KUPANG, www.sinodegmit.or.id “Pemerintah tidak lagi membuat janji tapi pemerintah hadir sampai di desa paling jauh dari republik ini melalui dana desa yang nilainya kurang-lebih 1 Milyar. Pertanyaannya adalah seberapa besar partisipasi gereja dalam forum musyawarah desa guna mengelola anggaran itu? Kalau gereja tidak terlibat dalam musyawarah desa dan mencermati kegiatan di level masyarakat maka saya kira kita kehilangan moment untuk turut berpikir cerdas dan berkualitas dalam menunjang program pedesaan,” demikian pernyataan Dirjen Kementrian Desa Pengembangan Kawasan Pedesaan, Pembangunan Daerah Tertinggal, Yehozua Markus Yoltuwu pada kegiatan pelatihan “Pendeta GMIT Suka Tani” Jumat, 28/04-2017.
Markus Joltuwu sangat berharap gereja termasuk GMIT melalui para pendeta terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat desa sehingga memungkinkan adanya kemajuan masyarakat desa. Keterlibatan itu mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. “Kami sangat berharap gereja turut menunjang program pemerintah. Intervensi program pembangunan desa ada di tangan Bapak, Ibu Pendeta sebagai tokoh jemaat, tokoh masyarakat dan intelektual. Tidak ada sarjana yang pangkatnya tinggi di desa. Pendeta adalah teolog di desa karena itu keterlibatan gereja penting guna menunjang aktifitas yang memungkinkan desa menjadi maju,” ungkap Markus Yolwutu yang juga merangkap tugas sebagai Dirjen Pembangunan Daerah Tertentu.
Kepada 50 orang pendeta GMIT yang tergabung dalam kegiatan “Pendeta GMIT Suka Tani” Dirjen Pembangunan Daerah Tertentu, Markus Yoltuwu, menjelaskan bahwa pemanfaatan dana desa bisa digunakan untuk infrastruktur jalan desa, air bersih, listrik, Paud, tambatan perahu, pengembangan rumput laut, gula merah, kacang, kemiri, perahu ketinting, bantuan modal, dst-nya.
Yolwutu Bahkan mengusulkan agar kerjasama Kementrian Desa dan Gereja lebih kuat, ia meminta GMIT memperbarui MOU yang 2 tahun sebelumnya sudah berjalan. “Saya minta Pak Fary Francis untuk kontak Pak Menteri Pertanian kalau ada event besar GMIT undang Pak Menteri datang bicara, terus bikin MOU untuk perbarui MOU yang lama supaya kita bisa kucurkan bantuan dana melalui Sinode GMIT kepada Jemaat yang bisa dikonstruksikan dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa (Bumdes),” ujarnya.
Ia juga menyinggung data BPS tentang indeks kemiskinan pada awal tahun 2017, yang menempatkan provinsi di wilayah Indonesia Timur masing-masing secara berurut: Papua, Papua Barat, NTT dan Maluku sebagai provinsi termiskin. “Saya kira di Papua, NTT dan Maluku bukan miskin tetapi tidak ada uang cash di tangan. Jadi kalau BPS hitung bahwa miskin karena uang cash, memang betul tapi di belakang sana ada kandang kambing, babi, sapi, ayam, keladi, ubi, pisang dst. Dalam kaitan dengan indeks kemiskinan sebagai orang Maluku, Yoltuwu yang juga pernah menjadi pembicara pada Konsultasi Nasional Perempuan PGI di Kupang pertengahan tahun 2016, merasa heran dengan hasil survei indeks kebahagian di 34 provinsi yang menempatkan Maluku di urutan kedua. Di satu sisi Maluku provinsi termiskin tapi pada saat yang sama masyarakatnya paling bahagia. “Apa relevansinya?” kritiknya.
Dirjen Kementrian Desa Pengembangan Kawasan Pedesaan, Pembangunan Daerah Tertinggal ini mengaku sebagai bentuk dukungannya atas antusias para pendeta membangun jemaat di desa-desa di Timor, meski baru pada Kamis Sore dilantik merangkap tugas sebagai Dirjen Pembangunan Daerah Tertentu, pukul 3:00 subuh langsung terbang ke Kupang memenuhi undangan Komunitas Pendeta GMIT Suka Tani. Bersama anggota Majelis Sinode GMIT dan juga ketua Komisi V DPR RI Penatua Ir. Fary Francis, Dirjen Kementrian Desa memberikan bantuan kepada para 50 orang peserta bibit tanaman holtikultura seperti: cabe, mentimun, buncis, kacang panjang dll. untuk dikembangkan di jemaat masing-masing.