Kupang, www.sinodegmit.or.id, “Saya sudah 20 tahun berjemaat di jemaat GMIT Paulus- Kupang. Tahun 2014 saya dicalonkan menjadi majelis jemaat mewakili rayon. Akan tetapi karena keterbatasan penglihatan, pencalonan saya dibatalkan seorang majelis senior. Dia bilang, “Kalau dia dipilih apa yang dia bisa lakukan di jemaat?” Demikian kesaksian Dicky Dillak (36), salah satu penyandang disabilitas/difabel pada lokakarya teologi inklusiv yang diselenggarakan oleh Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Teologi Majelis Sinode (MS) GMIT.
Mengingat pengalaman diskriminatif yang dialaminya itu, dihadapan 30-an peserta kegiatan lokakarya yang terdiri dari pendeta-pendeta jemaat dan ketua-ketua klasis Dicky mengatakan:
“Mungkin pengalaman saya ini bisa menjadi pelajaran bagi bapak-mama pendeta semua supaya ketika melihat penyandang disabilitas jangan melihat pada fisiknya saja tetapi mungkin ada kemampuan yang bisa digunakan untuk pelayanan,” tegasnya. Saat ini Dicky berprofesi sebagai Master of Ceremony (MC) dan pengajar huruf Braile di panti yang dikelola Dinas Sosial Provinsi NTT.
Selain Dicky yang mewakili Protestan hadir pula dalam lokakarya ini beberapa penyandang disabilitas lintas agama yang berasal dari Islam, Katolik dan Hindu.
Terkait sikap diskriminasi masyarakat termasuk gereja terhadap kaum disabilitas Ketua MS GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon pada kesempatan yang sama mengakui hal itu. Menurutnya, bisa jadi pendeta bahkan tidak tahu berapa banyak kaum difabel di jemaatnya. Ia meminta para pendeta serius memberi perhatian bagi kaum difabel.
“Di gereja mereka (difabel, red.) termarjinalisasi. Juga di masyarakat mereka terbatas dalam akses pendidikan. Ketika orang menimbang antara anak laki-laki dan perempuan pasti mereka kasisekolah anak laki-laki. Ketika orang timbang antara anak yang normal dan yang difabel pasti mereka kasi sekolah yang normal… Bagaimana gereja bergumul dengan isu-isu ini. Suara kaum difabel tidak didengar. Banyak pendeta yang baru tahu. Talenta dan kemampuan mereka tidak diakui, diperlakukan sebagai manusia kelas dua, objek belas kasihan, dsb-nya. Dan pengalaman kita dengan kaum difabel perempuan, mereka rentan terhadap kekerasan seksual. Saya pernah melayani di Bijeli, nona yang biasa pegang saya punya tas, dua kali melahirkan tanpa bisa memberi tahu siapa ayah dari anak-anaknya. Jadi tolong perhatikan, jadi jangan main-main dengan isu-isu ini,” tegas Pdt. Mery.
Melalui lokakarya teologi inklusif yang bertema, “Merangkul Keberagaman Melayani Bersama Difable” ketua MS GMIT mengharapkan adanya pembaharuan dalam cara pandang gereja. Gereja dan agama-agama kata Pdt. Mery, selama ini lebih banyak berbicara tentangdisabilitas ketimbang berbicara dengan disabilitas. Karena itu, ia berharap para pendeta dapat belajar dari komunitas difabel yang hadir dalam lokakarya ini, dan sepulangnya bisa menjadi pelajaran berharga guna pengembangan pelayanan bersama kaum difabel.
Pdt. Nicolas Lumba Kaana, M.Th, ketua panitia penyelenggara lokakarya mengatakan bahwa kegiatan yang berlangsung selama tiga hari sejak 4-6 Oktober 2017 di jemaat GMIT Pohonitas, klasis Kota Kupang ini, selain berisi seminar dan diskusi tetapi juga peserta diajak mengunjungi komunitas-komunitas difabel lintas agama di Kota Kupang. Bahkan mereka juga mengunjungi pesantren Al-Ikhlas di Nunbaun Sabu untuk belajar bagaimana pemahaman Islam tentang difabel dan sejauh mana anak-anak difabel diterima dalam komunitas mereka.
Lokakarya Teologi Inklusiv yang dilaksanakan oleh UPP Teologi kali ini merupakan yang ketiga kalinya. Sebelumnya kegiatan ini berlangsung di teritori Alor bertema merawat keragaman agama dan etnis dan pada bulan Agustus 2017 yang lalu juga dilaksanakan di klasis TTU dengan tema menjalin relasi memperkuat jaringan mengatasi kekeringan.***