
AEI bersama Frank Sethi, dan Gurdwara Sri Guru Singh Sabha
Thailand, www.sinodegmit.or.id, Program Asian Ecumenical Institute(AEI) diselenggarakan oleh Christian Conference of Asia (CCA) atau Dewan Gereja Asia sejak 19 September-14 Oktober 2022 di Chiang Mai, Thailand. Kegiatan ini menghadirkan pemimpin-pemimpin muda Asia yang pro aktif bekerja dalam gerakan oikumenis di komunitasnya untuk membawa perubahan sosial. Para peserta ini berasal dari Filipina, Indonesia, Myanmar, Thailand, India, Bangladesh, Sri Lanka, Malaysia, Pakistan, Laos, dan Kamboja. Walaupun datang dari latar belakang tradisi gereja, bahasa, budaya, dan pendidikan yang berbeda, namun program ini menjadi ruang perjumpaan bagi para peserta untuk saling menghargai, berdiskusi dan berbagi pengalaman, serta membangun gerak bersama memaknai peran anak muda dalam konteks Asia saat ini.
Di bawah tema, “God of Hope, Sustain Young Creation,” (Allah Pengharapan, Pelihara Ciptaan-Mu), topik-topik seperti krisis lingkungan, kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta intolerasi agama diangkat sebagai bahan diskusi. Beberapa di antaranya: Empowering women and leadership in the church(pemberdayaan perempuan dan kepemimpinan dalam gereja); Religious Intolerance and Inter-religious Freedom(Intoleransi agama dan kebebasan beragama); Living in Harmony among Faith Communities(Hidup Harmonis di antara Komunitas Lintas Iman); Towards Wider Ecumenism(Menuju gerakan ekumenis yang lebih luas); Doing Theology Today: Asian Feminist Perspective(Perspektif Feminis Asia dalam konteks Berteologi hari ini); Common Action for Creation Care and Eco Ministries(Aksi bersama peduli ciptaan dan pelayanan yang ramah lingkungan); Elements for a Christian Ecology Reformation(Dasar-dasar Reformasi Ekologi Kristen).Narasumber-narasumber yang diundang sebagai pembicara (dosen, pendeta, dan aktivis HAM) adalah mereka yang pakar di bidangnya antara lain: Rev. Dr. Mothy Varkey (India), Klein F. Emperado (Filipina), Rev. Grace Moon (Korea Selatan), Dr. Ronald Lalthanmawai (India), Dr. Wesley Ariarajah (Sri Lanka), Dr. Ira D. Mangililo (Indonesia), Darlene Marquez (Filipina), Rev. Dr. Jayasiri Peiris (Sri Lanka), Bram Press (Thailand), Rev. Dr. Chammah J. Kaunda (Zambia), dan Rev. Dr. Dietrich Werner (Jerman).
Asia sebagai Komunitas Keluarga Allah yang Terluka
Ruang berteologi di Asia tidak hanya terbatas pada tafsiran atas teks-teks Alkitab, melainkan juga melalui kekayaan spiritualitas Asia yang terekam dalam liturgi, lirik lagu, dan musik sebagai bacaan serta refleksi atas konteks Asia. Sebagaimana diungkapkan oleh Klein Emperado, “Musik dan ritual ibarat sumber mata air di mana kita bisa mendapatkan air yang menyegarkan dan memulihkan di tengah-tengah penderitaan yang kita hadapi saat ini. Penting sekali untuk melihat kembali pada budaya dan ritual kita dan bagaimana ini dapat digunakan dalam tradisi Kristen. Musik dan ritual tidak hanya digunakan pada ibadah seremonial, tapi juga dalam konteks kerja-kerja pembebasan melawan pengaruh kolonialisme dalam gereja dan juga masalah sosial yang kita alami saat ini.”
Salah satu contoh adalah Hymne In the Lands of Asia, People are Opressed (Di Asia, orang-orang tertindas) yang dipublikasikan pada 1990. Hymne ini ditulis oleh Salvador T. Martinez, seorang teolog dan musisi Filipina kelahiran 1939.
Bait 1
In the lands of Asia, people are oppressed;
Many cry for justice, begging for some solace.
[Di Asia, orang-orang tertindas,
Berjuang menuntut keadilan,
Memohon perlindungan dalam bahaya]
Bait 2
In the lands of Asia, tears fall on dry faces;
Children, men and women, hungry, dying, hopeless.
[Di Asia, tangisan pilu basahi wajah yang kering
Anak-anak, laki-laki, perempuan,
Kelaparan, sekarat, putus asa]
Bait 3
In the lands of Asia, fear and terror reign;
People long for true peace in the light of your face.
[Di Asia, ketakutan dan terror berkuasa
Orang-orang merindukan kedamaian dalam sinar wajahMu]
Refrain
Oh God, let your mission fill your children’s vision
To heal the suffering, and help the struggling
[Oh Tuhan, biarlah misiMu
Menjadi visi anak-anakMu
Untuk menyembuhkan yang terluka,
Dan menolong mereka yang sedang berjuang]
Hymne ini menggambarkan Asia dengan wajah penderitaan. Konteks Asia sendiri tidak terlepas dari perang, kekerasan sistemik, konflik, genosida, kelaparan, wabah, sakit penyakit, dan kematian. Dalam stanza pertama sampai ketiga, Martinez memaparkan dengan jelas baik laki-laki, perempuan, anak-anak maupun orang dewasa mengalami penindasan dan ketidakadilan. Namun, di tengah-tengah penderitaan ini, Martinez melihat harapan akan keadilan dan kedamaian di Asia. Dalam refleksi teologisnya atas teks Keluaran 6:6-7 dan Mazmur 80:4-7, Martinez yakin sebagaimana Allah membebaskan bangsa Israel dari penderitaan akibat perbudakan di Mesir, demikian juga Allah akan membebaskan Asia dari segala bentuk penderitaan dan ketidakadilan. Pengharapan akan pembebasan di Asia, tidak terlepas dari keterlibatan setiap orang dalam misi Allah untuk menyembuhkan yang terluka dan berjuang bersama untuk keadilan.
Lebih dari tiga puluh tahun sejak lagu ini dipublikasikan, Asia masih tetap bergumul dalam berbagai macam penderitaan, namun tetap tidak kehilangan harapan. Upaya menghadirkan misi Allah dalam konteks Asia selalu berhadapan dengan tantangan-tantangan baru. Saat ini, Asia masih bergumul dengan pandemi Covid-19, kemiskinan, situasi politik-ekonomi yang tidak stabil, kekerasan terhadap perempuan dan anak, perpecahan, perang, migrasi, fundamentalis agama, penghancuran kepercayaan lokal, dan krisis iklim. Pdt. Dr. Jayasiri mengatakan tantangan dalam mengerjakan misi Allah hari ini adalah bagaimana kita melindungi, memelihara, dan memastikan keberlanjutan ciptaan Allah dalam dunia sebagai rumah tangga Allah. Misi Allah di sini tidak hanya mencakup manusia, tapi juga alam semesta.
Keterlibatan Anak Muda Asia dalam Misi Allah
Setiap orang terpanggil untuk terlibat dalam mengerjakan misi Allah menghadirkan keadilan dan kedamaian di tengah-tengah dunia ini (bnd. Luk. 4:18-19). Keterlibatan anak muda dalam misi Allah di Asia tentu membawa harapan baru bagi masa depan Asia. Spirit kaum muda Asia dalam ruang perjumpaan Asian Ecumenical Institute, memperkuat jejaring dalam gerakan ekumenis global. Ruang diskusi dan berbagi pengalaman dari masing-masing konteks membangkitkan kesadaran bagaimana berpartisipasi dalam mengerjakan misi Allah di konteks Asia saat ini. Asia tidak hanya berhadapan dengan masalah-masalah yang terjadi saat ini, tapi juga mewarisi luka dan trauma masa lalu. Penghancuran budaya yang masif dilakukan pada masa kolonial berdampak pada kehancuran hutan-hutan dan kearifan lokal masyarakat adat. Lapisan penghancuran ini menjadi semakin tebal akibat penebangan hutan secara liar, penghancuran hutan demi kepentingan pembangunan, pertambangan, dan kapitalis global yang berdampak pada krisis iklim dan pangan yang masif, dan kondisi alam yangsemakin rentan.
Bergumul dengan situasi ini, Asai Soror, peserta dari Manipur, India mengingatkan tentang pentingnya melihat kembali kekayaan spiritual Asia yang terekam dalam cerita-cerita kearifan lokal masyarakat adat yang saat ini hampir punah. Ia berbagi tentang pengalaman masa kecil di kampung halamannya bagaimana orang-orang lokal membaca tanda alam melalui suara kicauan burung Coocko.Kicauanburung ini di lembah-lembah dan pegunungan Manipur adalah tanda musim menanam akan tiba, bunga-bunga mulai bermekaran di padang, pohon-pohon mulai rindang, dan rumput hijau mulai bertumbuh. Orang-orang lokal mulai menyiapkan benih, membersihkan lahan untuk musim tanam. Mereka menyebut proses ini sebagai tanda kehidupan. Pengalaman yang lain juga ia bagikan tentang bagaimana masyarakat adat berelasi dengan sesama makhluk hidup yang lain. Ketika ia dan neneknya di hutan saat memetik buah raspberry, neneknya mengingatkan dia “jangan ambil semuanya. Tinggalkan yang lain untuk mereka [burung-burung].”
Cerita Asai menyadarkan kita bahwa bukan hanya suara-suara kicauan burung Coocko yang hampir hilang lenyap seperti halnya dengan kearifan lokal. Tapi juga suara-suara perempuan Asia yang disenyapkan dalam konteks masyarakat patriaki. Pdt. Dr. Ira Mangililo menjelaskan bahwa perempuan-perempuan Asia datang dari latar belakang kondisi sosial ekonomi, agama, budaya, bahasa, dan pengalaman yang berbeda. Walaupun demikian, pada situasi dan konteks di mana perempuan itu berada, ia selalu mengalami penindasan dan ketidakadilan. Sejalan dengan Pdt. Ira, Pdt. Grace Moon dari Korea Selatan juga menyebutkan tentang berbagai normalisasi stereotip yang disematkan pada perempuan.
Perempuan seringkali dilihat sebagai kaum yang lemah, emosional, istri yang tunduk pada suami, banyak bicara, tidak harus disekolahkan, tidak boleh punya penghasilan lebih dari suami, dan mengerjakan pekerjaan domestik. Ketika perempuan tidak mampu memenuhi tuntutan ini, maka perempuan akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan di ruang publik baik secara fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Pelaku kekerasan bisa siapa saja (laki-laki dan perempuan) mulai dari orang-orang terdekat/anggota keluarga, orang asing, bahkan negara. Pdt. Ira juga mengangkat salah satu contoh kekerasan negara terhadap perempuan yaitu menggunakan tubuh perempuan sebagai alat politik. Dalam peristiwa pembantaian masal tahun 1965 Gerwani dituduh menyiksa 7 jendral di lubang buaya. Tuduhan ini kemudian mengakibatkan penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan para perempuan yang berafiliasi dengan Gerwani. Kekerasan ini mengakibatkan korban mengalami trauma, takut untuk berbicara karena mendapatkan teror, kekerasan berulang, dan stigma dari masyarakat dan negara.
Cerita yang lain datang dari Luisa Operario Givero, peserta dari Filipina. Ia mengangkat tentang konteks perempuan-perempuan Filipina yang bermigrasi ke luar negeri untuk memperbaiki ekonomi keluarga karena kemiskinan. Namun, menjadi pekerja migran tidak serta merta melepaskan mereka dari belenggu kemiskinan. Pemerintah kerap menyebut mereka sebagai pahlawan, tapi lupa untuk melindungi mereka. Salah satu contoh adalah Mary Jane, pekerja migran asal Filipina yang dijebak dengan kasus narkoba. Topik yang diangkat Luisa ini tidak jauh berbeda dengan konteks Indonesia saat ini, di mana banyak pekerja migran yang terjebak dalam mafia perdagangan manusia. Mereka bekerja di Malaysia, Singapura, dan Hong Kong sebagai pekerja rumah tangga, pekerja di perkebunan sawit, dan konstruksi bangunan tanpa perlindungan yang memadai. Cerita-cerita tentang kekerasan, penyiksaan bahkan kematian selalu menjadi pemberitaan media.
Peserta dari Myanmar, Sha Mgwe La Ah Tha, dan Hnin Thidar Thein juga mengangkat konteks politik dan ekonomi negara mereka yang tidak stabil akibat kudeta militer. Selain mengakibatkan banyak orang meninggal, situasi ini juga memaksa warganya untuk bermigrasi ke negara tetangga. Salah satunya Thailand. Mereka seringkali mengalami kekerasan, penelantaran, bahkan kematian di daerah perbatasan apalagi dalam situasi pandemi Covid-19. Bram Press dari Map Foundation yang bekerja untuk isu migrasi di Thailand menjelaskan bahwa sangat sulit membangun dialog dengan pemerintah Thailand untuk mengupayakan perlindungan bagi mereka yang tak berdokumen. Bram mengingatkan dalam presentasinya bahwa tidak ada manusia yang illegal. Oleh karena itu, perlindungan perlu diberikan bagi mereka walaupun tidak berdokumen.
Keprihatian lain juga datang dari negara-negara Asia selatan seperti Sri Lanka, Bangladesh, India, Pakistan karena isu sosial-budaya dan politik-ekonomi yang memicu konflik berkepanjangan. Situasi politik yang tidak stabil di Sri Lanka mengakibatkan resesi ekonomi. Gelombang protes dari masyarakat pada pemerintah terjadi karena sulitnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari apalagi dalam situasi pandemi Covid-19. Shalom Naeem dari Pakistan juga mengangkat tentang fundamentalisme agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis seperti Taliban yang seringkali menelan banyak korban jiwa. Naasnya seringkali aksi-aksi kekerasan ini disebarluskan melalui media sosial untuk membangkitkan kebencian pada umat Muslim atau Islamphobia di berbagai negara. Tidak hanya kebencian yang disebarluaskan, platform media sosial juga dipakai untuk merekrut anggota-anggota baru dari berbagai negara untuk bergabung dengan kelompok ekstrimis ini. Dari pemberitaan media diketahui bahwa beberapa warga Indonesia pernah direkrut menjadi anggota kelompok militan ini.
Imran (Bangladesh), Asa (India), Camcay (Malaysia), Mony (Kamboja) dan Adi (Indonesia) dalam presentasi kelompok mereka mengingatkan tentang penting sekali membangun edukasi publik untuk meretas Islamphobia. Kesadaran ini dapat dimulai melalui ruang perjumpaan, membangun persahabatan dengan saling menghormati, manafsir kembali teks-teks kitab suci, bekerja berjejaring membangun perdamaian di komunitas akar rumput. Selain meretas Islamphobia, penyadaran publik ini penting juga untuk membangun relasi dengan agama-agama/kepercayaan lain misalnya Hindu, Budha, Sikhism, Jainism, Jingitiu, Marapu.
Topik lain yang mucul dalam diskusi-diskusi bersama ialah tentang kelompok disabilitas dan LGBTQ+ yang juga seringkali mendapat stigma dan diskriminasi. Banyak orang masih belum siap membicarakan hal ini, walaupun pada kenyataannya mereka ada di sekitar kita. Baik itu di keluarga, sekolah, bahkan dalam lingkungan gereja. Disabilitas seseorang masih dilihat sebagai kutukan dan aib keluarga sehingga mereka seringkali disembunyikan bahkan dipasung dalam rumah. Akses yang belum ramah pada kelompok disablitas di ruang-ruang publik baik di jalan dan gedung-gedung masih menjadi pergumulan bersama. Di lain pihak, kelompok LGBTQ+ juga rentan mengalami kekerasan. Kurangnya ruang untuk bertemu dan berdiskusi tentang isu ini juga menjadi pergumulan bersama apalagi dalam tataran pemikiran teologis.
Membahas berbagai konteks permasalah di Asia sepertinya tidak akan pernah habis untuk didiskusikan. Walaupun demikian, Dr. Ronald Lalthanmawai mengingatkan bahwa misi kita adalah untuk memelihara ciptaan Tuhan dengan hidup damai antara satu dengan yang lain (sesama manusia dan alam). Tentu ini membutuhkan kerjasama dan upaya baik dari semua yang terpanggil untuk terlibat mengerjakan misi Allah.

Kamis Hitam: Ciptakan Asia Bebas Kekerasan
Kekerasan dalam bentuk apapun dan di manapun tidak dapat ditolerir. Setiap orang berhak untuk mendapatkan rasa aman di mana saja ia berada. Ini menjadi tantangan bagi gereja-gereja di Asia bagaimana menciptakan Asia bebas kekerasan. Salah satu cara adalah komitmen bersama dalam gerakan kampanye Kamis Hitam atau Thursday in Black. Kampanye ini adalah salah satu gerakan oikumenis global yang diperkenalkan oleh Dewan Gereja Sedunia sejak 1988 untuk bersolidaritas dengan perempuan-perempuan yang mana cerita-cerita tentang perkosaan di pakai sebagai alat perang, ketidakadilan gender, kekerasan, dan pelecehan.
Kampanye yang masih digencarkan sampai hari ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran semua pihak bersama-sama bertanggung jawab menciptakan dunia yang aman dan bebas dari kekerasan, dan memberikan ruang aman bagi korban untuk berani bicara. Siapa saja yang peduli bisa terlibat dalam gerakan.
Membangun Dialog Lintas Iman
Misi Allah di Asia harus dikerjakan dalam konteks yang inklusif. Merangkul dan melibatkan mereka yang berbeda agama/kepercayaan, bahasa, dan budaya merupakan bagian dari merayakan kekayaan keberagaman di Asia. Dalam kesempatan ini peserta kegiatan AEI mengunjungi tempat ibadah agama Sikhism dan Budha di Chiang Mai. Perkunjungan ini bertujuan untuk membuka ruang perjumpaan dan dialog dalam mengupayakan kehidupan yang harmonis sebagai sesama ciptaan Tuhan di Asia.
- Perspektif Sikhism
Sikhism adalah satu dari lima agama resmi di Thailand, selain Budha, Islam, Kristen, dan Hindu. Ada 19 rumah ibadah yang tersebar di Bangkok, Chiang Mai, Nakhon Ratchasima, Pattaya, dan Phuket. Jumlah pengikutnya mencapai 70.000 dari 25-30 juta pengikut di seluruh dunia.
Sikhism adalah agama monoteis yang lahir di Punjab, India pada akhir abad ke-15 melalui ajaran-ajaran spiritual 10 Guru Sikh. Ajaran mereka sangat dihormati dan dijadikan pedoman hidup bagi pengikutnya. Dalam bahasa Punjab, Sikhism berasal dari akar kata Sikkhī yang artinya murid. Sikhism percaya pada satu kekuatan tertinggi yang menciptakan alam semesta. Kekuatan ini menjadi spirit hidup mereka dalam berelasi dengan sesama manusia dan alam semesta dengan damai dan harmoni. Setiap pengikutnya didorong untuk melatih dan mengembangkan prinsip-prinsip hidup yang positif. Sifat-sifat seperti ego, tamak, marah, dan iri hati harus dilawan.
Ajaran-ajaran Sikhism juga mendukung perlakuan yang setara antara laki-laki dan perempuan, anti rasisme and sistem kasta. Ajaran ini dipraktekkan dalam salah satu tradisi mereka yaitu Langar, artinya dapur komunitas. Dapur ini menyediakan makanan yang dianggap berkat bagi siap saja. Setiap orang baik yang dikenal maupun orang asing tanpa memandang ras, etnis, agama, jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual diterima dengan sukacita untuk makan bersama di dapur komunitas ini. Tradisi makan bersama ini tidak dipungut biaya apapun dan wajib dipraktekkan oleh komunitas agama ini di mana saja. Setiap pengikut agama ini diajarkan untuk menghidupi dapur komunitas ini dengan sumbangan-sumbangan yang mereka berikan secara sukarela.
Pemberian sukarela ini disebut Dasvandhatau sepersepuluh dari penghasilan baik itu uang, waktu, tenaga pada Tuhan. Satu dari 10 guru Sikh mengatakan “Berikan pada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan. Ini disebut Das-vandh: sepersepuluh dari waktu, penghasilan, pemikiran, komunikasi, dan perbuatan baik anda. Setiap perbuatan baik diberkati di mana sepersepuluh adalah milik Tuhan.” Menghidupi Langarataudapur komunitas mereka adalah bagian dari sepersepuluh pada Tuhan.
- Perspektif Budha
Di Thailand, penganut agama Budha mencapai 94% dari total penduduk 64 juta jiwa. Kuil tempat ibadah mereka dapat ditemukan dengan mudah di setiap sudut kota. Beberapa kuil di antaranya terbuka untuk kunjungan wisatawan. Salah satunya adalah Wat Pha Lat.Perjalanan menuju kuil ini membutuhkan 45 menit, karena letaknya di luar Kota Chiang Mai menuju ke arah pegunungan (Doi Suthep). Lokasi kuil ini juga berdekatan dengan air terjun.
Dalam kunjungan kali ini, kami belajar dari Monk Pra Sonethavy. Menurutnya, setiap agama mengajarkan tentang bagaimana hidup dalam relasi yang harmonis dan saling mengasihi satu dengan yang lain (sesama manusia maupun alam semesta). Setiap manusia lahir dengan kebaikan dan kasih adalah prinsip yang fundamental. Namun, dalam realitas kehidupan terjadi banyak konflik dan kejahatan yang menimbulkan penderitaan. Hal ini menghancurkan prinsip hidup harmonis.
Ada berbagai cara yang dilakukan untuk menghakhiri penderitaan. Dalam ajaran Budha ada tiga cara yaitu melakukan latihan mental, pengetahuan, dan moral. Latihan mental dapat dilakukan melalui meditasi. Sedangkan latihan pengetahuan dapat dilakukan melalui sumber-sumber informasi positif yang menambah pengetahuan. Untuk latihan moral dapat dilakukan melalui lima prinsip moralitas. Pertama,larangan untuk melukai atau membunuh makhluk hidup yang lain. Kedua,menumbuhkan cinta kasih dan belas kasihan. Ketiga,menjauhkan diri dari tindakan kejahatan seksual. Keempat, bertutur kata dengan baik dan benar agar tidak melukai orang lain. Kelima, bebas dari hal-hal yang sifatnya candu seperti narkoba, minuman beralkohol yang dikonsumsi secara berlebihan.Untuk mencapai prinsip ini harus ada penguasaan diri atau pengontrolan diri, saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lain.
Dalam latihan mental, pengetahuan dan moral ini, dimensi personal dan sosial bertalian satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi. Secara personal, damai di hati dan pikiran menjadi pedoman bagaimana seseorang bersosialisasi dengan sesamanya (manusia dan alam). Secara sosial, damai sangat dibutuhkan di tengah-tengah dunia yang penuh penderitaan akibat berbagai kejahatan. Menurut Monk Pra Sonethavy, kejahatan dimulai dari pikiran. Jika seseorang memiliki pikiran negatif, maka perilakunya pun negatif dan itu berdampak pada orang-orang di sekitarnya. Begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, setiap orang berkontribusi positif untuk mendukung atau menciptakan lingkungan sosial yang aman dan damai mengingat kita hidup di bumi yang sama.
Merayakan Keberagaman Budaya
Malam kebudayaan adalah bagian dari merayakan keberagaman budaya, musik, tarian, dan bahasa yang berbeda di Asia. Masing-masing peserta menggunakan pakaian atau atribut tradisional serta membawakan tarian, nyanyian, atau puisi yang memiliki kontek ceritanya. Peserta dari Filipina membawakan puisi dan tarian Kapaligiran (artinya lingkungan) yang mengangkat cerita perjuangan masyarakat Filipina melawan pemerintah yang diktator dan kampanye melawan krisis iklim saat ini. Peserta dari Indonesia dan Malaysia membawakan lagu medley Betapa Kita Tidak Bersyukur, Dalam Tuhan Kita Bersaudara, dan Bergandengan Tangan dalam Kasih. Tiga lagu ini mengajak kita untuk hidup damai dengan alam semesta dan sesama manusia tanpa diskriminasi. Peserta dari Myanmar, Thailand dan Laos membawakan tarian Songkran. Tarian ini termasuk dalam festival umat Budha yang kemudian dirayakan juga oleh mereka yang berbeda agama sebagai tarian tradisional. Tarian ini dirayakan dalam menyambut tahun baru sebagai bentuk penyucian diri dan air sebagai simbolnya. Peserta dari Sri Lanka, India, dan Pakistan membawakan lagu tradisional mereka yang menceritakan tentang perjuangan masyarakat berhadapan dengan kekerasan dan kemiskinan yang sistemik serta situasi politik negara yang tidak stabil. Malam Kebudayaan ini menggambarkan harapan akan kedamaian dan keadilan di Asia. ***