan nafsu pribadi, maka Theologi Agama kehilangan maknanya, dan apabila dasar buat Theologi, yakni agama sendiri, sudah merosot maka Theologi juga ikut menjadi omongan yang labuk. Jadi apa yang merupakan prasyarat supaya Theologi Agama-agama dapat memenuhi apa yang dikehendaki dari padanya ialah supaya agama (-agama) yang dihayati di tengah suatu masyarakat itu berada dalam keadaan sehat dan tulen, sesuai dengan pesan fundamentalnya. Inilah tugas para agamawan dan agamawati yang menghayati agamanya di tengah-tengah masyarakat, di mana pada masa kini kebanyakan masyarakat berada majemuk. Tak perlu digarisbawahi bahwa hanya dalam situasi seperti itu, yakni suatu kemajemukan kumpulan manusia yang berbeda, tema seperti tema kita ini punya makna dan relevansi. Namun artinya juga bahwa setiap umat beragama yang ada pemeluknya di dalam kemajemukan sosial, terpanggil untuk menjaga supaya badan organisasinya bersih dan dipimpin oleh pribadi-pribadi yang dipercayai ketulusannya dan wewenangnya bukan saja oleh para anggota umatnya, melainkan sedapat mungkin juga oleh umat yang lain. Saya insyaf bahwa apa yang saya sebutkan bukan kenyataan. Namun sebagai tugas suatu pergumulan yang berjalan terus tidak ada salahnya apabila ia diulangi meskipun sudah diketahui. Jadi baik situasi badan umat beragama maupun sosok-sosok yang mewakili umat di forum antar-agama adalah factor penentu apakah Agama-agama dan theologinya dapat menjadi wahana sebagaimana diharapkan.
Agama-agama yang dikenal adalah agama buat manusia, bukan agama buat Allah. Dan memang tidak semua agama mengenal Allah, entah dalam Kesatuan sebagai Pencipta Langit dan Bumi, atau dalam kepelbagian sebagai keragaman dewa-dewi dengan masing-masing fungsi di dalam jagat. Tipos agama-agama yang hidup sangat berbeda, dan itu sudah dialami dalam dialog-dialog antar umat beragama. Bagaimanakah bisa ditemui satu “bahasa keagamaan” yang dapat dipahami oleh semua pihak yang “monotheis” maupun yang “polytheis” maupun yang “henotheis” maupun yang “atheis”. Pluralitas ini yang sudah menyangkut “Yang Ilahi” sendiri, rasanya belum diamati dalam banyak dialog antar-agama, dan sekali-kali malah suka mengaburi pemahaman Pancasila mengenai “Ketuhanan Yang Maha Esa” di Indonesia, seolah-olah “Ketuhanan” sama dengan “Tuhan”, mengingat bahwa istilah itu menggantikan kata Arab “Allah” dengan pemahamannya yang jelas. Dalam istilah “Ketuhanan”, pemahaman 5 agama yang diakui di Indonesia, di antaranya malah satu agama yang tidak mengenal “Dewa Pencipta” atau dewa yang mutlak, yakni Agama Buddha. Dan ‘Ketuhanan” juga bukan suatu dewa pribadi. Tidak ada agama yang menyembah kepada “ketuhanan”, tidak ada seorang mu’min yang berdoa kepada “Ketuhanan”, tidak ada haikal atau mizbah yang dibina untuk “ketuhanan”. Pendek kata: “ketuhanan” adalah istilah yang digunakan dalam falsafat konstitusional sebuah Negara untuk menandai bahwa para warga Negara itu memahami diri berada dalam ruang transcendental, masing-masing bertanggung-jawab terhadap Kuasa di luar jagat yang pemahamannya berbeda dalam agama masing-masing, yang diakui oleh Negara dalam pelbagaiannya dan oleh karena itu tidak memprioritaskan salah satu diantaranya; oleh sebab itu, sebuah istilah yang netral harus dicari apabila bicara mengenai Negara, namun istilah itu tidak bermakna bagi agama-agama yang masing-masing tetap menggunakan istilah tradisional mereka sendiri untuk “Yang Mutlak”.
Dengan catatan ini saya hendak menggarisbawahi bahwa – mirip dengan “Dialog” antar-umat beragama – “Theologi” yang rujuk pada agama-agama tak mungkin mengembangkan sebuah “Theologi Universal Agama-agama” yang dapat diterapkan untuk semua (atau banyak) agama-agama seperti mendiang Prof. W. Cantwell Smith pernah mengusulkannya. Sebabnya sederhana: tidak ada “agama universal” di mana suatu pemahaman bersama mengenai Allah diakui, dan umat dari pada “agama universal” itu ialah sang Filsuf saja bersama dengan pengikutnya. Kesimpulan yang pendek yang saya hendak tarik dari catatan ini: Agama-agama boleh sepakat dengan Filsafat bahwa Allah – atau Yang Mutlak – mesti ada. Mereka mustahil memeluk pemahaman yang sama mengenai sifat-sifat Allah itu, atau bagaimanakah keberadaanNya Dia. Justru perbedaan ini dan kegiatan-kegiatan Allah yang berbeda yang disebabkan oleh sifat-sifat yang berbeda itu yang menyebabkan adanya keragaman agama.
Saya harap bahwa lapangan di mana sebuah “Theologi Agama-agama” bisa bergerak, sudah sedikit banyak diukur. Tinggal pertanyaan: di manakah ada lapangan yang bersama-sama bisa digarap, dengan dibangun dan didorong oleh agama-agama?
IV
Jawabnya yang umum: di bumi, dan jawabnya yang lebih presis: di tengah masyarakat di mana Allah (atau “Yng Mulak”) menempatkan kita. Yang sama sekali tidak perlu buat kita manusia ialah bahwa kita berusaha mengurus taman firdaus, akhirat atau Tempatmewujudkan Wahana Kerukunan dan Perdamaian ialah tempat di mana kita berada sekarang, bukan berada di masa depan; itu urusan Allah.
Dan di sini juga tanggung-jawab orang-orang yang beriman. Saya tidak menenal agama yang memuji perang dan pembinasaan manusia oleh manusia. Allah tidak menciptakan jagat untuk membiarkannya dihancurkan oleh ciptaanNya (manusia). Dan saya tidak dapat membayangkan bahwa Allah bersuka cita apabila manusia membantai manusia lain demi memuji Tuhan. Tindakan seperti itu rasanya menghina Allah, dan tidak seorang mu’min yang serius dalam iman terhadap Yang Maha Adil dapat membenarkan perbuatan seperti itu.[3] Sekaligus saya menyedari bahwa banyak dari kitab-kitab suci menandungi kisah-kisah di mana Allah sendiri mengajak umatNya untuk memerangi bangsa-bangsa yang lain, dan leluhur kita yang kemudian merampungkan nats kitab-kitab itu, memasukkannya sebagai tradisi suci. Dengan demikian, maka leluhur juga turut bertanggungjawab bahwa “sejarah agama” terjadi sebagaimana adanya,yang suka berkhothbah mengenai damai tapi yang berulang kali menyeru pada permusuhan.
Apabila saya menyebut leluhur sebagai penggaris pokok-pokok agama masing-masing, maka perlu kita insyaf bahwa semua mereka itu berhadapan dengan masyarakat majemuk. Tapi satupun tidak berusaha untuk “mengintegrasikan” umat agamanya ke dalam masyarakat yang mengelilinginya. Semua “pendiri agama” berusaha untuk memperkuat ketahanan umatnya supaya jangan “dalam ‘lautan manusia’” yang tidak jarang malah mengancam untuk menghapuskan yang lain. Dengan demikian, sikap “bela diri” tertanam dalam hati banyak agama, dan menentukan sikap para pemeluknya hingga kini. Bukan umat-umat kecil saja yang terkurung dalam mentalitas defensif itu. Umat-umat besar begitu juga dan kalau tidak was-was maka bisa membahayakan perkembagan seluruh masyarakat di mana mereka berada. Apabila sikap defensif tetap mengurungi mentalitas umat-umat beragama, teologi mereka tidak sanggup untuk menjadi Wahana Kerukunan dan Perdamaian.
Setiap agama mengandungi petunjuk bagaimana manusia yang beriman dapat hidup sejahtera dan tenang sesuai dengan kemauan Kitab Suci. Setiap agama meletakkan prioritasnya pada sisih-sisih khas, sesuai dengan metazentrum sistematikanya. Berbedan dengan pokok-pokok yang teologis dan menyangkut Allah dalam keberadaanNya, maka soal-soal sosiologis membahas data-data religius dengan memperhadapkan prinsipnya yang tetap dan ungkapannya yang relational dengan situasi tempatan. Apabila para teolog dalam agama masing-masing berani dan sempat membebaskan diri dari sekian banyak belenggu yang oleh pemahaman leluhur mengurung pemahaman kita untuk mengaktifkan kembali isi pokok “firman suci”, mempertemukannya dengan kebutuhan manusia kini dan menjadikannya kerangka kerukunan yang membimbing masyarakat kini dan melandaskan perdamaian.
Di Indonesia, Pancasila bisa menyediakan Forum untuk kegiatan seperti itu. Pancasila ialah rumusan konstitusi Negara, bukan konstitusi agama-agama atau salah satu agama, dan juga bukan konstitusi masyarkat. Dengan menyediakan fasilitasnya dan menjaga supaya hambatan-hambaan yang tadi saya sembutkan dihapus, maka Negara menyatakan minatnya agar masyarakat diperdaya untuk mengatur ketahanannya sendiri.***
*Makalah ini disampaikan Prof. Dr. Olaf Schumann (Guru Besar Emiritus Universitas Hamburg, Jerman) pada kegiatan Sekolah Perdamian II yang diselenggarakan oleh Pps UKAW -Kupang pada 17-19 Oktober 2018.
[1] O. Schumann, Pendekatan pada Ilmu Agama-agama. Jakarta: BPK GM, cet. ke-2 2015, hal. 237.
[2] Lihat buku saya Filsafat dan AgamaPendekatan pada Ilmu Agama-agama, jilid 2)
[3] Saya menyinggung soal itu di pelbagai tempat, lihat umpamanya buku saya Filsafat & Agama. Pendekatan pada Ilmu Agama-agama 2, Jakarta: BPK GM, cet. ke-1 2016, halaman xxvi dyb., 214.