TANAH DAN LAUT DALAM KARYA KRISTUS MEMBERI MAKAN SEMUA (MARKUS 6:30-44) – PDT. FRANSISKUS S. NAHAK

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah gereja Tuhan yang ditempatkan pada lokus regional Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), kecuali Pulau Sumba. Bentuk geografis NTT memberi dua petunjuk, yaitu: pertama, penduduk NTT 80% hidup sebagai petani. Kedua, wilayah pelayanan GMIT membentuk daerah kepulauan. Luas lautan mencapai 200.000 km2 sedangkan luas daratan 4,7 juta ha. Tak terbantahkan bahwa wilayah pelayanan GMIT daerah maritim. Di minggu kedua Bulan Lingkungan kita berefleksi tentang tanah dan laut yang memberi makan bagi semua orang.

Menurut Mery Kolimon, orang Meto memakai dua kata untuk menyebut tanah, yaitu afu dan nain/naijan. Kata afu (tanahberhubungan dengan kata afa, lemak, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Sedangkan konsep kedua, nain memiliki akar kata yang dekat dengan kata nai (leluhur) atau(periuk) dan nain (kerabat). Dalam pandangan orang Timor, tanah, leluhur, periuk dan kerabat saling berhubungan satu dengan yang lain. Tanah adalah warisan nenek moyang, milik leluhur yang diberikan kepada keturunan mereka dari generasi ke generasi.

Mengacu pada pengertian kedua sebagai nai, periuk, bagi komunitas, maka tanah adalah tempat kita menimba makanan untuk dibagi kepada seluruh anggota. Tanah adalah periuk kehidupan, tempat kita mengelola hidup. Di atas tanah manusia bergumul untuk hidup. Serempak dengan itu, tanah adalah kerabat manusia (nain). Konsep ini mau menegaskan bahwa manusia adalah bagian dari alam. Manusia bukanlah tuan atas alam, tetapi adalah saudaranya. Hubungan antara manusia dengan tanah, bagi orang Timor bukanlah relasi hirarkis-dominatif, tetapi mutual-equalis.

Sejak zaman dahulu hingga sekarang, sebagian besar masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Indonesia menghormati laut sebagai yang agung dan sakral karena laut memberikan kehidupan bagi mereka. Sebagai pemberi kehidupan, kerap kali masyarakat pesisir mengistilahkan laut dengan perempuan, karena perempuan adalah sumber kehidupan. Suku Tetun menyebut tasi feto(laut perempuan) dan tasi mane (laut laki-laki).

Elia Magang mengatakan laut memberikan dua jenis kebutuhan mendasar manusia, yaitu makanan (aspek ekologis) dan kerabat (aspek sosial). Untuk aspek ekologis, menggambarkan peran fundamental laut. Laut adalah penyanggah utama kehidupan planet biru ini karena perannya yang menghasilkan oksigen, menjaga keseimbangan iklim, memberikan air melalui hujan kepada makhluk hidup di tanah, dan menyediakan makanan serta mata pencaharian. Sedangkan mengenai aspek sosial, laut adalah penghubung yang membentuk karakter dan cara hidup tertentu atau budaya maritim dari komunitas-komunitas pesisir. Budaya maritim itu lahir dari perjumpaan orang-orang pesisir dengan keberadaan dan kontribusi laut bagi kehidupan mereka. Itu terlihat dalam relasi sosial masyarakat pesisir, termasuk di dalamnya adalah cara mereka, sebagai komunitas, memanfaatkan sumber daya laut. 

Kisah Yesus Memberi Makan Lima Ribu orang ditulis oleh keempat Injil. Hal ini mau menunjukkan bahwa Allah sangat menaruh belas kasih kepada manusia. Ia memperhatikan kebutuhan hidup manusia dan tidak membiarkan setiap orang mati karena kelaparan.

Ayat 31 Yesus menyingkir ke tempat yang sunyi. Alasannya adalah: pertama, Yohanes Pembaptis baru saja dibunuh oleh Herodes sehingga harus menghindar dari berbagai pertanyaan. Kedua, murid-murid baru kembali dari pelayanan sehingga mereka butuh istirahat. Maka berangkatlah mereka dengan perahu menyeberangi danau Galilea dan tiba di Betsaida (house of fishes. Dalam bahasa Aramik tsaida artinya menangkap ikan dengan jala) tetapi orang banyak mengikuti mereka melalui jalan darat.

Peristiwa itu terjadi menjelang Paskah. Mendekati malam (orang Yahudi membedakan adanya dua sore, yang pertama dimulai sekitar jam tiga, dan kedua pada saat matahari terbenam. Sore dalam kisah ini adalah jam tiga) datanglah kedua belas murid Yesus dan berkata kepada-Nya, “tempat ini sunyi dan hari sudah malam, suruhlah orang banyak pergi ke desa-desa (suatu daerah pertanian di luar perkotaan) dan suatu perkampungan di sekitarnya untuk mencari tempat penginapan dan makanan. Tetapi Yesus berkata, “Kamu harus memberi mereka makan.”  Yesus bertanya kepada Filipus, “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka dapat makan?” Hal itu dikatakan untuk mencobai dia, sebab Ia tahu apa yang hendak dilakukan-Nya. Filipus berkata, “Roti seharga dua ratus dinar (satu dinar Romawi bernilai delapan belas sen pada waktu itu dan merupakan upah kerja seorang buruh untuk satu hari) tidak akan cukup walaupun sepotong kecil saja. Filipus dengan cepat menghitung-hitungan untung dan rugi memberi makan kepada orang banyak. Namun Yesus selalu berdasarkan belas kasih-Nya.

Dalam Injil Matius, Markus dan Lukas, Yesus hanya menyuruh murid-murid-Nya memberi makan, bukan membeli makanan. Yesus ingin murid-murid memberi bukan membeli.

Kemudian Andreas, saudara Simon Petrus berkata, “Di sini ada seorang anak yang mempunyai lima roti jelai”. Roti jelai adalah kue bundar seperti biskuit. Ini adalah makanan rakyat jelata. Roti tersebut tidak lebih besar dari pada sebuah roti kismis. Jelai sering kali juga dijadikan makanan binatang. Roti jelai tidak boleh dipersembahkan dalam kurban makanan di Bait Allah.

Begitu sederhananya pesta saat itu. Selain roti yang dibawanya ada juga dua potong ikan. Ini bukan ikan besar, tetapi ikan kecil yang dikeringkan, biasanya untuk acar, semacam sarden di zaman sekarang ini. Melihat hal ini mereka meremehkannya, apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini? Bagi orang banyak memang tidak ada artinya, tetapi bagi Yesus sangat berarti. Sebenarnya bagi murid-murid-Nya juga tidak berarti ikan sekecil itu. Biasanya mereka menangkap ikan-ikan besar (ikhtuoon megaloon) tetapi sekarang mereka hanya melihat dua ikan kecil (opsarion). Ikan seperti itu biasanya dibuang kembali, tetapi bagi Yesus penting sekali, sebab bisa mendatangkan mukjizat. Kemudian anak ini dengan sukarela menyerahkan roti dan ikan miliknya kepada Yesus. Kata Yesus, ‘‘Suruhlah orang-orang ini duduk berkelompok-kelompok (seperti suatu petak kebun), ada yang seratus ada yang lima puluh. Mereka duduk di rumput yang hijau, sebab di sana banyak rumput, dan mereka duduk setengah berbaring. Sekarang mereka duduk tenang menunggu apa yang hendak Yesus lakukan. Yesus berlaku sebagai kepala rumah tangga, lalu Yesus mengambil lima ketul roti dan ikan itu dan menengadah ke langit, mengucapkan berkat (Injil Yohanes menulisnya mengucap syukur) lalu memecah-mecahkan dan memberikan kepada para murid membagikan kepada orang banyak demikian juga ikan. Semua makan sampai kenyang. Kata kerja “mengambil, mengadah, mengucap berkata dan memecahkannya” dalam bahasa Yunaninya ditulis dalam bentuk waktu aoris yang artinya tindakan langsung. Tetapi kata kerja “memberikan” memakai bentuk imperfek yang menunjukkan bahwa Yesus terus menerus memberi kepada murid-murid-Nya untuk membagikan.

Kemudian orang mengumpulkan sisa potongan roti dua belas bakul. Mereka yang ikut makan ada lima ribu orang laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.

POKOK-POKOK RENUNGAN

Pertama, hasil tanah dan hasil laut kita bisa memberi maka kepada kita dan generasi kita ke depan. Tanah kita subur dan laut kita kaya. Asal kita mengelolanya dengan ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Tanah subur, laut yang kaya tidak hanya di pulau Jawa, Kalimantan, Irian Jaya atau di Malaysia, namun juga di NTT. Mengelola dengan rasa syukur berarti mengucap syukur dengan apa yang ada bukan apa yang tidak ada. Artinya makan apa yang ada bukan makan apa yang tidak ada. Kelola hasil alam yang ada di daerah ini. Dari bacaan ini kita belajar bahwa Yesus memberi makan dari kekurangan, roti dan ikan makanan rakyat jelata, namun mencukupi bahkan lebih.

Menarik apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, bumi memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan setiap orang. Artinya jika kita mengelola tanah dan laut dengan ucapan syukur berarti mengambil sesuai dengan kebutuhan hidup bukan kerakusan. Maka alam cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup ini dan kebutuhan kehidupan generasi kita ke depan.

Kedua, dari tanah kita dan laut kita, kita memberi makan bukan membeli makan. Artinya, kita menjadi tuan dan puan di tanah sendiri, laut sendiri, untuk menjadi berkat. Bukan kita menjadi pembeli di tanah dan laut kita sendiri. Namun miris, kini kita menjadi hamba di daerah sendiri. Kita tidak lagi memiliki tanah-tanah di pinggir jalan dan pinggiran-pinggiran pantai yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Pertanyaan refleksi kita adalah: apa yang kita lakukan kepada alam agar kita menjadi tuan dan puan di daerah sendiri?

Hal yang berikut ialah kata Yesus, kamu ‘harus’ memberi mereka makan. Anda dan saya (sebagai gereja) wajib memberi mereka makan, jangan membiarkan orang pulang dengan perut lapar. Murid-murid (Filipus) menghitung untung dan rugi. Seperti kita memberi makan atau membantu sesama yang susah kita rapat untuk menghitung-hitung untung dan rugi. Bagi Yesus, memberi mereka makan bukan persoalan untung dan rugi tetapi belas kasih (bela rasa) kepada sesama yang membutuhkan.

Dari Firman ini kita belajar tentang memberi makan dari kekurangan bukan kelebihan, karena mukjizat terjadi dari kekurangan. Bukankah 5 ketul roti dan 2 ekor ikan tidak cukup bagi mereka sendiri? Tidak cukup. Murid-murid 12 orang tambah Yesus 13 dan ditambah anak itu menjadi 14 orang. Melayani dari kekurangan adalah tindakan iman. Anda dan saya adalah orang beriman. Bertindaklah dengan iman.

Ketiga, setelah Yesus menyembuhkan orang sakit dan memberitakan kabar baik, Ia tidak membiarkan orang pulang dengan perut lapar, namun  memberi makan dari 5 ketul roti (produk pertanian) dan 2 ekor ikan (hasil laut). Yesus tidak hanya memperhatikan kebutuhan rohani namun juga kebutuhan jasmani. Maka dengan demikian, kita belajar bahwa gereja tidak hanya memperhatikan kebutuhan rohani umatnya, namun kebutuhan jasmani juga. Melayani dengan mengelola hasil alam yang ada di kebun kita dan laut kita.

Keempat, di bulan lingkungan ini kita mengucap syukur, seperti tindakan Yesus mengangkat roti dan ikan untuk mengucap syukur kepada Allah Bapa. Di bulan lingkungan ini, kita berdoa bagi tanah kita untuk terus memberikan kesuburan (afa) bagi kita. Darinya kita menimba makanan dari Tuhan untuk dibagi kepada seluruh anggota keluarga kita dan sesama kita (nai). Ketika para petani menanam, tanah terus menumbuhkan tumbuh-tumbuhan hijau dan memberi hasilnya bagi kita. Kita berdoa buat laut kita, untuk terus menyediakan kebutuhan mendasar kita. Dari laut Tuhan memelihara kehidupan para nelayan dan juga alam semesta ini. Amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *