Pengantar
Barangkali akan timbul pertanyaan, mengapa tumbuhan dan pepohonan dapat disebut sebagai “pribadi”, “berkepribadian”. Agak metaforik jika dianggap demikian. Tetapi anggapan itu tidaklah berlebihan, sampai kita dapat mengetahui alasan mengapa ia pantas disebut demikian. Jika alasannya akan disediakan dalam tulisan ini, maka tugas pertama kita ialah menyimaknya hingga selesai. Alasan yang tersedia akan diuraikan berdasarkan argumentasi teologis, yaitu ekoteologi sakramental yang dapat saya saripatikan bagi kita. Setelah itu barulah dikonfirasi juga berdasarkan argumentasi sains dan filsafat botani, mengapa tumbuhan dan pepohonan berpribadi. Argumentasi tahap pertama merupakan hasil penelitian saya. Argumentasi berikutnya adalah hasil penemuan para ilmuwan di bidang botani dan filsafat botanikal.
Jadi, tulisan ini akan merupakan bagian inheren dari sebuah kajian multidisiplin, dengan pendekatan terintegrasi antara sains, filsafat botani dan ekoteologi. Saya berharap, kita dapat menarik manfaat tulisan ini bagi sebuah spirit, spiritualitas, etos dan gerakan restoratif yang bertepatan dengan peringatan Hari Gerakan Satu Juta Pohon Sedunia pada tanggal 10 Januari. Gerakan ini akan menunjukkan ketertarikan dari kesadaran spesies diri kita sebagai bagian integral dari konfigurasi alam semesta yang sistemik dan saling terhubung dalam proses kosmologis di tengah krisis alam semesta dan pandemik global. Kita akan memulai uraian ini dari ekoteologi sakramental.
Pentingnya Pohon
Betapa pentingnya tumbuhan dan pepohonan bagi kehidupan kita. Namun, ia sering dianggap remeh sekaligus penting, terutama ketika manfaatnya diambil bagi kebutuhan manusia. Dalam berbagai latar belakang ideologis, paradigma dan nilai dominan manusia dalam menarik manfaatnya, seringkali menyebabkan terjadinya krisis. Padahal manusia sadari bahwa jika manfaat dan paradigma asimetris/hierarkis yang menopang cara mendekati dan memanfaatkan pohon mendatangkan bencana alam dan sosial. Sebuah masyarakat manusia modern yang menyadari bahaya krisis ekologis dan lingkungan tetapi tetap melakukan pengrusakan dapat disebut masyarakat schizofrenik dan ‘berstandar ganda’. Manusia menyadari bahaya kedua bencana tersebut ketika gagal membangun paradigma dan pendekatan etis terhadap tumbuhan dan pohon, yang representasi ekologisnya adalah hutan, berbagai tanaman berkayu. Pendekatan dan paradigma lama yang beresiko dan egosentris inilah yang harus digeser. Di sinilah kita akan memperoleh penjelasan mengenai pendekatan apakah yang perlu digantikan, supaya lebih integratif, saling terhubung, dan respektif.
Ekoteologi Sakramental
Dalam memahami hubungan manusia dengan kenyataan ekologis, seperti hubungan manusia dengan keutuhan alam semesta, agama patut memainkan peran penting. Di sinilah peranan ekoteologis. Kita akan mendapati bahwa ekoteologi Kristen yang muncul pertengahan abad 20 dan 21 SZB, nampaknya memuncak atau berjalan kembali (sein zum sakramen) kepada dalam apa yang kita sebut sakramental. Namun, apa itu ekoteologi sakramental? Sebelum menjawabnya, baiklah dikonfirmasi dahulu, bahwa hal tersebut terjadi karena secara historis teologis, sakramentalisme telah diapresiasikan kembali oleh kalangan Protestan (prebiterian) dan sakramentalisme telah menjadi pusat berteologi. Jadi, sakramentalisme bukan barang pusaka tradisi gereja Katolik, Orthodox dan Anglican.[1]
Kita dapat memperoleh definisi ekoteologi sakramental sebagai refleksi kritis-sistematis dan terintegrasi pelbagai disiplin ilmu dengan sandarannya utamanya pada sumber-sumber teologi Kristen (Alkitab, multitradisi teologis, dan pengalaman) tentang hubungan integratif Allah dengan dunia; belajar dari pengetahuan non-teologis dan pandangan agama-agama [tradisional dan agama besar], yang rela didekonstruksi, rekonstruksi, dengan kekritisan yang sesuai kaidah ilmiah secara bertanggung jawab; yang berdasarkan keprihatinan faktual-kontekstual antara krisis lingkungan fisik dengan krisis kemanusiaan (ecojustice); suara-suara kredibel para ilmuan alam, teknokrat hijau, sastrawan, budayawan, seniman, aktivis, masyarakat adat; dan berkonsentrasi pada konteks kesadaran ekokrisis kontemporer untuk mencapai kemaslahatan planetaris (common Earth) dan regional (commons regional):tentang pembunuhan dunia kehidupan (lifeworldcide), pengaturan rumah bersama (oikos, oikonomia), hubungan manusia dengan lingkungan dan hakekat alam semesta.[2] Definisi ini menjadikan penelitian ekoteologi Kristen yang pada intinya adalah meneliti hubungan antara Allah dengan ciptaan-Nya, atau hubungan antar-ciptaan dengan Allah.[3] Ekoteologi pada akhirnya adalah sebuah ilmu dan cara hidup.
Berdasarkan definisi tersebut, kita dapat memahami bahwa ekoteologi sakramental secara teoritis adalah sebuah model ekoteologi yang integral. Ekoteologi yang berciri integral adalah ekoteologi yang muncul pada abad ini, sebagai model integral. Bisa kita temukan pembicaraan model ini pada banyak ekoteolog kontemporer, selain pada ensiklik Borgoglio.[4]
Sebagai ekoteologi yang integral, ekoteologi sakramental yang bertolak dari pengalaman ekologis dan mendekati agama dengan memandang hubungan Tuhan memiliki hubungan internal dan primordial dengan ciptaan-Nya. Ia berada di dalam, di antara ciptaan sebaliknya, ciptaan di dalam Tuhan (Allah). Ia adalah Allah yang panenteis.
Akibatnya, kalau kita ingin memahami ciptaan lainnya, itu ada dalam bingkai kekerabatan atau keluarga (khinsip), yang kita sebut familia Dei. Kita adalah keluarga besar alam semesta. Sebagai orang Kristen, kita menyadari hubungan Allah dengan ciptaan-Nya melalui cara beradanya yang transenden sekaligus imanen. Cara berada inilah yang membuat kita mengenal bahwa Bumi dilingkupi oleh sakramentalitas. Bumi adalah tanda kehadiran dan penyataan Allah. Cara berada ini kita sadari sebagai kesadaran sakramental (sacramentality consciousness [SC]).[5] Dengan menyadari sakramentalitas ini, kita jadi tahu bahwa kesadaran kita berpusat pada penciptaan Allah (creation-centered consciousness [C-CC]).[6] Kesadaran ini bersifat intelektual dan spiritual. Jika kesadaran ini kita punyai, maka kita memahami pula bahwa kita memiliki kesadaran interrelasional (relational consciousness [RC]). Kesadaran ini melahirkan bentuk-bentuk etika ekologis Kristen yang melihat pengaruh timbal balik antara krisis lingkungan fisik dengan krisis kemanusiaan. Maksudnya, apabila terjadi perusakan lingkungan fisik dalam skala besar, maka berakibat pada krisis pada ranah hidup manusia dan sebaliknya.
Kesadaran relasional, antara spesies manusia dengan lingkungan fisik, mewujudkan imperatif etis: ekologis sosial sakramental yang melihat penting memerhatikan kemeralatan kamanusiaan sebagai bagian dari krisis ekologis yang multidimensi, dan ekoetik (ecoethic). Ekoetik sosial dibagi menjadi: (1) keadilan ekologis (ecojustice [EJ]). Distribusi keadilan sumberdaya diatur untuk semua makhluk, memerhatikan subsidiaritas/Yubeliumitas (dari kata Yobel/Jubilee Yahudi): orang miskin dan tertindas dan semua makhluk mendapat hak hidup.[7] Etika ini mengutamakan pemanfaatan yang adil. Keadilan ekologis adalah tindakan menghubungkan tanggung jawab untuk alam dengan tanggung jawab untuk sesama. Di situ keadilan atas alam dan sosial terwujud. (2) etika ekologis sosial (ecosocial ethic [EE]). Etika ini mencari kebaikan ekosistem dan spesies serta individu, dan lingkungan sosial (social milieu) dengan berbagai komunitas dan berbagai individu. Dalam etika ini, kebutuhan sosial manusia tidak harus dipertentangkan dengan kebutuhan berkelanjutan makhluk lain.[8] Hal ini karena masalah utama ekokrisis terletak pada relasi moral yang buruk dari manusia dengan alam, selain seluruh perilaku. Paradigma dan praksis etika menunjukkan relasi. Ia menuntut penggantian kesadaran antroposentrisme yang mendominasi alam dengan relasi interdependensidengan ciptaan. Serta, mengakui nilai intrinsik ciptaan yang equal dan menghormatihak asasi alam (natural right), yang melekat pada semuanya.
Melalui perspektif sakramental, kita dapat melihat bahwa komunitas biotik dan abiotik memiliki nilai entrinsik (intrumental) dan intrinsik yang diperoleh dari cara berada Allah. Itu artinya, kita diperingatkan untuk dengan hormat, mendekati dan memanfaatkan ciptaan lain secara bertanggung jawab bagi kebutuhan kita. Jadi, pandangan ekoteologis ini mengarahkan tujuan pada: memikirkan tiga tujuan keberlanjutan dalam bioregionalisme, yakni keberlanjutan ekologis (ecological sustainability), keadilan sosial (social justice), dan manusia (human well-being).[9] Oikonomia alam dihormati bersama ekonomi manusia.
Dalam hal ini, ekoteologi sakramental menuntut apresiasi dan komitmen moral agama-agama lainnya dengan masyarakat adat supaya setia melindungi dan melestarikan keanekaragaman kehidupan (hayati) di dalamnya. Tentu saja ditunjang juga dengan apresiasi pada temuan sains, teknologi terbarukan, aktivis lingkungan, dan berbagai elemen budaya dan seni.
Berdasarkan model sakramental, maka kita sebagai orang beriman dapat memahami tiga hal menonjol: (1) relasi terikat Allah dengan ciptaan membuat kita memikirkan kembali hubungan kita dengan ciptaan lain dan membuat segala ciptaan saling berinteraksi sosial. (2) kita dituntut secara moral sebagai spesies berkesadaran religius untuk bergerak untuk menjadi dan memberi jalan keluar bagi krisis lingkungan fisik dengan krisis kemanusiaan. (3) kita memedomani bahwa lingkungan hidup adalah sebuah keluarga ciptaan dan mereka patut dipandang sebagai “berpribadi”, “person” dan bukan benda material objektif semata. Hal ini membuat kita dapat berinteraksi dengan makhluk hidup lain sebagai interaksi antarpribadi (subyek). Begitu juga terhadap tumbuhan berkayu atau pohon.
Filsafat Botani dan Konfirmasi Ilmiah: Tumbuhan-Pohon sebagai “Persona”
Kita telah menemui pemahaman bahwa model sakramental adalah ekoteologi integral. Model itu membuat kita mengerti bahwa interaksi kita dengan makhluk lain adalah antarpribadi. Apakah ini ada konfirmasinya pada sains? Jelas, iya. Jika dalam tradisi teologis, kita pernah mendengan legenda St.Fransiskus yang berbicara dengan hewan dan pohon, malah dalam tradisi filosofis, kita memperoleh gambaran yang mirip dalam bentuk pertanyaan, “How should we speak to trees, how should we treat the trees, other animals and each other that all of us can live and live at peace?”[10] Pertanyaan ini bukan dugaan, tetapi sementara dalam proses penemuan ilmiah. Tumbuhan dapat memiliki tanda-tanda yang mirip dimiliki manusia, tetapi tidak indentik. Hal ini bagi peradaban manusia selama ini dilihat sebagai “the hidden life”, yang sedang “diwahyukan” bagi kita.
Ilmuwan (biolog, antropolog, forester, ekolog) dengan teknologi tertentu telah menemukan sebuah rahasia yang barangkali hanya diketahui/lebih awal disadari oleh masyarakat adat tentang pontensialitas bahwa tumbuhan dapat berbicara, mendengar, berkomunikasi, merasakan, berkemauan (volition), bahkan berjalan, dan memiliki perangkat kesadaran (awareness), perasaan dan inteligensia yang khusus. Bahkan, belakangan diklaim bahwa manusia dapat mempelajari bahasa tumbuhan, dengan cara khusus. Kalau begitu, dapatkah kita mendefinisikan ulang relasi sosial dan komunikasi kita?
Orang yang fasih mempertahankan temuan Plant Intelligence, adalah Tony Trewavas. Ia berpendapat bahwa tanaman dapat menunjukkan aspek mentalitas yang lebih canggih seperti penalaran dan pilihan. Hal itu menampilkan perilaku mereka. Perkembangan menarik lainnya dalam penelitian sains kontemporer adalah bertambahnya bukti yang menunjukkan bahwa tumbuhan memiliki fisiologi untuk mendukung aktivitas mental yang canggih. Semakin banyak bukti bahwa perilaku cerdas ini diarahkan oleh banyak entitas mirip otak yang dikenal sebagai meristem manusia.[11] Karya František Baluška, Stefano Mancuso, dan lainnya di bidang neurobiologi tumbuhan yang baru lahir mengemukakan gagasan bahwa tumbuhan memiliki sistem sensor saraf terdesentralisasi dan canggih. Kedua ilmuwan dari Institute of Cellular and Molecular Botany di University of Bonn berpendapat bahwa terdapat struktur mirip fungsi otak manusia dapat ditemukan di ujung akar. Selain jalur pensinyalan, ada juga banyak sistem dan molekul yang mirip dengan yang ditemukan pada hewan. Ketika sebuah akar merasakan jalannya ke depan di dalam tanah, ia menyadari adanya rangsangan. Mereka mengukur sinyal listrik yang menyebabkan perubahan perilaku setelah diproses di “zona transisi”. Jika akar menemukan zat beracun, batu yang tidak bisa ditembus, atau tanah yang jenuh, ia menganalisis situasi dan mengirimkan penyesuaian yang diperlukan ke ujung yang tumbuh. Ujung akar berubah arah sebagai hasil dari komunikasi ini dan mengarahkan akar yang tumbuh di sekitar area kritis.[12] Terkubur dalam literatur ilmu tanaman kontemporer adalah kesadaran yang berkembang bahwa perilaku tanaman memiliki banyak ciri mentalitas. Perintisan karya ilmiah seperti itu dalam banyak hal menggemboskan pengakuan atas atribut perasaan dan kepribadian yang telah lama ditunjukkan dalam pemikiran religius India dan sistem pengetahuan Pribumi.
Ilmuwan seperti, biolog Amerika, George David Haskell terhadap suku Waorani di pedalam hutan Amazon di Ekuador berpendapat bahwa langkah pertama memahami aktivitas tumbuhan dalam hal ini pepohonan adalah dengan memahami bahwa mereka beraktivitas dalam jaringan. Jaringan bukan saja pada tumbuhan, tetapi juga pada manusia yang mau menjadi bagian jaringan lintas spesies dalam komunitas kehidupan, entah di hutan atau di lokasi tertentu. Hal ini dapat diselidiki juga secara antropologis, bahwa beberapa suku pedalaman di daerah tertentu akan memahami bahwa jika pohon dapat meratap apabila di tebang. Temua-temuan ini memperlihatkan bahwa tumbuhan, khususnya dalam ekosistem hutan, memiliki aktivitas sosial tertentu.[13] Aktivitas sosial jaringan ini berlangsung di bawah tanah melalui pertukaran informasi, karbon dan makanan viaakar dan di atasnya dengan tumbuhan/pepohonan lainnya. Aktivitas ini jarang dilihat manusia modern. Menurut Haskell, selama ini, dogma banyak kali menjauhkan hubungan sosial manusia dengan hutan. Dalam tulisan lain, The Forest Unseen,Haskell menguraikan kemampuan tumbuhan, pepohonan dan jaringan kehidupan di hutan memiliki kemampuan membaui, mendengar, mengeluarkan “parfum” sebagai tanda terimakasih dan ancaman, dan jaringan komunikasi (viaaroma dan akar).[14]
Selain Haskell, ada seorang forester Jerman, Peter Wohlleben. Dalam The Hidden Life of Trees,Wohlleben berpendapat bahwa kehidupan yang ia teliti (hutan di pegunungan Eifel di Jerman) seperti manusia, memiliki keluarga dengan spesies lainnya. Ia katakan, “ketika Anda tahu bahwa pohon mengalami rasa sakit dan memiliki ingatan dan orang tua pohon itu tinggal bersama dengan anak-anaknya, maka Anda tidak bisa lagi menebang dan mengganggu kehidupan mereka dengan mesin besar”.[15] Baginya, setiap hari (hidup) di hutan adalah sebuah penemuan dan pembaruan berpikir.
Dalam kisah pengalamannya di hutan, ia ingin merangsang kita untuk melihat aktivitas sosial pepohonan di hutan lokal memiliki resonansi manfaat global. Artinya, hutan dimana saja memiliki manfaat yang utuh bagi bumi yang sama. Bagi Wohlleben, kalau kita tidak menggangu hutan, pepohonan akan bernafas lega dan mengungkapkan lebih banyak lagi rahasia mereka kepada kita. Karena itu, cara pertama mendekati dan mengetahui rahasia aktivitas sosial tumbuhan dan pepohonan adalah dengan persahabatan. Persahabatan ini, ia belajar langsung dari sistem akar pohon. Ia menemukan bahwa aktivitas pepohonan menunjukkan persahabatan yang mengungkapkan bantuan biologis, ketika ia menemukan sebatang pohon tua tanpa daun di bawah kulitnya masih tetap hijau, karena pepohonan lain dengan akarnya menjaga agar batang kayu tersebut tetap bertahan hidup. Batang kayu itu tetap hidup karena bantuan dari jarak jauh oleh pepohonan lain melalui jaringan jamur di ujung akar yang memfasilitasi pertukaran nutrisi antar pohon – atau akar batang itu saling berhubungan dengan akar pohon lain. Dalam sebuah komunitas, pepohonan tidak membiarkan sebuah batang kayu yang ditebang mati begitu saja. Itulah yang terjadi dalam pola khinsip di hutan atau di ekosistem tertentu.
Persahabatan semacam itu menunjukkan saling ketergantungan, berbagi makanan dengan spesies pohon lain dan spesies pesaing. Tumbuhan dalam hal ini pepohonan adalah makhluk sosial, lebih sosial dari manusia.[16] Mereka adalah “pribadi” tersendiri yang hidup. Dan bahkan dengan perangkat sosial mereka – yang kita maksudkan secara biologis, itu menunjukkan sebuah jejaring sosial, dan kalau kita mau pahami itu menurut Fritjof Capra, manusia patut dan wajib belajar dari superorganisme kehidupan, yaitu kehidupan biologis itu sendiri, khususnya perilaku tumbuhan dan pepohonan.[17] Hal ini telah lama dilakukan oleh suku-suku primitif dengan agama asli mereka di pedalaman hutan. Dengan kata lain, masyarakat modern, perlu belajar dari tradisi mereka sebelum dan bersamaan dalam memahami aktivitas sosial tumbuhan dan pepohonan.
Hal terbalik, apabila kita menebang begitu saja, dan merusak ekosistem tumbuhan, hutan dan lingkungan fisik lainnya, kita sedang dissensus pada informasi dan kebijaksaan (ecosophy) yang ditawarkan sistem kehidupan alam. Terlebih lagi, jika kita merusak atau membunuhnya, kita sedang membuat mereka untuk tetap tidak bersuara. Dengan membunuh bagian dari alam, tumbuhan dan pepohonan, atau kepribadian mereka, maka kita sedang membunuh gambaran kepribadian Allah, yang secara sakramental tampak pada mereka. Itu sebabnya, adalah tugas orang beriman untuk memaknai ulang hubungannya dengan alam atau interaksinya dengan tumbuhan dan pepohonan. Langkah strategis yang tidak dapat ditolak adalah mendorong perspektif kepribadian dari sains dan sakramentalisme ekoteologis ke dalam etos, gaya hidup dan strategi pemulihan atau restorasi lingkungan. Oleh sebab, etika dari kesadaran sakramental dan kesadaran kepribadian tumbuhan mendorong perilaku kita yang lebih restoratif. Selain itu, untuk hal praktis, terdapat empat langkah untuk melestarikan hutan atan ekosistem pepohonan: (1) Kita perlu lebih sering keluar ke hutan lokal kita. (2) Kita harus menyelamatkan hutan adat (old growth forests) karena merekalah tempat penyimpanan gen, pohon induk dan jaringan miselium. (3) Di mana kita menebang, kita harus menyelamatkan pohon induk dan jaringan ‘warisannya’ sehingga mereka dapat meneruskan ‘kebijaksanaan’ mereka ke pohon generasi berikutnya. (4) Kita harus meregenerasi hutan kita dengan keanekaragaman spesies. Hal praktis ini, membuat kita berniat untuk menyelamatkan tumbuhan, pepohonan dan ekosistem hutan sebagai tindakan bersinggungan dengan menyelamatkan orang yang berpotensi paling menderita, seperti orang miskin, perempuan dan anak-anak.
Dengan uraian ini, kita dapat pahami bahwa personitas alam/tumbuhan/pepohonan mentransformasi kita, spesies manusia. Personitas tumbuhan dan pepohonan, membuat kita menyadari bahwa merekalah para filsuf biologis (biology’s philosophers), dan ilmuwan sesungguhnya yang memberikan kita pengetahuan ilmiah tentang bagaimana cara hidup yang sesungguhnya.
Penutup
Baiklah sekarang kita menyimpulkan duduk perkara kita untuk diambil maksud dan hikmat dari penelusuran kita, bahwa tumbuhan pohon, pepohonan adalah “seorang pribadi”. Kita butuh cara baru memahami relasi kita dengan tumbuhan, pepohonan dan representasi ekosistemnya (hutan). Mereka memiliki ciri kehidupan yang berkemampuan hampir mirip manusia namun berbeda. Pendapat dan temuan sains ini, memiliki konfirmasi teologisnya pada ekoteologi sakramental, bahwa kehadiran Allah di dalam ciptaan membuat segala sesuatu selain spesies memiliki pribadi. Keberpribadian ini membuat hubungan sosial yang selama ini manusia pegang diperluas ketika makna sosial tidak hanya dibangun antarmanusia, melainkan antarspesies makhluk dan lingkungan alamiah. Sebaliknya, anggapan bahwa segala makhluk, dalam hal ini tumbuhan dan pepohonan dapat saling membangun hubungan sosial dengan manusia mendapat konfirmasi ilmiah, yaitu ada kemungkinan aktivitas sosial saling bergantung diantara tumbuhan, yang bisa dipahami oleh manusia, entah melalui teknologi atau pendekatan tertentu, seperti persahabatan erat dengan mereka. Tumbuhan dan pepohonan memiliki kemampuan sosial, kesadaran dan inteligensia yang khas. Dengan kata lain, untuk menguatkan argumen bahwa pohon (dan tumbuhan lain pada umumnya) memiliki kepribadiannya, maka ekoteologi memang butuh konfirmasi sains, dan sains butuh narasi teologis sebagai rekannya.
Rujukan
Banoet, Fiktor Jekson. “Familia Dei: Perayaan Dunia-Kehidupan Integral Nusa Tenggara Timur yang Sakramental.” Thesis, Universitas Kristen Duta Wacana, 2021.
Boersma, Hans, and Matthew Levering, eds. The Oxford Handbook of Sacramental Theology. First edition. Oxford, United Kingdom ; New York, NY: Oxford University Press, 2015.
Camosy, Charles, Br Guy S. J. Consolmagno, Anne Marie Dalton, Timothy Harvie, John F. Haught, Brianne Jacobs, Christopher Hrynkow, et al. Integral Ecology for a More Sustainable World: Dialogues with Laudato Si’. Edited by Dennis O’Hara, Matthew Eaton, and Michael T. Ross. Lexington Books, 2019.
Cannon, Justin. “Toward a Christian Theology of Creation,” 2014, 18.
Evanoff, Richard. Bioregionalism and Global Ethics: A Transactional Approach to Achieving Ecological Sustainability, Social Justice, and Human Well-Being. 1 edition. Routledge, 2010.
Fortin, Jean-Pierre. “Pope Francis’ Global Spirituality: Mercy as Foundation for an Integral Theology.” Spiritus: A Journal of Christian Spirituality 19, no. 1 (2019): 64–80. https://doi.org/10.1353/scs.2019.0004.
Fritjof, Capra. The Hidden Connections; Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Hall, Matthew. Plants as Persons: A Philosophical Botany. SUNY Series on Religion and the Environment. Albany: State University of New York Press, 2011.
Hart, John. Sacramental Commons: Christian Ecological Ethics. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2006.
Haskell, David George. The Forest Unseen: A Year’s Watch in Nature. Reprint edition. Penguin Books, 2013.
———. The Songs of Trees: Stories from Nature’s Great Connectors. New York, New York: Viking, 2017.
Wohlleben, Peter, Tim Flannery, and Suzanne Simard. The Hidden Life of Trees: What They Feel, How They Communicate―Discoveries from A Secret World. Translated by Jane Billinghurst. Illustrated edition. Greystone Books, 2016.
[1] Hans Boersma and Matthew Levering, eds., The Oxford Handbook of Sacramental Theology, First edition (Oxford, United Kingdom ; New York, NY: Oxford University Press, 2015), 530-535.
[2] Fiktor Jekson Banoet, “Familia Dei: Perayaan Dunia-Kehidupan Integral Nusa Tenggara Timur yang Sakramental” (Thesis, Yogyakarta, Universitas Kristen Duta Wacana, 2021), 47-48.
[3] Bnd.Justin Cannon, “Toward a Christian Theology of Creation,” 2014, 18.
[4] Charles Camosy et al., Integral Ecology for a More Sustainable World: Dialogues with Laudato Si’, ed. Dennis O’Hara, Matthew Eaton, and Michael T. Ross (Lexington Books, 2019); Bnd.Jean-Pierre Fortin, “Pope Francis’ Global Spirituality: Mercy as Foundation for an Integral Theology,” Spiritus: A Journal of Christian Spirituality 19, no. 1 (2019): 64–80, https://doi.org/10.1353/scs.2019.0004.
[5] John Hart, Sacramental Commons: Christian Ecological Ethics (Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2006), 62.
[6] Hart, 17.
[7] Hart, 65-66.
[8] Hart, 111-112. Lebih tepat ia katakan, “the needs regional workers and enterpreneurs do not have to conflict with the need of salmon”.
[9] Richard Evanoff, Bioregionalism and Global Ethics: A Transactional Approach to Achieving Ecological Sustainability, Social Justice, and Human Well-Being, 1 edition (Routledge, 2010), 129-153.
[10] Matthew Hall, Plants as Persons: A Philosophical Botany, SUNY Series on Religion and the Environment (Albany: State University of New York Press, 2011), 1.
[11] Hall, 137-156.
[12] Peter Wohlleben, Tim Flannery, and Suzanne Simard, The Hidden Life of Trees: What They Feel, How They Communicate―Discoveries from A Secret World, trans. Jane Billinghurst, Illustrated edition (Greystone Books, 2018) 83.
[13] David George Haskell, The Songs of Trees: Stories from Nature’s Great Connectors (New York, New York: Viking, 2017), 80-125.
[14] David George Haskell, The Forest Unseen: A Year’s Watch in Nature, Reprint edition (Penguin Books, 2013), 85.
[15] Wohlleben, Flannery, and Simard, preface to The Hidden Life of Trees,xiv.
[16] Wohlleben, Flannery, and Simard, 1-5.
[17] Capra Fritjof, The Hidden Connections; Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru (Yogyakarta: Jalasutra, 2004).