Pendahuluan
www.sinodegmit.or.id,Setiap bangsa punya masa kelam, masa suram, masa gelapnya. Masa gelap itu adalah situasi di mana kehidupan berbangsa ditandai dengan penderitaan/kesengsaraan, yang entah sebagai akibat adanya penindasan, eksploitasi, otoritarianisme, konflik, kerusuhan, ataupun bencana. Dalam masa-masa kelam itu, kehidupan seakan bergerak mundur, karena masa lalu terlihat jauh lebih baik. Pada masa kegelapan itu, kehidupan seolah tak berpengharapan, karena keputusasaan dan ketakutan menguasai. Di masa suram itu, para warga hanya berdoa dan berharap ada pertolongan dari pihak luar untuk membawa mereka keluar dari krisis.
Bangsa Indonesia punya masa kelam yang sangat berat. Diantara berbagai peristiwa, peristiwa ‘65 menandai awal masa kelam bangsa Indonesia. Asumsi bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) bangkit dan ingin menguasai Republik membuat Presiden Soekarno dilengserkan secara tidak terhormat, tujuh Jenderal TNI-AD dibunuh, dan ratusan ribu warga ditangkap, dipenjara, dibantai, dibunuh tanpa proses pengadilan yang terbuka. Naiknya Soeharto menjadi Prsesiden bukan mengakhiri pertumpahan darah di tanah air. Ia malah memerintah dengan tangan besi. 32 tahun lamanya berlangsung otoritarianisme. Akibatnya para warga hidup dalam ketakutan akibat intimidasi, ancaman, kekerasan, bahkan penghilangan orang secara paksa. Masa suram itu akhirnya didobrak tahun 1998 dengan lahirnya Reformasi. Tetapi untuk perjuangan itu, terjadi pertumpahan darah. Banyak mahasiswa dan aktifis hilang. Tak sedikit yang tewas. Terjadi kerusuhan dan penjarahan di berbagai kota. Banyak perempuan etnis Tionghoa diperkosa. Dalam masa-masa kelam itu, para warga hanya meratap. Ratapan mereka terungkap dalam berbagai bentuk, misalnya karya tulis serius (ilmiah), puisi, nyanyian/lagu, lukisan, karikuatur, film, dan lain sebagainya.
Pengalaman hidup dalam masa kelam dialami juga oleh bangsa Israel. Kitab Ratapan lahir dari pengalaman suram itu. Puisi-puisi yang ditulis dalam kitab Ratapan menggambarkan situasi buruk yang diderita, sekaligus harapan pemulihan dari Yang Maha Kuasa.
Penjelasan Teks
Bangsa Israel selalu hidup dalam bayang-bayang kekuatan bangsa-bangsa sekitar. Bangsa ini pernah berjaya hanya di Era raja Daud dan raja Salomo (tahun 1000-930 SM/Sebelum Masehi). Setelah itu kerajaan Israel raya terpecah menjadi utara (dengan 10 suku) dan selatan (dengan 2 suku), dan selanjutnya ia selalu menjadi rebutan bangsa yang lebih kuat untuk dikuasasi. Israel utara lebih dulu ditakhlukan oleh Asyur tahun 700-an SM, dan di tahun 600-an SM, Mesir dan Babel tampil sebagai kekuatan-kekuatan besar yang memperebutkan Israel Selatan. Saat kematian Yosia, ancaman lebih besar datang dari Mesir. Para tokoh terkemuka Yehuda mengangkat Yoahas dengan maksud ia tidak akan mengganggu mereka dan Mesir pun tidak akan mengganggunya. Tiga bulan kemudian, Firaun Nekho memerintahkan Yoahas dibawa ke Mesir. Mesir menuntut Yehuda seratus talenta perak dan satu talenta emas serta memasang anak laki-laki tertua Yosia, Elyakim, yang dinamakan ulang Yoyakim, untuk mengumpulkannya dari para tokoh terkemuka. Namun hegemoni Mesir tidak bertahan lama. Sebab Nebukadnezar berhasil menancapkan kekuasaan Babel atas wilayah jajahan Mesir di Selatan.
Tahun 600 SM, Nebukadnezar memaksa Yoyakim membayar upeti ke Babel, namun raja Yehuda itu menahannya. Akibatnya Nebukadnezar menyerbu Yerusalem. Kota itu jatuh tahun 598 SM. Tak lama sebelum kota itu jatuh, Yoyakim mati dan digantikan anaknya, Yoyakhin, yang terpaksa menyerahkan kotanya dan berkuasa hanya tiga bulan. Nebukadnezar merampas istana dan bait suci tetapi membiarkan kedua tempat itu dalam keadaan utuh serta menempatkan Zedekia, anak laki-laki Yosia yang lain, ke takhta. Yoyakhin dan tiga ribu orang terpandang, para imam, pegawai istana dan para artis dibawa ke Babel untuk meneruskan kerajaan Yehuda di pembuangan. Para penduduk tentu saja tetap tinggal di desa-desa di Yehuda yang diperintah Zedekia (hanya secara simbolis).
Zadekia membayar upeti kepada Babel hingga Mesir kembali berkampanye di Yehuda pada tahun 591 SM. Zedekia mengadakan pertemuan anti-Babel di Yerusalem yang dihadiri delegasi-delegasi dari Edom, Moab, Tirus, Sidon dan Amon. Tetapi hanya Amon yang mendukung Zedekia untuk memberontak kepada Babel. Tindakan Zedekia itulah yang mendorong Nebukadnezar melakukan pengepungan kedua kalinya atas Yerusalem hingga kota itu jatuh lagi pada tahun 587 SM. Kali ini Nebukadnezar membunuh semua anak laki-laki Zedekia dan mengasingkannya ke Babel. Ia diangkut bersama ribuan orang dari kelas penguasa lainnya ke pembuangan. Para tentara Babel menjarah apa yang tertinggal di istana dan bait suci, serta menghancurkan bangunan-bangunan itu. Peristiwa itu menandai berakhirnya kekuasaan bait suci keturunan Daud. Jatuhnya Yerusalem dan runtuhnya bait suci diterima dan diakui oleh bangsa Yehuda sebagai hukuman Allah karena dosa mereka.
Dalam konteks Israel Selatan yang suram seperti itu, kitab Ratapan ditulis. Ada lima puisi berisi ratapan atas jatuhnya kota Yerusalem. Pasal 5 berisi ratapan mengenai keadaan orang-orang yang masih tinggal di Yerusalem sesudah jatuhnya kota tersebut. Sang penulis meratap, berdoa, dan berseru agar Tuhan menolong mereka karena situasi buruk yang dialami. Ratapan itu diawali dengan ungkapan situasi mereka, bahwa mereka sangat terhina akibat serbuan Babel, dan kekayaan bahkan rumah-rumah mereka dijarah habis oleh orang asing. Mereka menjadi yatim yang tak punya bapak, dan ibu mereka menjadi janda karena para bapak telah tiada. Kebutuhan-kebutuhan hidup mereka sulit diperoleh. Mereka sangat tertekan dan merasa lelah. Mereka mengadu kepada Mesir dan Asyur namun tidak tertolong (ay.1-6).
Ratapan itu dilanjutkan dengan ungkapan pengakuan dosa bahwa apa yang dialami adalah akibat kesalahan para orang tua dan juga mereka sendiri (ay.7, 16). Sebab betapa dasyatnya penderitaan mereka akibat serangan Babel dan pembuangan orang-orang Yehuda. Mereka harus menderita untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan mereka yang digambarkan dengan selalu ada ancaman dan kelaparan (ay.9-10). Bahkan martabat mereka sebagai manusia dilecehkan, di mana para wanita dan gadis-gadis diperkosa, para pemimpin digantung, para tua-tua tidak dihormati. Anak-anak muda dipaksa kerja berat. Mereka kehilangan kebebasan dan sukacita. Mereka sakit hati melihat seluruh penderitaan yang menimpah.
Ratapan itu diakhiri dengan sebuah kesadaran bahwa betapapun mereka kehilangan segalanya, namun ada Allah maha kuasa yang takhta-Nya kekal. Dan karena itu, sang peratap mengungkapkan permohonan dan harapannya agar Allah menolong mereka, memulihkan keadaan, membaharui dan mengubah situasi mereka (ay. 21). Ia menaruh keyakinan bahwa Allah dapat memulihkan penderitaan dan kesengsaraan mereka sebab Ia adalah Allah yang kekal, yang empunya kuasa atas mereka.
Aplikasi
Dunia saat ini menderita secara serius. Mengutip Cyntia D. Moe-Lobeda, Prof. Joas Adiprasetya dalam konsultasi pra-sidang raya XI Dewan gereja-gereja sedunia (WCC: World Council of Churches) mengintrodusir empat pandemi yang sedang berlangsung saat ini; Climate change (perubahan iklim), Covid-19, economic violence (kekerasan ekonomi), dan racism (rasisme). Di Indonesia, Covid-19 dan persoalan ekonomi menjadi masalah besar yang menyengsarakan bangsa ini. Terutama akibat Covid-19, tiada hari tanpa jiwa yang terenggut. Kematian menjadi keseharian kita dewasa ini akibat wabah Corona. Ini adalah masa paling kelam bagi bangsa kita saat ini. Rumah-rumah sakit menjadi penuh. Para medis kewalahan. Tim satgas Covid-19 kebingungan. Pemerintah kesulitan mencari solusi. Banyak anggaran dihabiskan untuk penanganan wabah Corona. Namun korban berjatuhan setiap hari. Orang makin kesulitan mencari kebutuhan hidup. Kita mengalami resesi ekonomi. Ini kenyataan kita sebagai bangsa. Di sisi lain, Siklon Seroja masih menyisahkan banyak kesusahan bagi kita di NTT.
Pertanyaannya, apa yang dapat kita lakukan? Apakah kita meratapi situasi ini? Apakah kita membantu pencegahan penularan Covid? Apakah kita berupaya dan bergandengan tangan untuk bangkit dari keterpurukan akibat Siklon Seroja? Belajar dari kitab Ratapan. Mari kita membuka mata terhadap realitas: bahwa kematian membayangi kita setiap saat melalui pandemi, dan bahwa kesengsaraan hidup akibat persoalan ekonomi sudah menjadi pergumulan kita. Kesadaran akan bahaya kematian dan penderitaan ini harus dibangun. Filsuf Hans Jonas berpendapat, perlu dibangun imajinasi bahwa ada malapetaka besar yang menimpa kita, sehingga kita mau melakukan segala upaya untuk mengatasinya. Ini penting. Karena kalau tidak, kita akan acuh tak acuh, walaupun pandemi ini telah membunuh jutaan manusia.
Oleh karena itu pula, perlu kerendahan hati untuk menyadari kelemahan kita yang berupa sikap acuh tak acuh terhadap bahaya penyakit Corona, ketidaktaatan pada prokes, resistensi untuk divaksinasi, dan berbagai sikap yang turut membuka ruang penyebaran Covid-19. Kesadaran ini lalu ditindaklanjuti dengan tekad untuk ikut memutus rantai penyebaran Covid, dengan disiplin mentaati prokes, mau divaksin, patuh pada kebijakan pemerintah yang mau mencegah Covid, dan lain sebagainya. Di samping semua usaha manusiawi kita, sebagaimana dicanangkan Majelis Sinode GMIT, mari kita berdoa dan berpuasa, memohon pemulihan dari Allah atas bangsa kita. Sebab sebagaimana diyakini Ratapan, Tuhanlah sumber pemulihan bangsa.
Selain sebagai bangsa, pemulihan juga dibutuhkan setiap pribadi, setiap keluarga. Pergumulan-pergumulan kita dengan segala penderitaan, kekurangan, rasa sakit, hati yang yang terluka, relasi yang retak, kesengsaraan kita, dapat diipulihkan Allah asalkan kita berserah dan berharap kepada-Nya. Kita tidak hanya butuh pemulihan lahiriah, tetapi juga batiniah, karena pergumulan kita bukan hanya soal makan dan minum dan kebutuhan hidup, tetapi juga bisa terkait persoalan-persoalan pribadi dan keluarga yang menyesakkan batin. Oleh karena itu, ratapilah pergumulan kita, dan bawalah ratapan itu kepada Allah sumber pemulihan kita supaya ia memulihkan kita. Tuhan memberkati kita. Amin.