NAIBONAT, www.sinodegmit.or.id, Menindaklanjuti kerjasama GMIT dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi (Kementerian Desa PDTT) pada 20/10-2017 lalu, Majelis Sinode GMIT bertindak cepat dengan menggelar Seminar dan Lokakarya bertema “Perencanaan Pembangunan Partisipatif dan Pengelolaan Dana Desa”.
Semiloka ini dihadiri sekitar 50 pendeta se-Kupang daratan dan 4 orang kepala desa dari 4 klasis. Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa, Taufiq Madjid didampingi Dirut Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), Mohammad Fachry juga hadir dalam kegiatan ini.
Dalam sambutannya, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa mengatakan bahwa saat ini 13% dari 74.910 desa di 434 kabupaten di Indonesia termasuk kategori miskin dan sebagian besar berada di kawasan Timur Indonesia. Bahkan 50-60% dari desa-desa tersebut masuk dalam kategori desa tertinggal dan sangat tertinggal. Karena itu pemerintah berupaya untuk mendorong pembangunan desa-desa tersebut melalui dana desa dengan melibatkan berbagai pihak termasuk agama-agama.
“Dalam upaya mendorong pembangunan desa-desa tertinggal, Kementerian Desa tidak bisa sendiri. Kami harus menggandeng banyak pihak termasuk tokoh agama. Dan GMIT dengan anggota jemaat jutaan, merupakan kekuatan yang bisa ikut bersama Kementerian Desa mengentaskan kemiskinan di desa-desa,” ujarnya.
Madjid juga mengingatkan para kepala desa agar mengelola dana desa sesuai peruntukannya. Ia juga meminta gereja untuk membantu mengawasi pemanfaatan dana tersebut.
“Dana desa itu dana milik masyarakat, bukan milik kepala desa, bukan milik perangkat desa. Dana desa dipersembahkan untuk masyarakat, untuk jemaat kita. Dan mereka harus tahu dan ikut menentukan penggunaannya,” tegasnya.
Selain itu ia juga meminta perhatian gereja terkait penggunaan 30% dari dana desa untuk membayar honor para pekerja yang terlibat dalam pekerjaan pembangunan di desa.
“Presiden sudah perintahkan 30% dari pemanfataan dana desa untuk membayar upah pekerja. Jadi kalau saudara-saudara kita di desa kerja, harus diberi upah. Jangan karena alasan gotong royong maka uang itu tidak diberikan. Gereja harus memastikan itu sebagai sebuah pesan moral kepada para kepala desa. Tolong upah itu di bayar. Tidak mungkin orang bekerja tidak dibayar. Tentunya honor mereka disesuaikan dengan kondisi desa masing-masing dan ini diputuskan dalam musyawarah desa,”tandasnya lagi.
Terkait kekuatiran banyak pihak menyangkut pengelolaan dana desa, Madjid menegaskan bahwa ada tiga rasa yang mesti menjadi patokan dan dimiliki oleh para stickholder yang mengelola dana desa yakni rasa bersalah, rasa malu dan rasa takut.
Sementara itu Ketua MS GMIT dalam sambutannya mengatakan bahwa komitmen GMIT terhadap pembangunan desa sudah ada jauh sebelum GMIT berdiri. Hal itu dibuktikan dengan berdirinya sekolah-sekolah dan klinik di desa-desa di wilayah pelayanan GMIT.
“Komitmen GMIT dalam pembangunan di desa-desa sudah ada sejak GMIT hadir di tengah masyarakat NTT bahkan sebelum GMIT berdiri. Keterlibatan ini terwujud misalnya melalui pendidikan dan klinik kesehatan. Gereja melihat pelayanannya tidak hanya sebatas pada iman dan sakramen tapi juga terlibat dalam pembangunan hidup manusia seutuhnya. Dalam kesadaran holistik itu mengatarkan Majelis Sinode GMIT dari periode ke periode mencari jalan untuk terlibat sungguh-sungguh dalam pemberdayaan masyararakat desa,” tutur Pdt. Mery.
Ketua MS GMIT berharap semiloka yang berlangsung selama dua hari tersebut menjadi kesempatan belajar bersama dan mencari sinergi yang baik antara gereja dan pemerintah di desa guna memajukan pembangunan masyarakat desa.
Semiloka berlangsung di aula gereja Elim Naibonat, 15-16/11-2017 ini, menghadirkan 4 orang pemateri yakni, Ketua MS GMIT, Pdt. Mery Kolimon, Ir. Zet Malelak, Dirut PMD, Mohammad Fachry, Kasi Intel Kejaksaan Negeri Kupang, Langga Prabowo, Sekretaris BPMD kabupaten Kupang, Anis Kase dengan moderator Selvister Ndaparoka.***