Berdamai dengan Rasa Marah
www.sinodegmit.or.id, Akhir minggu pada akhir Juni 2021 suami saya mulai merasa tidak sehat: pilek, batuk, badan lemah, tak berselera makan. Saat itu Kota Kupang berangin dan cuaca sedang tidak stabil, kadang panas, kadang dingin. Jadi suami saya pikir pasti masuk angin karena kecapaian dengan beberapa rapat akhir-akhir ini.
Sebelumnya saya sempat ingatkan beliau: “Kerja jangan sampai terlalu larut, berapat jangan terlalu panjang dan sering. Ini sedang pandemi. Masker harus sering diganti. Kalau pulang rumah, langsung ganti baju.” Dst, dsb.
Hari Selasa di akhir bulan Juni puteri saya kirim WA saat saya masih di kantor: “Mama pulang jam berapa? Ien rasa tidak sehat. Seluruh tubuh sakit, Ien demam dan meriang, sepertinya Ien kena covid”. Saya langsung pikir, duh ini harus segera swab bersama bapaknya. Saya kuatir karena dia sudah pegang tiket. Dua hari lagi dia harus ke Jakarta untuk urus visa pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Saya buru-buru menyelesaikan pimpin rapat dan bergegas ke rumah.
Suami saya masih menolak untuk tes Covid: “Ini paling demam biasa.” Saya ngotot, keduanya harus segera swab antigen. Setengah jam kemudian mereka menelpon dari klinik Neka Sehat: “Mama kami berdua positif.” Saya langsung kontak kawan Ibu Fima Inabuy di Lab Biomolekuler Provinsi NTT agar esok harinya kami seisi rumah melakukan tes PCR. Hasil tes PCR Hari Rabu itu kami berempat di rumah, berdua suami isteri dan dua anak, positif. Keponakan yang tinggal dengan kami, Efi, hasilnya negatif. Tiga hari kemudian Efi tes PCR sekali lagi dengan rombongan Kantor Sinode GMIT. Hasilnya masih tetap sama; dia negatif. Terpujilah Tuhan. Selama kami sakit dia yang mengurus kami.
Saat awal mengetahui kami positif, saya marah pada suami dan pada diri sendiri: Kenapa tidak hati-hati? Anak-anak kami sudah satu tahun lebih belajar dari rumah. Kami orangtua yang selalu ke tempat kerja. Di Majelis Sinode kami selalu usaha edukasi komunitas kami untuk ketat dengan protokol kesehatan, tetapi justeru kami tidak hati-hati dan kena, bahkan membahayakan kedua anak kami. Perlu beberapa hari untuk saya berdamai dengan rasa marah dan sedih. Seringkali kita sudah taat pada protokol kesehatan. Namun ada saat kita lengah seperti membuka masker untuk berfoto dan makan bersama dalam pertemuan. Semua orang harus lebih berwaspada.
Kami berdua suami isteri juga pikir kami beruntung telah menerima vaksin sebelumnya. Salah satu keuntungan vaksin yang kami yakini adalah bahwa walaupun tetap ada resiko kita terinveksi, namun dampaknya tidak terlalu berat. Kami berempat tidak mengalami masalah dengan pernafasan walaupun ada sakit penyerta (comorbid). Hal itu sangat kami syukuri.
Kami juga belajar sekali lagi bahwa dampak Covid lebih terasa pada para senior. Puteri saya yang 17 tahun kehilangan indera penciuman dan sulit makan, tapi tak separah kami suami isteri yang nyeri badan berhari-hari. Alberd, 9 tahun, gejalanya ringan. Walaupun sempat demam dan muntah, hilang indera perasa beberapa hari dan kurang selera makan, Alberd tetap semangat. Dia jadi penghiburan besar bagi kami. Kami bersyukur juga, persis hari yang sama kami tes PCR ada pemberitahuan dari penyelenggara kegiatan pertukaran pelajar bahwa interview visa di Jakarta ditunda karena meningkatnya ancaman Covid di sana. Kami menjadi lebih tenang.
Cahaya Kasih Tuhan
Di hari ketiga setelah dinyatakan positif, keadaan kami cukup berat. Seluruh badan sakit, tidak bisa makan minum, demam, mual, kulit kepala sakit. Sebagai Mama, saya susah mau urus diri atau urus suami, mau urus anak-anak atau perhatikan urusan-urusan gereja yang tidak bisa maksimal saya urus selama saya sakit. Ada banyak agenda pasca Siklon Seroja di GMIT yang perlu diurus. Sudah ada banyak rencana dengan mitra-mitra ekumenis dan jemaat-jemaat di berbagai pulau. Saya hampir menangis di tempat tidur. Ya Tuhan, kenapa ini saya alami? Saya sudah berpikir apa yang terjadi kalau saya tak bisa melewati Covid ini. Pikiran saya sudah ke mana-mana. Akan ada masalah besar di GMIT kalau saya tidak bisa menyintas Covid ini. Puji Tuhan dari kami lima Majelis Sinode Harian, tiga orang terinveksi di waktu bersamaan, dua orang masih sehat dan sekarang semua sudah membaik.
Di saat semua terasa sangat berat, saya bilang pada puteriku yang sedang susah makan: “Keadaan kita yang terinveksi Covid ini seumpama berjalan masuk sebuah lorong gelap tanpa kita tahu apakah kita akan pernah keluar dari lorong gelap itu dengan selamat. Meskipun sangat gelap, suatu saat kita akan melihat cahaya di ujung lorong, asal kita percaya bahwa ada cahaya di ujung lorong gelap itu. Ayo, usahakan tetap makan.” Dia menjawabku: “Mama analogi lorong gelap itu ngeri tetapi benar”.
Kami mengalami cahaya kasih Tuhan dengan banyak cara. Banyak orang Tuhan utus untuk memberi perhatian, dukungan, dan kepedulian. Ada yang mengirim cahaya dalam bentuk ayat Alkitab dan pesan lewat WA yang sangat menguatkan; adik-adik saya di SoE kirim obat-obatan yang kami butuh; Om Elcid Lie dkk. Forum Academia NTT (FAN) selalu mengecek keadaan kami dan bertanya apa yang bisa dibuat untuk membantu; yang lain mengirim obat herbal; Puskesmas Oepoi selalu kontak dan tanya keadaan kami; Pak Gubernur NTT menelpon dan kirim obat Cina; Tanta Yo dari guest house Kantor Sinode memasak untuk kami selama seminggu; ada kawan yang kirim madu terbaik Pulau Timor; ada sahabat yang transfer uang dan bilang jangan pusing dengan pikir biaya pengobatan. Itu sangat membantu saat saya harus antar suami ke rumah sakit dan kartu BPJS kami bermasalah. Buah dan sayur mengalir dari berbagai penjuru. Cahaya dan kehangatan cinta kasih, sungguh-sungguh kami alami di masa-masa gelap. Sampai sekarang kadang-kadang kami masih susah dengan mual, pening, dan gangguan tidur malam, tapi tiap-tiap hari kami mengalami Tuhan mengasihi kami. Terima kasih untuk semua yang berbagi cahaya dengan kami saat malam begitu pekat dan hidup seperti badai besar.
Dosa Apa?
Di grup MPH PGIW NTT, muncul percakapan mengenai dosa sebagai penyebab seorang pendeta terkena Covid. Seorang kawan pimpinan wilayah salah satu denominasi di NTT menulis demikian: “Shalom. Saya beritahukan pada kawan-kawan di group ini, beberapa hari yang lalu saya dinyatakan positif Covid-19. Seorang “hamba Tuhan” menyampaikan pada saya. Katanya dia diberitahukan Tuhan bahwa saya positif Covid-19 karena saya telah berdosa sama seperti dosa Yudas Iskariot yang telah menjual Tuhan Yesus demi uang dan kekayaan…Pertanyaan saya, apakah kami yg sudah terkena Covid-19 karena kami sudah mengkhianati Tuhan Yesus seperti Yudas Iskariot?”
Pertanyaan kawan pendeta GBI ini langsung menjadi diskusi teologis para pimpinan denominasi Protestan di grup kami. Saya dapat membayangkan bahwa cara berpikir ini sangat erat terkait pemamahan tentang hubungan penyakit dan kutuk dalam budaya kami. Misalnya, di kalangan orang Timor Barat ada konsep naketi. Seseorang bisa tertimpa kemalangan seperti penyakit karena ada dosa atau kesalahan tertentu. Ada api, ada asap. Orang sakit pasti karena ada kesalahan yang dibuat. Dosa dipandang begitu kuat sampai bisa melompat melintasi beberapa generasi. Anak-anak bahkan cucu beberapa generasi kemudian bisa terkena penyakit gara-gara dosa nenek moyangnya. Untuk itu perlu pengakuan dosa.
Saya sendiri bergumul dengan pertanyaan yang sama saat saya terbaring di tempat tidur: Dosa apa yang telah kami sekeluarga lakukan? Namun refleksi saya lebih terhubung dengan ketidakhati-hatian kami untuk memakai masker yang benar dan jaga jarak. Saya juga berdoa agar kalau ada hal salah yang kami lakukan, Roh Kudus menegur kami agar kami menyadarinya. Kami juga mau membuka hati memahami kehendakNya melalui sakit yang kami alami. Tapi saya tidak akan menerima begitu saja kalau ada yang datang dan mengatakan karena kami begitu berdosa sehingga kami dihukum dengan Covid.
Saya menulis kepada kawan pendeta yang berbagi keprihatinannya itu: “Bapak Pendeta, ujilah semua suara supaya jangan kita yang sudah sakit dilempari batu yang makin melukai. Saya tetap percaya dalam semua musim hidup, kasih setia Tuhan kekal. Dia izinkan kita, hamba-hambaNya para pendeta, mengalami ini seperti sesama yang lain, agar kita dapat turut mengalami penderiataan dunia sekarang ini dan mendapati bahwa dalam lembah kekelaman pun Tuhan tidak tinggalkan ciptaanNya.”
Gembala Terinveksi Covid
Tahun 2015 saya terpilih sebagai Ketua Sinode. Saya ingat salah satu doa syafaat saat terpilih adalah agar saya tidak sakit selama empat tahun memimpin gereja ini. Saya harus selalu tampil prima, sehat, dan bergembira. Saya tidak akan mengizinkan diriku sakit selama empat tahun. Saya berjanji untuk hidup sehat dengan pola makan, istirahat, olahraga, dan pola kelola mental yang baik. Tetapi awal tahun 2019, karena kelelahan, tiba-tiba saya sakit cukup serius. Saya bilang ke suami saya suatu pagi: “Yustus, saya tidak bisa angkat kaki. Tolonglah saya.” Kawan-kawan yang datang menjenguk saya menasihati saya: “Mery, tidak masalah kalau kamu sakit. Tubuh butuh istirahat juga.” Di periode kedua pelayanan kegembalaanku sekarang, saya sudah lebih berdamai dengan tubuhku, untuk merangkul keletihan, istirahat, dan sakit.
Saya kini lebih berdamai dengan keringkihan dan kerapuhan tubuh saya. Beberapa waktu lalu ketika kami bekerja maraton di Posko MS GMIT Tanggap Darurat Siklon Seroja, seorang pendeta senior berkata pada saya: “Saya berdoa pada waktunya Mery sakit dan tidak bisa bangun beberapa hari supaya sungguh-sungguh bisa beristirahat.” Saya menoleh kepadanya, tertawa, dan berkata itu doa yang baik, tetapi sekarang saya tidak boleh sakit. Kini doa beliau terjawab.
Saat saya terinveksi Covid, satu hal saya belajar penting. Tuhan mengizinkan saya terinveksi supaya saya dapat lebih mengerti ketakutan, kecemasan, dan kekuatiran terdalam orang-orang yang terinveksi. Saya terinveksi pada gelombang kedua di Indonesia, di saat tiap hari ada berita 20,000 sampai 30,000 orang Indonesia terinveksi dan lebih dari seribu orang meninggal karena Covid.
Setiap pagi dari kamar tidur ketika terbangun, kami mendengar kicau burung dari halaman yang terlalu indah, tetapi juga sirene mengaum-aum terburu-buru mengantar jenazah ke pemakaman. Seorang gembala umat terinveksi di masa-masa ini memampukannya memahami ketakutan terdalam umat manusia di depan penyakit yang mengancam, dan belajar mengucapkan doa yang paling jujur kepada Tuhan di depan ancaman kuasa penyakit dan kematian. Namun kalau dia peka, dia juga dapat melihat dan menyukuri pemeliharaan Tuhan yang tak berhenti. Burung bernyanyi, saudara peduli, kawan mendukung. Hidup tak hanya tentang tangisan dan kecemasan. Di hidup juga ada persahabatan, cinta kasih, dan kepedulian yang tulus.
Sebagai teolog, seringkali kita terlalu cepat berkhotbah tentang keadaan tertentu. Kita mau langsung menulis dan menghubungkan Covid dengan ayat Alkitab yang kita ingat untuk menceramahi orang lain. Pengalaman terinveksi Covid menolongku untuk tidak buru-buru melompat pada kesimpulan teologis tertentu. Dengarkan bahasa tubuh. Resapi perasaan hati. Dengarkan perasaan dan kecemasan sendiri. Simak apa harapan dan kerinduan terdalam. Bicara dengan Tuhan, jujur sampaikan dan dengarkan apa yang Tuhan sedang sampaikan. Mulailah berteologi dari sana. Hubungkan pengalaman penderitaan, kecemasan, harapan, dan kerinduan dengan pergumulan umat beriman di masa Alkitab, pelajari juga pergulatan terdalam manusia masa kini, dan lihat apa yang dapat dipelajari sebagai pesan Injil untuk pergumulan umat manusia hari ini.
Teologi Tubuh
Kami sudah mulai sehat. Badan saya tak lagi sakit. Kepala tak lagi sering pening. Nafsu makan perlahan membaik. Saya tak lagi merasakan mabuk kalau harus memasak. Minggu depan kami mau kembali tes PCR setelah 21 hari terkonfirmasi positif. Semoga kami sudah kembali negatif.
Seorang kawan pendeta perempuan yang melayani di salah satu denominasi gereja di Kota Kupang, menulis pesan kepada saya demikian: “Mama, sampai saat ini, saya masih bergumul dengan persoalan konsentrasi. Meski telah bebas atau negatif Covid sejak 2 bulan lalu, tugas-tugas paper dari kampus terbengkalai. Meski masih bisa, saya menulis dengan kecepatan merayap… Menurut beberapa kawan yang sudah berusia di atas 50 tahun, ketika terserang Covid, semangat hidupnya jadi melemah, menjadi apatis.” Apakah banyak orang mengalami hal seperti itu? Ini menarik untuk distudikan dan direfleksikan secara teologis.
Kami sekeluarga belum tahu apa dampak Covid ke depan pada hidup kami di masa depan: Apa dampak Covid akan merusak pada daya tahan tubuh saya, suami, dan anak-anak? Apakah paru-paru kami akan baik-baik saja? Bagaimana dengan lambung, jantung, dan otak kami? Bagaimana dampak panjang Covid kepada semua manusia yang terinveksi?
Terinveksi Covid membantu kami untuk lebih peka pada tubuh sebagai karya Allah yang mulia sekaligus rapuh. Tubuh kami mulia karena diciptakan oleh Allah sendiri dalam gambar dan rupaNya, sekaligus ringkih karena manusia telah jatuh dalam dosa. Kesadaran akan penebusan Allah mendorong manusia untuk menjaga tubuhnya secara bertanggung jawab karena tubuh adalah buah karya Allah yang mulia. Tubuh yang telah terinveksi harus dikasihi, dirawat sebagai bentuk keterlibatan dalam karya penebusan dan pemulihan Kristus. Tubuh yang telah terinveksi tidak boleh dipaksa bekerja melebihi kemampuannya. Virus mungkin akan pergi setelah masa tertentu, tetapi jejaknya akan tinggal memberi pelajaran kehidupan yang berharga pada umat manusia untuk merawat tubuh ciptaan Allah dan menghormati hidup pemberianNya. Salah satu agenda berteologi sebagai penyintas Covid adalah agenda perjalanan menuju diri, untuk secara serius merawat dan menghargai tubuh, jiwa, dan roh.
Terinveksi Covid membantuku lebih berenung tentang teologi tubuh. Tubuh dan hidup manusia adalah situs berteologi. Tubuh adalah tempat kita berjumpa dengan Tuhan. Tubuh berasal dari tanah dan telah disentuh Allah menjadi hidup, bergerak, berjalan, melompat, penuh kegembiraan. Ada juga masa tubuh sakit dan bersedih. Karena tubuh diciptakan Allah, kita dapat bertemu dengan Allah di sana, dalam segala pengalaman tubuh: sedih, senang, sakit, sehat. Tubuh mengungkapkan sesuatu tentang karya Allah yang mulia yang mengasihiNya. Namun tubuh juga terbatas. Ada waktunya tubuh tak ada lagi. Selama tubuh masih ada, saya ada. Saat tubuh berhenti bekerja, saya tidak ada lagi di dunia. Teologi tubuh membantu kita untuk menghormati tubuh dan merawatnya dengan syukur kepada Tuhan yang menciptakannya sampai waktunya tubuh kembali menjadi tanah.
Bahasa Iman di Masa Krisis
Ada hal yang menarik dalam pengalaman spiritualitas saya di masa krisis ini. Saya dibesarkan sebagai anak-anak dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Meto Timor Barat. Di masa kecil saat mulai masuk sekolah di pedalaman, bahkan guru-guru kami memakai dua bahasa itu untuk anak-anak yang belum bisa berbahasa Indonesia. Sehari-hari kami bergaul lebih banyak dengan bahasa daerah. Untuk kepentingan studi saya juga belajar bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Studi S-2 saya dalam bahasa Belanda dan S-3 dalam bahasa Inggris. Jadi paling sedikit saya bisa berbicara empat bahasa: bahasa Indonesia, Meto, Inggris, dan Belanda.
Ketika berada dalam masa-masa takut dan cemas yang terdalam, saya berdoa dalam bahasa Timor. Ketika saya berdoa dalam bahasa ibu itu, saya mampu mengungkapkan perasaan saya yang paling dalam. Kadang-kadang saya merasa marah pada diri saya karena tidak mampu menemukan kata dalam bahasa daerah itu untuk hal yang ingin saya ungkapkan. Sekarang saya lebih fasih berbahasa Indonesia dibanding bahasa daerah. Namun saya sungguh merasakan kedalaman pengalaman bersama Tuhan dalam bahasa kalbuku.
Dalam bahasa itu saya bercerita kepada Tuhan mengenai kekuatiranku, mengenai keluargaku, dampak penyakit ini pada pelayananku, dan kecemasanku atas seluruh peradaban manusia. Kalau saya berdoa di masa krisis menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa yang lain mungkin yang saya ungkapkan dangkal saja. Namun ketika saya berdoa dalam bahasa daerah, ada hal-hal yang sangat dalam yang terungkap kepada Tuhan dan kepada diri saya sendiri. Doa itu menjadi sangat pribadi antara Tuhan dan saya.
Saya pikir hal ini bisa saja terkait pengalaman iman yang membentukku. Saya bertumbuh mengenal Tuhan dalam komunitas percaya di Timor Barat. Ayahku yang seorang dari Pulau Alor menikah dengan ibuku seorang perempuan Timor Barat dan mereka bekerja di Timor sampai akhir hayat mereka. Saya bertumbuh sebagai anak manusia yang belajar mengenal Tuhan, Firman, dan karya-karyanya dalam komunitas yang kuat memelihara budaya dan bahasa daerah di lingkungan itu. Saya teringat iman ibu dan nenekku yang kuat dibentuk budaya Timor, almarhum Penatua Banunaek dari Oetoli di Jemaat Oinlasi Barat yang mendoakan kami kala sakit, syukur, dan sukacita yang kami rayakan dalam kedalaman bahasa syair. Semua itu terserap hingga ke kalbu. Di saat saya bergumul dengan hal yang paling dalam, itulah bahasa yang mampu mengungkapkan segenap kerinduan, harapan, dan kecemasan.
Merangkul Ketidakpastian, Belajar Mengenal Batas
Hampir dua tahun ini koper-koper saya hampir tak tersentuh. Tak ada rencana perjalanan ke luar daerah dan ke luar negeri. Agenda-agenda ekumenis yang biasanya sudah padat setahun, bahkan dua tahun penuh, kini penuh tanda tanya. Tidak lagi daftar kegiatan yang pasti dan rangkaian perjalanan yang ditata teratur dan detail. Jadwal penahbisan gedung gereja di berbagai wilayah pelayanan GMIT sulit ditentukan kepastiannya. Sekarang seluruh umat manusia masuk pada ketidakpastian. Tak ada rencana yang dengan pasti dapat dilaksanakan. Manusia kembali belajar nasihat Alkitab: “Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu” (Yesaya 55:8a).
Sejak era Pencerahan, manusia merasa dapat melakukan apa saja. Manusia mengira dengan otaknya manusia bisa mengetahui semua hal dan menaklukkan semua hal dalam semesta: “Aku berpikir, maka aku ada.” Rasio manusia dianggap sangat berkuasa. Namun pandemi Covid di awal dekade ketiga abad ini mengajarkan manusia bahwa manusia dan kemampuannya terbatas. Bahkan sebuah virus yang begitu kecil dan tak tampak mata itu dapat membuat seluruh peradaban manusia kacau. Manusia tidak maha kuasa. Ilmu pengetahuan dan teknologi penting dan sangat membantu. Namun kecerdasan dan teknologi manusia tak boleh membuat manusia bertindak sewenang-wenang atas kehidupan ciptaan Allah.
Saya pikir Covid juga mengajar kita manusia untuk berhenti sejenak dari ambisi dan kesibukan kita. Kita terjebak dalam zaman di mana semua hal kita lakukan terburu-buru. Bangun pagi agenda kita sudah panjang dan rencana kita berlapis: setelah ini akan lanjut dengan yang satu. Belum habis yang satu, yang lain sudah menunggu. Kita memaksa tubuh, jiwa, dan roh kita terus berlari tanpa masa rehat yang memadai.
Covid menginterupsi kesibukan kita. Covid mengajak kita berhenti sejenak. Luangkan waktu untuk diri, untuk tubuh, untuk jiwa dan mental, untuk keluarga, untuk Tuhan, untuk beristirahat. Penyakit ini membuat kita berkesempatan sungguh-sungguh berteduh diri, berserah pada Tuhan, dan menyerahkan rencana-rencana hidup kita pada kedaulatanNya.
Pertobatan Ekologis
Hampir dua tahun ini dunia tak berdaya. Bumi sedang menegur kita dengan keras dan memberi kita pelajaran yang berat. Seperti kata Thomas L. Friedman dalam opininya di New York Times, 30 Mei 2020 yang lalu: “Beberapa minggu ini kita belajar: bumi tidak saja datar, bumi kita rapuh…Pandemi kita hari ini bukan lagi hanya pandemi biologis, tetapi juga pandemi geopolitik, finansial, dan lingkungan hidup.” Tanpa ada perubahan radikal dalam kesadaran dan sikap kita kepada Ibu Bumi, kita akan mengalami akibat yang lebih hebat dari apa yang sedang kita alami hari ini.
Sistem ekonomi kapitalisme membuat manusia berlomba-lomba mengeruk keuntungan dan menumpuk modal. Demi keuntungan finansial, alam dijarah tanpa ampun. Orang kaya bertambah kaya, orang miskin dan alam dieksploitasi. Virus yang tak terkendali sekarang ini menyadarkan kita pada keseimbangan alam yang terganggu.
Pandemi Covid-19 menjadi momen wake up call bagi semua manusia. Momen ini mestinya kita semua—pemerintah, masyarakat, pengusaha, politisi, siapa saja—maknai sebagai kesempatan kembali berdamai dengan bumi. Kita perlu melakukan pertobatan massal demi keadilan ekologis. Kita mesti berhenti melaksanakan pembangunan yang semata berorientasi pada keuntungan finansial. Sebaliknya kita perlu berkomitmen bersama pada pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan kehidupan.
Mengklaim Daya Ilahi
Di manakah Allah saat seluruh dunia bergumul dengan penderitaan? Apakah Allah peduli pada air mata dan derita orang-orang yang sakit dan harapan keluarga untuk pemulihan saudara mereka? Di manakah Allah ketika kita berjuang untuk mempertahankan kehidupan keluarga kita yang terinveksi Covid-19? Bagi yang sembuh ada pujian kepada Tuhan, namun bagaimana dengan mereka yang meninggal? Apakah Allah ada bersama dengan mereka yang meninggal karena Covid-19? Apakah orang-orang yang meninggal tidak dikasihi Allah?
Pandemi ini mengajak gereja masuk ke tengah-tengah pergulatan kehidupan penderitaan manusia. Di derita yang sangat dahsyat, kita ditantang untuk memasang telinga dan hati, mendengar dan merasakan teriakan dan erangan kesakitan, dan ratapan kehidupan. Pandemi ini menggugat kita untuk menatap pada kerapuhan dan keringkihan hidup manusia.
Dalam konteks inilah tahun ini Majelis Sinode GMIT mengangkat tema pelayanan 2021 dari Yehezkial 37:14. Yehezkiel dipanggil untuk menjadi nabi tepat pada saat yang sangat genting dalam sejarah perjanjian Israel: penghancuran Israel oleh Babilonia. Dalam penglihatan di pasal 37 itu, Yehezkial dibawa ke dalam lembah yang penuh tulang-tulang kering. Seperti Yehezkial, kita tidak dituntun untuk menghindari bencana, melainkan berdiri dan mengakui keberadaan bencana itu. Pandemi Covid-19 adalah nyata, bukan konspirasi pihak tertentu untuk mencari keuntungan diri dan kelompok.
Lebih daripada itu Allah memberi Yehezkial tugas untuk bernubuat kepada tulang-tulang itu untuk hidup kembali. Dia disuruh bernubuat kepada ruakh/roh kehidupan untuk memasuki tulang-tulang kering di lembah itu. Roh itu dipanggil dari empat penjuru bumi. Belajar dari Yehezkial, gereja di masa pandemi ini mendapat tugas untuk menyuarakan maksud Tuhan bagi dunia dalam bencana.
Dalam penderitaan manusia, Allah tidak meninggalkan manusia. Roh Kehidupan bersama dengan ciptaanNya, Roh Tuhan memberi hidup dan menggerakkan tulang-tulang yang sudah sangat kering (dan tidak ada lagi kehidupan). Sebagaimana karya Roh Kudus yang berhembus ketika manusia diciptakan (Kej 2:7), Allah terus berkarya memberi kehidupan kepada manusia. Kepada murid-muridNya yang ketakutan dan bersembunyi, Yesus hadir dan menghembuskan RohNya kepada mereka, memulihkan mereka dari cemas, panik, dan ketakutan (Yoh. 20:22). Dia memanggil manusia pada pertobatan, belajar dari derita hidup untuk pemulihan relasi dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan ciptaan yang lain. Dia menyembuhkan manusia dari kekuatiran dan kecemasan hidup.
Di manakah Allah di pandemi ini? Allah ada dalam penderitaan manusia. Dia bersolider dengana mereka yang sedang ketakutan di ruang-ruang isolasi. Dia memeluk keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi. Allah berkenan memakai mereka yang peduli pada sesamanya sebagai kawan sekerjaNya untuk pelayanan keselamatan.
Pesan kitab Yehezkial bagi gereja-gereja di tahun ini adalah sebagaimana Allah memanggil Yehezkial menjadi nabi di tanah pembuangan.—kita mesti terus bersiap menjadi pelayan Allah di masa yang sulit ini. Di salib Yesus, Allah sendiri bertindak untuk memulihkan manusia. Dia telah masuk ke dalam lembah kematian saat puteraNya meregang nyawa di salib. Namun tidak ada derita yang kekal. Tak ada bencana yang abadi. Maut telah dikalahkan. Yeus telah bangkit dari kematian. Allah memerintah, Allah peduli, Allah bersama kita. Walau jalan salib terasa sangat pekat, kita mesti bertahan untuk berdiri di dekatNya, teguh dalam iman, harap, dan cinta kasih.
Covid bukan hanya kisah tentang kerapuhan manusia. Covid juga berkisah tentang daya Ilahi Allah yang dianugerahkan agar manusia memegang janji harapan bahwa Dia bersama kita. Bahkan bagi mereka yang oleh Covid, tubuhnya kembali bersatu dengan tanah, berbaring dalam cahaya abadi Allah, dalam janji penyertaan Yesus Kristus, Sang Terang Dunia. ***
Kupang, Juli 2021
PS: Terima kasih kepada suami dan anak-anakku sebagai pembaca pertama tulisan ini dan telah memberi koreksi. Sejumlah kawan telah membaca dan memberi beberapa masukan penting. Saya bertanggung-jawab atas isi tulisan ini.