KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Menyikapi intensitas gerakan radikalisme yang makin meresahkan, Jumat 18 November 2016, bertempat di kantor sinode GMIT, berlangsung diskusi dengan nara sumber Pdt. Dr. Andreas Yewangoe dan Pdt. Dr. John Campbell-Nelson. Kegiatan ini dihadiri sekitar 70 peserta dari kalangan pendeta, mahasiswa dan aktivis LSM.
Yewangoe menyebut radikalisme punya sejarah panjang di kawasan Timur Tengah. Di Indonesia dimotori kelompok Salafiah dan Wahabi yang berasal dari Arab Saudi. Dengan dukungan aliran dana yang besar mereka membangun universitas-universitas untuk mengembangkan ideologi radikal dan pengkaderan secara sistematis. Mereka juga membentuk sayap organisasi seperti Hizbut Tahrir, FPI dll. Gerakan mereka sudah berlangsung lama dan sudah menyebar kemana-mana namun pemerintah terkesan membiarkan mereka tumbuh. Era reformasi yang memberi ruang terbuka bagi kebebasan berpendapat menjadi momentum yang menguntungkan bagi mereka terus berkembang. Pdt. Dr. John Campbell-Nelson mensinyalir tumbuh-kembangnya kelompok-kelompok radikal ini punya kaitan dengan golongan elit tertentu yang sengaja mengasuh mereka untuk kepentingan tertentu. Sebab, kata Pdt. John, tidak mungkin mereka begitu merajalela kalau tidak dilindungi oleh “orang-orang besar”. Namun berdasarkan pengalamannya, radikalisasi tidak akan bertahan lama dalam lingkungan yang menghargai kemajemukan. Oleh karena itu cara melawan radikalisasi salah satunya adalah memelihara sebuah masyarakat sipil yang ramah dan bersahabat.
Di kawasan Indonesia Timur, gerakan radikal agak sepi, namun harus tetap diwaspadai. Survei tentang sikap intoleran pelajar yang dilakukan oleh Wahid Institute sebagaimana dikutip Yewangoe, menunjukan bahwa siswa-siswa masih menghargai keragaman. Namun tetap ada potensi intoleransi yang mesti di antisipasi dengan kampanye agama damai dan edukasi melalui lembaga-lembaga pendidikan.