Bahan Diskusi Tema & Sub Tema Sidang Sinode GMIT Ke-34

TEMA: “ROH TUHAN MENJADIKAN DAN MEMBAHARUI SEGENAP CIPTAAN”

(Band. Mazmur 104:30)

Sub Tema: “Roh Tuhan Berkuasa Atas Gereja, Masyarakat, dan Semesta”

Pdt. Dr. Ira Mangililo

Mazmur 104 adalah sebuah himne pujian tentang keagungan Allah sebagai pencipta dan penanggung jawab dunia beserta segala isinya. Berdasarkan referensi pribadi yang terdapat dalam ayat 33-34, maka Leslie Allen mengategorikan teks ini sebagai himne pribadi[1]. Meski demikian, Mazmur ini biasanya disampaikan dalam ibadah komunitas di mana setiap individu dipanggil untuk turut menyumbangkan suaranya pada barisan paduan suara yang pujiannya telah naik ke tempat kediaman Allah di sorga.[2] Upaya untuk menggambarkan tentang situasi di mana Mazmur ini disampaikan telah banyak dilakukan oleh para ahli.

Ada yang menghubungkan Mazmur ini dengan beberapa jenis festival musim gugur Israel yang paralel dengan festival tahun baru Babilonia. Ahli lain melihat bahwa Mazmur ini disampaikan pada saat peresmian Bait Allah Salomo sehingga merupakan bagian dari tradisi puisi bangsa Israel.[3] Untuk itu maka Mazmur ini berasal dari masa pra pembuangan dan dilihat sebagai sebuah kesatuan dengan Mazmur 103 yang ditempatkan sebagai bagian dari liturgi yang ada pada masa Dinasti Daud.[4] Namun ada juga yang menempatkan Mazmur ini sebagai bagian dari teks yang dihasilkan di pembuangan guna mempertahankan dan mengokohkan identitas umat Israel yang dimulai dari masa pembuangan dan paska pembuangan. Karena keterbatasan waktu maka saya tidak akan membahas perdebatan tentang kapan teks ini ditulis. Dalam kajian ini, saya akan memfokuskan diri untuk melihat teks sebagai sebuah puisi yang memiliki pesan atau tema bagi umat Israel dan kemudian berupaya melihat implikasi teks ini pada konteks kekinian kita di GMIT. Perhatian khusus saya berikan untuk ayat 30 yang menjadi landasan biblis bagi tema kita; namun tentu saja dalam rangka memahami ayat tersebut maka pembahasan Mazmur 104:1-35 sebagai suatu kesatuan teks akan saya lakukan.

Mazmur 104 fokus pada penciptaan yang disampaikan oleh seorang individu yang kagum dan heran akan kekuasaan sang Pencipta yang membangkitkan hasrat jiwa sang pemazmur untuk memuji kebesaran sang Khalik. Hal utama yang direfleksikan adalah tentang bagaimana Allah menikmati segala yang diciptakanNya, kebaikan Allah, dan undangan Allah bagi kita untuk menikmati dunia yang dijadikan Allah. Pemazmur juga memanggil umat Israel untuk meninggikan Allah. Ketika dilihat sepintas maka Mazmur ini mirip dengan kisah Penciptaan yang ada dalam Kejadian 1. Namun jika dicermati maka ada sejumlah perbedaan yang ada. Kejadian 1 bersifat logis dan skematik sementara Mazmur 104 disusun dengan nada riang dan bebas dengan menggunakan kosa kata yang kaya dan terperinci.[5] Selain itu, ada perbedaan dalam susunan penciptaan. Mazmur 104 menempatkan binatang dan manusia pada urutan penciptaan yang lebih dahulu dari ciptaan lainnya yang tentu berbeda susunannya dari Kejadian 1.[6] Lebih lanjut, jika dalam Kej. 1 Allah memerintah manusia sebagai yang diciptakan menurut imago Dei untuk bekerja merawat dan memelihara bumi – sebagai rekan sepenatalayanan Allah di dunia, maka dalam Mazmur 104 perintah untuk menjadi pelayan-pelayan Allah diberikan bukan saja kepada manusia melainkan juga kepada angin, api dan bahkan seluruh isi alam semesta ini. Akhirnya, Kejadian 1 melihat kembali pada apa yang terjadi pada awal penciptaan sementara Mazmur 104 merayakan bagaimana hasil ciptaan bekerja dan berfungsi pada masa kini.[7] Untuk itu, teks ini bertujuan untuk mengingatkan tentang keterlibatan Allah dalam penciptaan yang terus berlanjut hingga hari ini secara berkesinambungan. Hal ini merujuk pada kesinambungan antara penciptaan dan pemeliharaan, antara penciptaan makluk semesta dan penyediaan sumber kehidupan yang menjamin keberlangsungan kehidupan mereka.[8]

Hal menarik yang patut diperhatikan adalah sehubungan dengan makna penciptaan itu sendiri bagi bangsa Israel. Di sini bangsa Israel melihat dunia yang diciptakan Allah sebagai sebuah peristiwa yang senantiasa terus dilakukan dan bukan sebagai sesuatu yang sudah terjadi dan selesai sehingga bersifat tetap dan stagnant. Untuk itu, bagi bangsa Israel, keberadaan mereka sebagai sebuah bangsa yang berada di dalam dan merupakan bagian dari ciptaan Allah merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Israel melihat diri mereka dan hasil ciptaan sebagai satu tubuh yang merefleksikan keutuhan.[9] Hal ini menunjukkan relasi yang sangat erat di antara Allah dan hasil ciptaanNya dan antara manusia dan alam semesta. Hal ini berarti bahwa sebagai bagian dari ciptaan Allah, manusia membentuk satu tubuh dengan alam semesta yang ditinggalinya. Penyatuan relasi atau interkoneksi dengan alam menunjukkan bahwa manusia berbela rasa (pengalaman moral) dengan unsur ciptaan yang lainnya. Manusia dapat melihat dunia dan menjiwai keberadaan dan makna dunia sebagai bagian dari tubuhnya sendiri.[10] Hal ini merujuk pada praktek spiritual di mana manusia mengalami persekutuan spiritual dengan segala yang diciptakan Allah. Interkoneksi yang erat di antara tubuh dan dunia dengan demikian merujuk pada tanggung jawab etis dan moral yang dimiliki oleh manusia untuk terus memelihara dan merangkul hasil ciptaan Allah yang lainnya sebagai bagian dari tubuhnya yang utuh.[11]

Mazmur 104 juga mengungkapkan bahwa tindakan manusia untuk melihat dirinya sebagai yang tidak terpisah dari alam semesta ini sebenarnya merupakan tindakan meneladani apa yang telah Allah sendiri lakukan. Di sini, sang Pemazmur menggambarkan bahwa Allah sendiri menciptakan dunia ini secara kreatif dengan semangat riang gembira dan kemudian Allah sendiri “terserap (absorption) atau tertelan dalam (suck in atau swallow) dan menyatu” dengan hasil ciptaanNya.[12] Allah kemudian menjadi bagian dari air yang mengalir turun dari atas gunung, Ia menjadi bagian dari nyanyian burung-burung, menjadi bagian dari suara auman singa yang meminta makan pada Sang Penciptanya. Dunia yang diciptakan dengan baik itu kemudian menjadi kian hidup dalam tubuh Allah sendiri.

Allah digambarkan dalam Mazmur 104 sebagai yang bukan saja menciptakan tetapi juga turut merasakan kebahagian bersama hasil ciptaanNya. Allah digambarkan sebagai Allah yang bermain-main dengan hasil ciptaanNya dan bahkan menunjukkan hasratNya untuk memiliki hewan peliharaan yang dapat diajak bermain bersama. Hanya saja, ketika manusia melihat anjing dan kucing sebagai hewan peliharaan kesayangan, maka Allah mengambil Leviatham – monster laut (mungkin sejenis naga) sebagai hewan peliharaan yang tidak saja berada di bawah kontrolNya melainkan disayang dan dipelihara dengan penuh kegembiraan. Dengan kata lain, kesehatan, keutuhan dan kebahagiaan hasil ciptaan merupakan syarat utama dari kebahagiaan Allah itu sendiri. Di sini, secara luar biasa Mazmur 104 menggambarkan bahwa bahkan Allah sendiri melihat diriNya sebagai bagian dari alam semesta, Ia terserap dalam lanskap alam semesta yang terbentang luas di depanNya. Untuk itu, keutuhan dan keberlanjutan tubuh Allah sendiri sangat bergantung pada tindakan pemeliharaan tubuh alam semesta.

Ketika dikaitkan dengan tubuh manusia maka Mazmur 104 menunjukkan bahwa keberlangsungan alam semesta adalah syarat dari keberlangsungan tubuh umat manusia karena jika alam semesta dihancurkan maka tubuh Allah akan terganggu dan tentu Allah yang riang gembira akan berubah menjadi Allah yang memalingkan wajahNya dari umat manusia. Allah menjadi Allah yang marah dan agresif karena tubuhNya terluka  – disakiti oleh perbuatan umat manusia yang tidak ramah dan bersahabat terhadap alam semesta dan segala isinya yang merupakan tubuh dari Allah sendiri. Di sini kegembiraan berubah menjadi amarah dan perlawanan. Allah akan mengambil roh mereka dan mereka menjadi binasa – umat manusia akan kembali menjadi debu. Roh atau ruah dalam bahasa Ibrani menciptakan ruang, menggerakkan sesuatu, membuat ruang yang sempit menjadi luas dan memberi kehidupan.

Dalam hubungan dengan Allah, roh menggambarkan kekuatan kehidupan, kekuatan kreatif dan kekuatan atau kekuasaan Allah.[13]  Ayat 29 yang menggambarkan Allah yang menyembunyikan wajahNya menunjukkan metafora yang berlawanan dengan spirit atau roh kreatif Allah yang menciptakan dan memelihara. Penyembunyian wajah Allah berarti pengambilan roh kehidupan. Hal ini mungkin mengingat bahwa penciptaan dan pembaharuan pekerjaan roh Allah dan pengarahan wajah Allah memiliki hubungan yang erat dengan nafas (kehidupan) dari seluruh makluk hidup, entah itu di darat, di udara dan juga di laut. Bernafas adalah hidup. Bernafas adalah kehidupan.[14] Tubuh tanpa nafas adalah tubuh yang mati. Di sini sang pemazmur menggambarkan kenyataan bahwa dirinya dan semua makluk hidup lainnya dapat bernafas dan ketika mereka bernafas mereka menciptakan pekerjaan roh Allah. Di sinilah, sang pemazmur melihat bahwa melalui pengalaman tubuhnya yang bernafas dan bekerja maka ia terhubung dalam sebuah relasi satu tubuh dengan ciptaan yang lainnya dan juga Allah. Oleh karena itu, pemazmur sadar apa artinya ketika Allah menahan rohNya dari manusia. Hanya ada satu kata untuk menggambarkan keadaan manusia yaitu kematian yaitu keterpisahan tubuh manusia dari tubuh Allah dan alam semesta.

Namun di ayat 30, pemazmur menggambarkan bagaimana Allah mengirimkan rohNya untuk mencipta kembali dan memperbaharui kembali ciptaanNya. Tindakan Allah sendiri yang membuka  dan memberikan tanganNya untuk mengirimkan RohNya merupakan metaphor yang menunjukkan sikap berbela rasa dan pemeliharaan Allah. Ini berarti bahwa ketika Allah melakukan tindakan pembaharuan terhadap ciptaanNya setiap waktu maka Ia yang meskipun telah marah dan murka terhadap manusia namun tetap memiliki hasrat untuk bersekutu dengan manusia. Persekutuan Allah terutama adalah dengan mereka yang membutuhkan – dan dalam persekutuan itu Allah merentangkan tubuhNya kepada mereka yang adalah sang lain/the other. Di sinilah, hasrat persekutuan – hasrat untuk bersekutu adalah anugerah terbesar yang Allah berikan kepada kita yang direalisasikan melalui pembaharuan Roh.[15]

Roh Tuhan Menjadikan dan memperbaharui segenap ciptaan

Penggambaran Mazmur 104 tentang kegembiraan Allah dalam menciptakan dan menenggelamkan diriNya dalam dunia yang diciptakan menyiratan hasrat Allah untuk senantiasa menyatu dengan dunia dan segala isinya. Persekutuan antara Allah dan segenap ciptaan menciptakan gambaran tubuh yang utuh. Namun penggambaran tentang Allah yang menyembunyikan wajahNya dari manusia merupakan akibat dari tindakan manusia yang merusak persekutuan tubuh Allah yang utuh itu. Roh ketamakan dan pementingan diri sendiri merupakan roh yang menantang otoritas roh pembaharuan Allah yang merawat dan merangkul segenap ciptaan di dunia ini.

Potret sementara mengenai konteks pelayanan GMIT berdasarkan analisa bersama di empat titik melalui kegiatan TOT telah menggambarkan sejumlah isu strategis yang mengemuka di GMIT yaitu isu perjudian, pembakaran hutan dan lahan, pengrusakan alam akibat aktivitas tambang, sengketa tanah, kekerasan dalam RT, kekeringan, kemiskinan, penghambatan ijin membangun gereja, perdagangan orang. Isu-isu ini telah mengganggu keutuhan tubuh ciptaan dan telah mengganggu semangat roh kreatif Allah yang sebenarnya senantiasa mencipta dan membaharui dunia dan seisinya. Mazmur 104 menamai gangguan ini sebagai penghancuran persekutuan tubuh. Namun Mazmur 104 juga menawarkan jalan keluar untuk memperbaiki relasi tubuh yang rusak itu dengan memperbaiki persekutuan yang ada. Mazmur mengatakan bahwa hal ini hanya mungkin ketika Allah membiarkan RohNya untuk memperbaharui relasi ciptaan yang telah rusak tersebut. Hal ini Nampak dalam keberpihakan Allah dengan Sang Lain – mereka yang dikorbankan dalam relasi yang rusak tersebut baik itu manusia maupun alam semesta.

Secara poskolonial, saya menggunakan analogi tubuh yang ada dalam Mazmur ini sebagai titik berangkat untuk memperbaiki persekutuan komunitas yang rusak. Tubuh ciptaan yang telah rusak perlu disembuhkan kembali dengan mengijinkan Roh Allah bergerak secara bebas untuk memberi kehidupan. Salah satu langkah yang bisa kita lakukan sebagai manusia guna berpartisipasi dalam proses pembaharuan itu adalah dengan memperbaiki keadaan tubuh atau postur tubuh kita sendiri. Kata postur juga berarti posisi tubuh yang ditunjukkan untuk menyampaikan maksud atau tujuan tertentu. Postur juga dapat berarti sebuah pendekatan, sikap atau cara seseorang untuk menghadapi atau mempertimbangkan suatu hal.[16] Jika postur tubuh kita adalah postur tubuh yang mengacungkan tangan untuk melukai, menggunakan kaki untuk menginjak mereka yang terpinggirkan, menggunakan mata dan telinga serta mulut untuk menyebarkan ujaran-ujaran kebencian dan hoax, menggunakan pikiran untuk merancangkan pemufakatan jahat melawan makluk ciptaan yang lainnya – maka sudah saatnya kita merubah postur tubuh itu karena postur itu mengirimkan perpecahan dalam tubuh alam semesta.

Bercermin dari teladan Allah, maka postur tubuh kita semestinya adalah postur yang membuka tangan dan menjangkau pihak lain karena hanya dengan demikian maka roh yang keluar dari tubuh kita akan berupa roh yang membangun dan memperbaharui. Untuk itu, diperlukan postur tubuh yang berlandaskan kebaikan dan keramahtamahan. Makna keramahtamahan dalam konteks Israel Kuno dan Mediteranian Kuno cukup berbeda dengan konsep keramahtamahan yang kita miliki saat ini. Keramahtamahan bukanlah berhubungan dengan mengundang dan menjamu keluarga, teman-teman atau rekan-rekan bisnis melainkan tentang mentransformasi orang asing/orang luar dan seluruh alam semesta menjadi tamu. Tindakan ini merupakan keharusan bagi masyarakat yang melihat dunia dengan kacamata orang dalam dan orang luar seperti layaknya pandangan yang dimiliki oleh masyarakat kuno.  Dalam dunia Israel kuno sendiri, para orang asing (gerim), bersama-sama dengan mereka yang rentan secara ekonomi seperti orang miskin, janda dan anak yatim piatu, adalah komunitas yang membutuhkan keramahtamahan dan penerimaan dari lingkungannya. Di sini penting juga untuk menambahkan unsur alam semesta sebagai bagian dari sang lain. Jadi di sini menurut saya roh pembaharuan yang penting untuk digarisbawahi adalah roh kebaikan dan keramahtamahan  – roh yang tidak mengutamakan kepentingan diri dan kelompok yang hanya menjangkau ruang yang sempit di alam semesta ini melainkan menciptakan ruang yang luas yang menampung segala ciptaan.

Roh ini akan mampu menghancurkan dinding kapitalisme yang mengusung privatisasi akses bagi sekelompok orang/golongan. Roh ini akan mampu menghancurkan aura kebencian yang didasari oleh unsur kepentingan ras, agama, etnis dan golongan yang mengancam persekutuan bangsa. Dengan kata lain, roh kebaikan dan keramahtamahan untuk menjangkau sang lain yang telah terpisah dan terkoyakkan dari tubuh ciptaan merupakan titik berangkat kita untuk membangun kembali persekutuan sebagai satu kesatuan tubuh yang utuh di mana manusia, alam semesta dan Allah hidup bersama dalam kegembiraan dan keutuhan. Hanya dengan demikian maka bersama Pemazmur kita dapat berkata kepada Allah sebagai kumpulan tubuh komunitas:

Aku hendak menyanyi  bagi TUHAN selama aku hidup, aku hendak bermazmur bagi Allahku selagi aku ada.  Biarlah renunganku manis kedengaran kepada-Nya! Aku hendak bersukacita karena TUHAN. Biarlah habis orang-orang berdosa dari bumi, dan biarlah orang-orang fasik tidak ada lagi! Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Haleluya! (Maz 104:33-35)

[1] Leslie K. Allen, Psalms 101-150, in Word Biblical Commentary, ed. David A. Hubbard, et al. (Waco, TX: Word, 1983), 28.
[2] Ibid.
[3] Peter C. Craigie, “The Comparison of Hebrew Poetry: Psalm 104 in Light of Egyptian and Ugaritic Poetry,” Semitics 4 (1974), 19.
[4] D. A. Robertson, Linguistic Evidence in Dating Early Hebrew Poetry (Missoula: Scholars, 1972), 42-43, 54, 63, 77.
[5] Allen, Psalms 101-150, 31.
[6] L. L. Mays, “Maker of Heaven and Earth”: Creation in the Psalms, in Brown, W. P. & McBride, S. D. (eds), God Who Creates, Essays in Honor of W. Sibley Towner (Grand Rapids, Michigan/ Cambridge, U.K.: William B. Eerdmans Publishing Company, 2000), 75-86.
[7] Michael Wilcock, The Message of Psalms 73-150: Songs for the People of God (Downer Grove, IL: InterVarsity Press, 2001), 122.
[8] Mays, “Maker of Heaven and Earth,” 75-86.
[9] Johan H. Coetzee, “Psalm 104: A Bodily Intepreration of ‘Yahweh’s History’,” dalam OTE 21/2 (2008), 299.
[10] Coetzee, “Psalm 104,” 301.
[11] Coetzee, “Psalm 104,” 301.
[12] Coetzee, “Psalm 104,” 301. Dalam pemahamannya tentang ide tentang Allah yang terserap dalam ciptaan (absorption), Coetzee dipengaruhi oleh pandangan Drew Ledder dalam bukunya The Absent Body di mana Leder  mengungkapkan kemampuan tubuh untuk terserap dalam atau tertelan dalam lanskap atau bentangan hamparan pemandangan alam yang ada di dean matanya. Di saat itulah ia menyatu dengan lanskap yang ada dan menjadi satu tubuh  dengannya. Lihat D. Leder, The Absent Body (London/Chicago: The University of Chicago Press, 1990), 164-65.
[13] Coetzee, “Psalm 104,” 303.
[14] Coetzee, “Psalm 104,” 303.
[15] Coetzee, “Psalm 104,” 303.
[16] Mirriam-Webster Dictionary, Posture, diunggah dari: https://www.merriam-webster.com/dictionary/posture, akses internet 12 Juni 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *