
www.sinodegmit.or.id, Kasus kekerasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) meningkat akhir-akhir ini. Kasus-kasus itu meliputi kekerasan terhadap perempuan dan anak, penculikan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Tentu, yang masih hangat dalam ingatan kita, adalah pembunuhan ibu dan anak, atas nama Astri Suprini Manafe (30) dan Lael Maccabe (1). Kasus ini sempat menyita perhatian publik luas.
Luasnya perhatian publik menunjukkan bahwa masyarakat kita menganggap anomali perbuatan pembunuhan kejam yang demikian. Adalah sebuah sebuah kejahatan ketika kehidupan seseorang/sekelompok orang diancam, ditiadakan. Kesadaran ini ada dalam hati setiap manusia normal. Bagaimana pun, fakta kekerasan, penganiayaan, penindasan, bahkan pembunuhan begitu dekat dengan kehidupan kita, terjadi di sekitar kita, bahkan mungkin dilakukan oleh sebagian kita yang merayakan natal hari ini.
Kita merayakan natal di tengah-tengah kelamnya hidup akibat kekerasan dan kekejaman manusia terhadap sesamanya. Tak terhitung berapa banyak keluarga yang retak dan bubar akibat kekerasan dan penganiayaan. Di sisi lain, akibat covid-19 dan badai seroja, banyak warga kehilangan keluarga, pekerjaan dan sandaran hidup. Tak sedikit pula yang memilih mengurusi diri sendiri, dan tak lagi peduli terhadap sesamanya yang menderita. Dalam situasi ini, Gereja-gereja di Indonesia yang tergabung dalam PGI dan KWI mengajak seluruh umat Kristiani untuk menghidupi kasih Kristus agar persaudaraan diantara sesama umat manusia tetap terjaga dan terpelihara.
Penjelasan teks
Surat 1 Petrus ditujukan kepada jemaat-jemaat yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil, dan Bitinia. Petrus menyebut sidang pembacanya “pendatang perantauan”. Pendatang artinya adalah orang asing dalam masyarakat tempat tinggalnya, tanpa hak-hak dan perlindungannya. Perantauan aslinya berarti orang yang hidup tersebar di luar negerinya sendiri. Ungkapan pendatang perantauan bisa diartikan sebagai kiasan: orang Kristen di dunia ini adalah pendatang, karena tanah air mereka ada di surga (bnd. Ps.1:17; 2:11). Namun 1 Petrus 1:1 juga memberi kesan kuat bahwa sidang pembaca adalah jemaat Kristen yang tersebar di pedalaman kota-kota tersebut dan oleh masyarakat diperlakukan sebagai “orang asing”, tanpa hak apa pun. Mereka baru saja masuk Kristen dan mereka jelas bekas kafir dan hidup dalam lingkungan kafir. Dalam masyarakat, mereka tergolong kelas rendah.
Dalam konteks itu, nampaknya menjadi Kristen di daerah-daerah tersebut dianggap kejahatan yang bisa menimbulkan kesulitan. Orang-orang Kristen menjadi sasaran penganiayaan, difitnah dan dikucilkan karena meninggalkan kekafiran, memisahkan diri dari keluarga dan masyarakat pada umumnya demi Kristus. Mereka merupakan kelompok minoritas yang tidak dipandang. Mereka mengalami diskriminasi sosial dari warga setempat karena identitas mereka sebagai orang Kristen. Menjadi orang Kristen di masa itu sungguh menderita. Mereka berbeda, dan karena itu, dimusuhi dan dijauhi.
Dalam konteks itulah Petrus menulis surat ini. Petrus menegaskan bahwa walaupun orang Kristen harus menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung, mereka dapat memandang kepada teladan yang diberikan Yesus. Yesus, ketika dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkan kepada Dia, yang menghakimi dengan adil (Ps.2:23). Dengan kata lain, penderitaan sebagai orang Kristen berarti: mengikuti Yesus Kristus, menjadi senasib dengan-Nya. Pedoman dan pegangan ialah iman kepercayaan kepada Yesus Kristus, yang menderita, mati, dan bangkit demi manusia.
Oleh karena itu, betapa pun hidup sebagai Kristen penuh penderitaan, tetapi jemaat harus bersyukur dan memuji Allah. Sebab Allah di dalam Yesus Kristus telah datang ke dunia untuk menyelamatkan kita dari dosa, memilih kita menjadi umat tebusan-Nya, dan memberi kita kehidupan yang baru. Atas anugerah Allah itu, ada standar hidup baru yang harus dimiliki orang Kristen. Ada dua nilai utama yang ditegaskan Petrus, yaitu pertama, orang Kristen harus hidup kudus seperti Kristus, dengan tidak menuruti segala hawa nafsu duniawi (Ps. 1: 14-15). Menjadi Kristen berarti mau taat kepada Allah, dan mau hidup sesuai kehendak Allah. Kedua, orang Kristen harus hidup dalam kasih. Betapapun dianiaya, dikucilkan, difitnah, namun tetap mengasihi (Ps.1:22)
Petrus tahu bahwa tidaklah mudah bersikap hidup seperti itu, apalagi jika orang-orang Kristen menderita penganiayaan yang tidak adil. Namun, orang Kristen percaya kepada Allah yang maha kasih. Maka sebagaimana orang Kristen diminta untuk meneladaninya dalam penderitaan, mereka juga diminta untuk meneladani Kristus di dalam kasih. Kasih yang bagaimana? Dikatakan mereka diminta mengamalkan kasih persaudaraan. Kata kasih persaudaraan diterjemahkan dari bahasa Yunani, “philadelphia”. Kata philadelphia berasal dari dua suku kata, yakni “phileo/philia”, yang berarti kasih/mengasihi, dan “adelphos”, yang berarti saudara. Philadelphia/kasih persaudaraan merupakan sesuatu yang khas Kristiani. Kristus datang ke dunia, dan menyatukan semua orang percaya menjadi satu persekutuan. Dalam arti itu, walaupun mereka berbeda latar belakang, namun bersaudara di dalam Tuhan Yesus, karena darah Kristus mengikat mereka. Hal yang demikian tidak terjadi di luar komunitas orang percaya saat itu. Oleh karena itu, betapa pun hidup sebagai minoritas yang menderita, dikucilkan, difitnah, dan dianiaya, namun mereka mesti senantiasa mau mengasihi, saling memperlakukan sebagai saudara, bahkan terhadap musuh sekali pun. Kasih harus menjadi karakter hidup orang Kristen, apapun kondisinya.
Petrus tidak main-main dengan tuntutannya bagi orang Kristen. Itulah sebabnya ia menegaskan, kasih persaudaraan yang dibangun harus tulus ikhlas, sungguh-sungguh, dan dengan segenap hati. Mengasihi dengan tulus ikhlas (KJV: unto unfiegned love), artinya tidak pura-pura, tidak munafik. Mengasihi mesti benar-benar jujur dan tulus. Mengasihi dengan sungguh-sungguh (RSV: for a sincere love), artinya sungguh-sungguh dari hati, tidak sekedar luapan emosi atau ungkapan kata-kata. Bahkan mengasihi dalam frasa yang kedua dalam ayat 22 ini jauh lebih dalam. Ketika Petrus mengatakan “hendaklah kamu saling mengasihi dengan segenap hatimu, kata yang dipakai di sini adalah “agapasate”. Kata tersebut berasal dari kata dasar agapao/agape, yakni kasih tanpa syarat, kasih Allah. Artinya standar kasih yang harus dimiliki oleh orang Kristen untuk mengasihi sesamanya adalah kasih Allah, kasih tanpa syarat, kasih yang rela berkorban, kasih yang memberi tanpa berharap kembali, kasih tanpa batas. Sebagaimana Allah mengasihi manusia sehingga Ia rela datang ke dunia walaupun Ia harus menderita, orang Kristen pun mesti mau mengasihi saudaranya walaupun ia ada dalam kesulitan akibat penganiayaan, fitnah dan pengucilan.
Pesan Petrus memang bersifat internal, diperuntukkan bagi orang Kristen, tetapi bukan berarti ia mengajarkan sebuah eksklusivisme. Petrus hendak mendidik jemaat agar walau pun menderita, mereka mesti membangun solidaritas dan bela rasa di antara mereka, saling mengasihi sebagai saudara bahkan dengan standar kasih Allah. Dalam lingkup internal inilah orang kristen berlatih bagaimana berbela rasa, bersolider, mengasihi, sehingga pada akhirnya mereka akan mampu untuk mengasihi orang lain bahkan musuh sekali pun.
Mengapa tuntutan ini diberikan kepada jemaat Kristen yang sedang menderita? Karena mereka adalah orang-orang yang telah dilahirkan kembali oleh firman Allah. Mereka telah menerima kebenaran di dalam Kristus, bahwa Allah mengasihi mereka dan menyelamatkan mereka. Allah menerima mereka dan menjadikan mereka anak-anak-Nya. Maka kasih Kristus yang sudah mereka nikmati, mesti menggerakkan mereka untuk menerima orang lain dan mengasihinya. Kebenaran Firman Allah mengajari tentang kasih Allah, dan menuntut mereka untuk menghidupinya melalui laku hidup yang mau menerima dan mengasihi orang lain. Kebenaran firman itu diajarkan langsung oleh Yesus sebagaimana dalam injil: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi (Yoh.13:34-35)”.
Hidup dalam kasih persaudaraan itulah yang dikehendaki Kristus di antara anak-anak manusia sehingga ada sukacita di dunia dan nama Tuhan dimuliakan di surga (bnd. Luk. 2:14). Dan memang itulah tujuan kedatangan Kristus di dunia. Dan Ia sendiri memberi teladan bagaimana mengasihi, berbela rasa, dan menyelamatkan manusia dari penderitaannya. Dengan demikian, sudah sepatutnya orang Kristen hidup dalam persaudaraan dengan semua orang dengan penuh kasih walaupun mungkin sedang menderita. Petrus mengatakan: hendaklah kamu mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk menjadi berkat (1 Petrus 3:8-9).
Penutup
Hari ini, natal dirayakan di seluruh dunia. Semua orang dapat merayakan natal. Mereka ikut berlibur, bertukar kado, berpesta pora, makan yang enak, bersalam-salaman, menyampaikan ucapan salam damai natal, sebagai bagian dari perayaan natal. Semua seremoni itu tidak salah, namun tanpa faedah bila tidak ditindaklanjuti dengan praktek hidup yang meneladani Kristus. Bacaan hari ini mengedukasi kita beberapa hal. Pertama, Kristus yang kita imani sebagai Tuhan yang lahir ke dunia itu adalah Allah maha kasih, yang menerima kita apa adanya, mengasihi kita dan menjadikan kita umat kesayangan-Nya walaupun sesungguhnya kita tidak layak. Oleh karena itu, kita yang telah menikmati kasih-Nya, hendaklah kita mau mengasihi orang lain dan menerimanya sebagai saudara di dalam Tuhan. Ciri dari kasih adalah bahwa ia selalu mau bergerak keluar, menjumpai sesama. Maka kalau ada kasih dalamdiri kita, dengan sendirinya kita peduli terhadap sesama, dan mengasihi mereka.
Kedua, kasih kita harus menjangkau semua orang. Pertama-tama merangkul orang-orang dekat, saudara, sahabat, teman, sesama orang beriman, lalu orang lain/asing, bahkan musuh sekali pun. Pesan Petrus bersifat internal, saling mengasihi sebagai saudara diantara orang-orang percaya, bukan untuk membangun eksklusivisme. Tetapi dengan berlatih mengasihi di dalam komunitas, mereka akan mampu mengasihi orang lain bahkan musuh sekali pun. Dewasa ini, medsos digital memberi kemudahan untuk berkomunikasi dengan orang di mana pun. Bersamaan dengan itu, kadang-kadang kita lebih akrab dengan orang-orang yang bahkan mungkin belum pernah kita temui. Kita mudah memberi perhatian pada orang-orang asing itu melalui komentar-komentar di medsos digital, mengapresiasi keberhasilan mereka, dan bahkan rela menolong kesulitan mereka. Itu baik, sesuai kehendak Tuhan juga.
Namun menjadi masalah, apabila orang-orang seisi rumah, sanak saudara, sabahat dan rekan kerja, orang-orang se-lembaga, yang sebenarnya banyak membantu kita, bahkan menjadi “tulang punggung” kehidupan dan keberhasilan kita, tetapi kita abaikan, tak pernah kita beri perhatian apa lagi apresiasi. Petrus menegaskan, kasih persaudaraan harus tulus ikhlas, sungguh-sungguh, dan dengan segenap hati. Kasih yang tulus, jujur, dan sungguh-sungguh harus mampu menjangkau pihak luar, justru karena terlatih kesungguhannya dari dalam, dengan orang-orang dekat. Maka kasih itu juga mengandung unsur keadilan sebagaimana dikatakan Filsuf Perancis Emanuel Levinas, yaitu mampu menjangkau “orang-orang jauh”, tetapi juga tidak mengabaikan “orang-orang dekat”. Kasih Kristus harus menggerakan kita untuk berlaku adil juga.
Ketiga, karena kasih itu juga menjangkau “orang asing” bahkan musuh, maka mengasihi juga berarti menerima perbedaan. Kalau orang-orang kafir di masa itu memusuhi kelompok minoritas Kristen yang berbeda dari mereka, maka orang Kristen diminta untuk menjadikan siapapun sebagai saudaranya dan mengasihinya dengan segenap hati. Seringkali kita tidak siap menghadapi perbedaan pendapat, pandangan, keyakinan, kebudayaan, sehingga kita mudah memusuhi mereka yang tidak sejalan/sama dengan kita. Merayakan natal, berarti belajar mengasihi yang lain, orang asing, yang berbeda pandangan dan latar belakang sebagaimana Allah menerima kita apa adanya. Kasih Kristus bukan hanya menggerakan, tetapi juga memampukan kita untuk mengasihi siapapun dengan segala latar belakang perbedaan dan pandangannya.
Keempat, dalam era covid-19 dan pasca-seroja ini, di kanan kiri kita ada banyak orang menderita. Bahkan mungkin kita termasuk yang menderita karena berbagai pergumulan. Namun belajar dari jemaat-jemaat mula-mula, kasih Kristus yang sudah kita nikmati, mestinya mendorong kita untuk berbela rasa dengan sesama yang menderita. Tetangga-tetangga yang berkekurangan, janda, duda, yatim-piatu, orang-orang susah, harusnya menjadi sasaran perhatian dan cinta kasih kita. Kita membuka hati, merasakan penderitaan mereka, dan membantu mereka. Selamat merayakan natal, selamat mengasihi dengan kasih Kristus, bukan hanya hari ini, tetapi juga besok, lusa, dan seterusnya, karena kasih mau kita jadikan sebagai sebuah praktek hidup sehari-hari. Tuhan memampukan kita. Amin.