KERAGAMAN BAHASA*
Kejadian 11:1-9
Pdt. Dr. Mery Kolimon
Kita bersyukur hari ini kita telah tiba di hari Minggu pertama di bulan yg baru, Bulan Mei 2018. Telah menjadi keputusan sinodal kita di GMIT, bahwa bulan Mei dirayakan sebagai Bulan Bahasa dan Budaya. Tema perayaan Bulan Bahasa dan Budaya GMIT tahun 2018 ini adalah “Melestarikan Bahasa dan Budaya Lokal dalam rangka Mengelola Keberagaman”. Sepanjang Bulan Mei ini, kita hendak berefleksi mengenai apa kehendak Tuhan bagi bahasa dan budaya kita. Kita orang Kristen tetapi kita juga orang Timor, Alor, Rote, Sabu, Sumba, Flores, Jawa, Bali, dst. Sebagai orang Rote kita punya bahasa Thie, Dengka, Lole, dll. Sebagai orang Alor, kita punya bahasa Klon, Abui, Kui, dan masih banyak lagi.
Rumusan tema ini berangkat dari kesadaran bahwa bahasa adalah anugerah Tuhan bagi manusia untuk saling berinteraksi, membangun persatuan, saling pengertian dan cinta kasih. Kita bisa membayangkan bahwa kalau tak ada bahasa, kita tidak saling memahami satu dengan yang lain. Lebih dari itu sebagai orang Indonesia kita bersyukur, menurut survei Summer Institute of Linguistic (SIL), Indonesia memiliki tidak kurang dari 746 bahasa daerah, 61 di antaranya ada di provinsi Nusa Tengara Timur (NTT).[1] Sebagai anugerah Tuhan, bahasa-bahasa lokal patut dirawat agar lestari. Sebagaimana kata bijak, “bahasa menunjukkan bangsa” maka bahasa lokal merupakan bagian dari identitas masyarakat setempat. Jadi kita mesti bersyukur, selain memiliki bahasa-bahasa derah masing-masing, kita memiliki bahasa yang menyatukan kita, bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Kalau kita tidak memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia, barangkali kita sulit memahami satu sama lain dan bukan tidak mungkin terjadi ketersinggungan, salah paham, ketika kita saling berkomunikasi. Meskipun begitu kita mesti berhati-hati dengan upaya penyeragaman bahasa yang membuat kita mengabaikan keragaman bahasa karunia Tuhan. Di zaman ini, penguasaan bahasa nasional dan bahasa internasional memang diperlukan namun bahasa daerah pun harus dirawat sebagai tanda syukur atas kekayaan hikmat yang dianugerahkan Allah bagi kita.
Dalam kebutuhan berefleksi tentang makna bahasa, hari ini kita membaca dan merenungkan teks Alkitab, Kejadian 11:1-9, tentang Menara Babel. Menurut Kitab Kejadian, setelah banjir besar yang menewaskan umat manusia yang telah memberontak, hanya Nuh dan keluarganya yang selamat. Keturunan Nuh itu kemudian berkembang menjadi bangsa yang sangat besar. Ada banyak hal yang sangat menarik dari bacaan ini yang bisa kita gali untuk mendapatkan pelajaran iman supaya kita dapat menata diri pribadi dan gereja kita lebih baik. Namun terkait tema kebaktian hari ini, dan untuk perhadapan panitia Sidang Sinode ke-34, saya hanya akan memfokuskan renungan kita pada beberapa hal.
Yang pertama adalah melayani maksud dan kehndak Tuhan dalam seluruh pekerjaan kita. Dalam semua ikhtiar kita membangun hidup ini, baik sebagai pribadi, rumah tangga, dan gereja, dan bangsa, utamakan kehendak Tuhan. Dalam Kejadian 1;28 Tuhan berfirman “penuhilah bumi’ = menyebarlah, jangan tinggal hanya di satu tempat. Tetapi yang terjadi di Babel, justeru sebaliknya, manusia hendak membangun suatu titik kekuatan dan menolak menyebar ke seluruh bumi. Manusia menolak rencana Tuhan.
Kita bisa saja bertanya, mengapa umat yang hendak bersatu Tuhan tidak berkenan. Bukankah persatuan dan kesatuan itu penting? Ya, persatuan dan kesatuan itu penting, tetapi kita mesti kritis terhadap persatuan yang tidak melayani kehendak Tuhan. Jangan sampai atas nama persatuan lalu kita menindas atau mendiskriminasi mereka yang berbeda pendapat, apalagi kita bersatu untuk melawan kehendak Allah. Jangan atas nama persatuan dan kesatuan, lalu kita mengabaikan perbedaan talenta dan karunia dalam persekutuan kita.
Hari ini dalam kebaktian ini, akan diperhadapkan Panitia Sidang SInode 34. Majelis Sinode dan Majelis Klasis Kota Kupang berterima kasih kepada jemaat Paulus Naikoten yang bersedia menjadi tuan dan nyonya rumah kegiatan besar yang akan berlangsung tahun depan, November 2019. Firman Tuhan mengingatkan kita hari ini, kita harus bersatu untuk mengangkat pekerjaan pelayanan ini. Panitia dan jemaat Paulus perlu menemukan cara untuk dapat solid supaya dapat melaksanakan dengan maksimal tugas besar yang dipercayakan. Namun kita diingatkan oleh Firman Tuhan, soliditas panitia dan jemaat saja tidak cukup. Yang paling penting kita ingat adalah bahwa seluruh pekerjaan itu harus melayani kehendak Tuhan. Biarlah Tuhan yang dimuliakan dalam seluruh pekerjaan ini. Kita tidak bersatu untuk melayani kepentingan para pendeta, kepentingan majelis sinode, atau siapapun. Kita bersatu untuk melayani Tuhan, pemilik dan pemimpin gereja. Biarlah Dia yang dimuliakan dalam seluruh pekerjaan ini.
Hal Kedua, yang masih terkait dengan hal itu adalah tentang motivasi pembangunan. Di GMIT sekarang, jemaat-jemaat berlomba-lomba membangun gedung gereja mereka, di kota dan di desa. Berkali-kali kami pergi untuk menghadiri kebaktian penahbisan rumah ibadah dan bersyukur bersama jemaat untuk gedung kebaktian yang selesai dibangun. Yang cukup membanggakan hati adalah bahwa bahkan di daerah yang sangat sulit terjangkau di wilayah pelayanan GMIT, kita mendapati gedung-gedung gereja dan pastori yang indah. Dalam berbagai keterbatasan dan berkat yang Tuhan berikan, jemaat memberi sungguh-sungguh untuk membangun rumah demi kemuliaan nama Tuhan. Saudara-saudaraku, membangun itu tidak masalah, namun motivasi di balik pembangunan yang harus dikritisi. Peristiwa Babel merupakan sebuah kritik terhadap program pembangunan kerajaan di Israel, sebuah sebuah teguran keras terhadap sikap sombong manusia.
Firman Tuhan hari ini mengingatkan kita, kalau membangun GMIT, kalau membangun jemaat Paulus, kalau memperhadapkan panitia SS 34, lakukanlah itu demi kemuliaan Tuhan dan untuk terlibat bersama Allah dalam karya keselamatanNya bagi dunia. Jangan membangun untuk mencari nama, atau mencari puji-pujian yang sia-sia. Persekutuan kita mesti kritis terhadap dirinya sendiri. Gereja tidak boleh melayani diri sendiri: membesarkan diri dan bukan memuliakan Tuhan, supaya orang puji bilang we dong hebat. Kalau kita memusatkan semua hal pada kemuliaan diri, Allah dapat mengacaukannya. Kata Babel berkaitan dengan kata kerja Ibrani balal (“bingung” tidak mengerti lagi, kacau-balau. Kata ini kemudian dibentuk sebagai permainan kata Babel (dalam bahasa Inggris itu akan mendekati “babble” “celoteh”.
Panitia Sidang Sinode ke-34 yang akan diperhadapkan sebentar, dalam melakukan pekerjaan ini, mari kita saling mendengarkan sungguh-sungguh. Pekerjaan besar ini membutuhkan kualitas komunikasi yang baik. Majelis jemaat, majelis klasis, majelis sinode, panitia pengarah dan panitia pelaksana, perlu saling mendengarkan sungguh-sungguh agar kita dapat membangun pemahaman tentang apa yang terbaik dalam menyukseskan sidang ini. Tidak boleh ada yang memaksakan keinginan mereka. Kita mesti berhati-hati agar Tuhan tidak mengacaukan bahasa di antara kita. Arahkan hati kita pada melayani kehendak Tuhan, dan untuk saling menghargai dalam proses ini agar pekerjaan besar ini dapat berhasil.
Bahasa dan keragaman bahasa mesti menjadi alat pemulihan dan pembaharuan. Jangan pakai bahasa untuk menyerang dan menghancurkan sesama, tetapi pakailah bahasa untuk menghibur dan menguatkan, memulihkan dan memperbaharui. Bicaralah yang benar dan berintegritas: jangan omong depan lain, di belakang lain. Bahasa mestinya menjadi sarana memuliakan Allah dan memulihkan sesama, bukan untuk saling menyakiti dan menyerang. Hal ini berlaku baik untuk bahasa lisan, maupun bahasa tulisan.
Bulan lalu di kantor sinode, kami melakukan diskusi mengenai bagaimana memanfaatkan media, termasuk media sosial untuk persekutuan dan kesaksian gereja. Di zaman digital sekarang, berbagai media termasuk facebook, WA, line, twitter, dan berbagai jenis media lainnya mesti dipakai secara bertanggung-jawab sebagai media kesaksian. Kalau tidak puas dengan kinerja panitia, kalau ada keresahan terkait pelayanan di jemaat, klasis, dan sinode, mari bertatap muka dan bangun percakapan secara terbuka. Jangan buat akun palsu dan menyerang di media sosial. Kita belajar dari cerita di Menara Babel ini, bahasa bisa menjadi alat persatuan, bahasa juga bisa menjadi alat perpecahan dan kehancuran.
Hal berikut/ketiga adalah tentang keragaman bahasa. Ada penelitian dari UNICEF (Badan PBB untuk urusan pendidikan dan kesehatan) yang menunjukkan bahwa setiap tahun ada 10 bahasa di dunia mengalami kepunahan. Dari 6000 bahasa di dunia, hanya akan ada sekitar 600-3000 yang tetap ada sampai akhir abad ini. Termasuk dari daftar yang terancam punah itu adalah bahasa-bahasa daerah di NTT. Sebab salah satu syarat lestarinya suatu bahasa adalah jika penutur/pemakainya berjumlah 10.000. Suatu hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pemakai bahasa-bahasa daerah di NTT, sekarang di bawah 5000 orang. Bagian dari tugas kita di GMIT ini adalah mencari cara agar bahasa daerah ini tidak punah.
Saya ingat cerita bahwa ketika bapa Middelkoop, yaitu penginjil asal Belanda yang lama sekali melayani di Timor Tengah Selatan di tahun 1920an hingga 1940an untuk memperkenalkan injil kepada orang Timor. Dia menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Timor yang disebut Beno Alekot Neu Batan Ahunut. Dia juga menulis buku lagu Si Knino yang masih dipakai jemaat-jemaat GMIT di pedalaman Timor. Dia sungguh-sungguh mempelajari bahasa Meto, dan ketika akhirnya bisa berkhotbah dalam bahasa daerah, orang-orang di gunung di Kapan mengatakan: terima kasih Tuhan, selama ini kami mendengar firman Tuhan dengan telinga kami, hari ini kami mendengar Tuhan Allah berbicara kepada hati kami. Bahasa daerah menyentuh hati manusia.
Di zaman sekarang, anak-anak kita tidak boleh hanya bangga berbahasa Inggris dan main piano, tetapi mereka juga harus kita ajar untuk berbangga main gong dan suling, serta berbahasa daerah. Memang tak disangkali bahwa ketika Kekristenan datang ke pulau-pulau kita, adat istiadat lokal dan tradisi masyarakat dipandang sebagai primitive, bahkan kafir. Kebanyakan misionaris Barat cenderung terpola oleh perasaan bahwa budaya Barat/Eropa itu lebih baik sehingga mereka cenderung menolak adat istiadat. Tidak banyak penginjil seperti Bapak Middelkoop. Bahkan sampai sekarang ada yang memandang tidak baik kalau kita mendengar cerita rakyat, dsb. Banyak anak-anak sekarang malu berbahasa daerah. Orang tua lebih bangga kalau anaknya bisa berbahasa Inggris. Tetapi tidak sungguh-sungguh membangun kebanggaan pada bahasa daerah. Padahal bahasa daerah adalah bagian dari identitas kita.
Kita bersyukur GMIT memiliki Unit Bahasa dan Budaya, yang dalam kerja sama dengan gereja-gereja di Australia dan beberapa mitra di berbagai negara, sedang menerjemahkan Alkitab ke dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Kupang. Sebagai gereja yang melayani dalam konteks multi-bahasa, kita memiliki tugas untuk merawat keberlangsungan bahasa daerah.
Hal terakhir, kita belajar hari ini. Ketika situasi dunia rusak, maka Allah turun. Allah masuk dalam kehidupan manusia yang rusak, Allah turun tangan. Allah tidak membiarkan manusia hilang dalam keberdosaan mereka. Pembangunan yang manusia lakukan dan semua upaya kreatif mereka dapat saja memiliki potensi bencana baik bagi manusia sendiri maupun bagi alam ciptaan Allah. Itu sebabnya Allah harus turun. Banyak kali upaya pembangunan yang kita lakukan, yang sebenarnya untuk kebaikan bersama, justeru menjadi lahan korupsi oleh para penguasa, pengrusakan terhadap lingkungan hidup, dan akibatnya terjadi peminggiran kepada kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat, serta alam menjadi rusak. Tuhan turun tangan mengacaukan bahasa mereka, sehingga mereka tidak dapat lagi berkomunikasi, harus meninggalkan apa yang mereka lakukan, bergerak terpisah satu dari yang lain.
Ketika kita melihat dan mndengar tentang kekerasan, dan ketidakadilan, eksploitasi dan perbudakan terhadap manusia, kita tidak boleh diam. Allah turun tangan. Gereja pun harus terlibat bersama Allah. Orang-orang Kristen harus terlibat untuk karya kebaikan dalam gereja dan dan masyarakat. Kita diutus menjadi garam dan terang dunia. Menegur yang tersesat, memulihkan yang terluka, menghibur yang berduka, menguatkan yang lemah.
Melalui pendidikan dan sekolah-sekolah GMIT, melalui pelayanan diakonia di YAO, TLM, Talenta, melalui pelayanan Kompastani, melalui pelayanan tanam air dan tanam pohon, melalui belas kasih dan pelayanan kita kepada para korban perdagangan orang, saudara2 kita yang sakit dan membutuhkan pelayanan kita, melalui pelaksanaan panca pelayanan GMIT di jemaat, klasis, dan sinode, kita mengerjakan tugas pengutusan, tugas kerasulan itu. Gereja dipanggil bukan untuk urus diri sendiri. Orang percaya dilengkapi bukan untuk mencari kesenangan diri mereka sendiri, gereja dan orang percaya diutus ke tengah-tengah dunia untuk menjadi berkat bagi sesama. Allah turun tangan, gereja mesti terlibat bersama Allah, mengerjakan keselamatan dan kebaikan di tengah-tengah dunia. Tuhan memberkati kita sekalian. Amin.
*Khotbah disampaikan pada kebaktian Minggu, 6 Mei 2018 di jemaat GMIT Paulus Kupang bertepatan dengan perhadapan panitia sidang sinode ke-34.
[1] Inyo Yos Fernandez, Inventarisasi Bahasa-bahasa daerah di provinsi Nusa Tenggara Timur,
https://journal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/viewFile/907/754