Melangkah Bersama Menuju Pembebasan Dan Transformasi*
(Pdt. Dr. Ira D. Mangililo)
KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Shalom, selamat datang saya ucapkan bagi para peserta Kongres Nasional V Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia. Kami menyambut kedatangan para peserta dengan penuh sukacita terutama karena kami sendiri di Gereja Masehi Injili di Timor baru saja menyelenggarakan Persidangan Sinode XXXIV. Selain memutuskan sejumlah hasil keputusan penting mengenai penataan pelayanan dan keorganisasian, kami juga telah memiliki para pemimpin GMIT periode 2020-2023. Secara pribadi saya mengucap syukur kepada Tuhan bahwa Pdt. Dr. Mery Kolimon, salah seorang teolog perempuan di Indonesia, dipercaya Tuhan untuk kembali memimpin GMIT untuk masa 4 tahun ke depan. Ini menunjukkan bahwa sebagai bagian dari karya besar ciptaan Allah, GMIT telah dengan tekun dan setia mengimani keberadaannya sebagai yang diciptakan menurut imago Dei – serupa dan segambar dengan Allah, di mana baik kaum perempuan dan laki-laki diberikan kepercayaan dan kesempatan yang sama untuk mengusahakan dan mengelola GMIT.
Kepercayaan dan kesempatan yang telah diberikan kepada perempuan seperti itu tentu dibarengi oleh komitmen kita untuk secara setia dan tekun menjadikan teologi feminis sebagai bagian dari cara berteologi kita di tempat ini. Di sini, kita meyakini bahwa teologi feminis yang kita usung pada saat ini merupakan sebuah hasil dari pengalaman-pengalaman konkrit kaum perempuan dan juga laki-laki. Teologi feminis telah menjadi bagian dari identitas dan gaya hidup kita, yang menuntun cara kita berbicara, melihat, berpikir, merasakan, dan mengambil keputusan; bahkan terkadang pada saat kita memutuskan untuk berdiam diri sekalipun, nilai-nilai yang lahir dari kesadaran feminis kita senantiasa memberi arah dan tuntunan bagi kita.
Titik berangkat berteologi feminis di Indonesia khususnya di NTT menurut hemat saya haruslah dimulai dari penggalian pengalaman eksistensial dalam rangka mencari identitas diri kita sendiri – identitas lokal yang khas – karena identitas kita saat ini telah dipaksakan kepada kita oleh budaya patriarki dan budaya kolonialisme yang kini mengambil rupa baru dalam bentuk neokolonialisme dan kapitalisme. Akibatnya identitas yang kita miliki pada saat ini merupakan produk dari penindasan budaya yang kemudian diperburuk oleh penindasan ekonomi dan sosial. Namun selain itu, saya juga percaya bahwa upaya penggalian pengalaman juga mesti menitikberatkan pada pengalaman iman terutama tentang perjuangan para perempuan untuk beradaptasi dengan kekuasaan dan otoritas dan bagaimana mereka mampu menciptakan ruang-ruang pembebasan bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk komunitas.
Dengan kata lain, titik berangkat berteologi kita haruslah diawali dari perjuangan dan pergulatan kaum perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan teologi untuk secara aktif terlibat di dalam dan bersama para perempuan yang berada di garis pinggiran dan oleh karena itu tertindas – mereka khususnya di NTT adalah kelompok mayoritas dari populasi yang tinggal di sini. Lebih lanjut, kaum yang miskin dan tertindas ini kebanyakan adalah mereka yang dibisukan oleh sistem dan tatanan kehidupan yang ada dan oleh karena itu tidak bisa berbicara. Di sini tantangan bagi kita adalah bagaimana kita para perempuan yang tergabung dalam Peruati ini yang kebanyakan berasal dari kelas menengah dan terdidik ini kemudian dapat mendampingi dan memberdayakan para perempuan di garis pinggiran untuk berbicara – menyuarakan penderitaan mereka dan mengusahakan perubahan bagi diri dan komunitas mereka; memindahkan mereka dari posisi pinggiran ke posisi senter.
Perjuangan untuk membebaskan kaum perempuan dari keterpinggiran dan penindasan tentu didasarkan pada keyakinan kita bersama bahwa memerdekakan dan memberdayakan perempuan adalah kunci dari kehidupan itu sendiri mengingat bahwa para perempuan adalah penyedia, pemelihara dan penjaga tubuh bumi – alam semesta beserta segala isinya. Melalui sentuhan tangannya perempuan menciptakan dan mengusahakan kehidupan bagi seluruh anggota keluarga dan komunitasnya dan hal ini dilakukan dengan segenap kekuatan dan kelembutan, kebahagiaan dan air mata, intuisi dan akal budi.
Untuk itu maka tidaklah mengherankan bahwa tubuh perempuan yang terkadang kuat namun kadang lemah, terkadang sehat namun tidak jarang sakit, selalu merentangkan tangannya untuk menjangkau orang lain – entah itu melalui pengalaman iman, doa, maupun pekerjaannya dalam dunia keseharian. Di sinilah, para perempuan merenungkan segala sesuatu dalam hatinya dan membuka dirinya secara penuh untuk persekutuan yang tentu lahir dari kepekaannya terhadap kebutuhan orang lain di sekitarnya.
Kepekaan terhadap penderitaan orang lain inilah yang membuat perempuan mampu berbela rasa dengan mereka yang tertindas; dan dalam kemampuan berbela rasa itu perempuan dipanggil untuk ikut menderita, merasakan, membuka diri untuk bersolidaritas dengan pergumulan mereka yang terpinggirkan agar perempuan mampu memahami apa artinya berbagi pergumulan guna menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik. Dan kesan inilah yang kita dapat dari sikap Martha saudari Maria dan Lazarus yang ada dalam bacaan kita di hari ini. Banyak perempuan yang ketika membaca cerita Maria dan Martha seringkali dibuat untuk memilih manakah yang paling baik di antara keduanya.
Para bapak gereja seperti Origen memandang Martha sebagai yang merespon firman Tuhan dengan sikap kedagingan sedangkan Maria meresponnya dengan Roh Kudus. Sementara Agustinus memandang Martha sebagai yang hidup di dunia ini sementara Maria sebagai yang mempersiapkan kehidupan di dunia yang akan datang. Keduanya menyarankan kita untuk memilih sikap seperti Maria yang digerakkan oleh hasrat untuk bersatu dengan Allah. Saran dari kedua bapa gereja ini tentu saja menggelisahkan kita para perempuan Kristen yang hidup pada jaman ini bahkan juga di masa lampau sekalipun mengingat bahwa di dalam realitanya kita para perempuan lebih menghubungkan diri dengan Martha yang begitu melihat ada tamu datang ke rumah kita, maka kita akan lari pontang panting menyediakan ini itu guna menghargai keberadaan tamu di rumah kita. Kita para perempuan ini lebih banyak bekerja di dapur. Sementara perempuan seperti Maria di NTT ini memang ada juga tapi tidak banyak – di mana ketika tamu datang maka dia duduk dan mendengar perkataan sang tamu dengan baik dan tekun.
Namun pertanyaannya adalah, Apakah ini satu-satunya gambaran Alkitab tentang Martha? Tentu saja tidak. Dalam kenyataannya, gambaran yang diberikan oleh Injil Yohanes pada kita adalah cukup berbeda di bandingkan dengan yang diberikan Lukas. Martha dalam Injil Yohanes adalah seorang murid perempuan yang memiliki iman yang sangat kuat. Ya benar, di sini gambaran untuk seorang Martha adalah murid karena seorang murid adalah dia yang mengikuti gurunya, percaya pada gurunya dan hidup untuk melayani dan mengasihi gurunya sampai akhir secara merdeka. Di sinilah, satu hal penting yang patut digarisbawahi adalah bahwa pada masa itu, para murid ditandai atau dikenali sebagai murid Yesus melalui praktek mengasihi yang mereka tunjukkan secara merdeka kepada sesama. Makanya tidaklah mengherankan bahwa dari Injil Yohanes kita mengenal istilah “murid yang dikasihi Yesus” karena kata kasih menjadi petunjuk bahwa jika seseorang ingin menjadi pengikut Yesus maka ia harus tahu bagaimana caranya mengasihi yang akan menuntunnya untuk hidup dalam iman. Praktek kasih ini pula yang secara konsisten ditunjukkan oleh Injil Yohanes ini kepada kita terutama ketika ia menggambarkan keluarga dari Betania ini kepada kita. Di sini, Yesus mengasihi Martha, Maria dan Lazarus. Ia mengasihi mereka sebagai sahabat yang terikat denganNya dalam ikatan persekutuan iman.
Bacaan kita menceritakan tentang Martha yang begitu mendengar bahwa Yesus telah tiba, kemudian berlari untuk menemuiNya. Hal ini tentu bertentangan dengan aturan keramahtamahan yang ada di Israel kuno yang harus berdiri atau duduk tenang menanti hingga tamu yang dinanti tiba di depan rumah baru kita keluar menyambutnya. Namun, di sini, gambaran lain yang kita terima. Meskipun Lazarus telah meninggal selama 4 hari namun Martha tetap menunjukkan rasa percaya dan sikap penuh antisipasi bahwa Yesus pasti akan melakukan sesuatu. Dan dalam percakapannya dengan Yesus, imannya semakin dikuatkan. Martha dengan berani dan percaya diri memulai percakapannya dengan Yesus. Ia mengatakan bahwa saudaranya telah meninggal – sesuatu yang pasti bisa dicegah Yesus. Namun ia juga percaya bahwa Yesus pasti tidak akan tinggal diam. Ia akan bertindak. Pernyataan Martha ini dibalas Yesus secara positif bahwa Lazarus akan bangkit. Ketika membaca bagian ini maka tersadarlah saya bahwa inti pesan dari cerita ini bukanlah tentang kebangkitan Lazarus melainkan tentang peneguhan bahwa Yesus – sang Mesias yang akan mati nanti sebenarnya adalah kebangkitan dan hidup dan barangsiapa yang percaya kepadaNya tidak akan binasa.
Di sinilah, penting untuk digarisbawahi bahwa pemahaman tentang kebangkitan Lazarus merupakan tanda dari kebangkitan Yesus sendiri. Dan yang menarik adalah Ia menyatakan ini pertama kali kepada muridNya yang tidak lain dan tidak bukan bernama Martha. Ketika Petrus menyatakan bahwa bahwa Yesus adalah Mesias anak Allah yang hidup maka Martha bergerak melampaui itu guna memahami misteri terdalam dari Yesus yaitu bahwa Ia adalah kebangkitan dan hidup itu sendiri. Martha kemudian menceritakan hal yang didengar ini kepada saudarinya Maria dan bahkan dalam Yohanes 12:2, digambarkan sebagai diaken yang melayani Perjamuan Kudus. Di sini tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa Martha adalah teolog yang mendengar penyataan Kristus, merespon dengan imannya dalam pengakuan yang luar biasa. Namun ia tidak berhenti hingga di sana saja melainkan ia pergi dan melayani komunitas umat percaya. Kombinasi dari mendengar dan melakukan inilah yang menjadi karakteristik utama dari para pengikut Yesus.
Menjadi murid seperti Martha, menjadi teolog seperti Martha dan menjadi seorang diaken atau pelayan seperti Martha adalah tiga tugas utama sebagai pengikut Kristus yang diberikan kepada kita. Di hari ini kita akan membuka Kongres Nasional V Peruati dengan harapan bahwa kita semua akan dituntun dengan tiga identitas ini; bahwa sebagai para perempuan berpendidikan teologi kita adalah murid Kristus yang dipanggil untuk mendengar dan berteologi; dan upaya berteologi harus dilakukan bersama sehingga setiap perempuan tidak lagi berjuang di sudutnya sendiri-sendiri – mereka dapat berjalan dan bahkan menari bersama dengan tetap memperhatikan keunikan konteks masing-masing. Hasil berteologi itu yang kemudian harus dijabarkan dalam berbagai bentuk pelayanan yang menjawab kebutuhan bergereja dan berbangsa kita.
Di NTT sendiri, para murid Yesus dipanggil untuk mendengarkan suara mereka yang menjadi korban berbagai bentuk kekerasan baik itu kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan sosial akibat tindakan perdagangan orang. Kita dipanggil juga untuk mendengarkan suara mereka yang adalah para korban dan penyintas dari berbagai tragedi kemanusiaan seperti tragedy ’65. Namun kita juga dipanggil untuk menjalankan fungsi diakonia kita untuk melayani mereka yang hari ini diingkari hak untuk memperoleh pendidikan setinggi-tinggi, diingkari hak untuk hidup secara layak dan bermartabat yang ditandai dengan kecukupan finansial. Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk mengasah dan memperlengkapi diri sehingga kita mampu mengelolah berbagai potensi dan sumbar daya alam yang tersedia di Indonesia khususnya di NTT demi menghapuskan stigma bodoh, miskin, tanganga atau namkak, dll. Sebagai murid Kristus, para perempuan berpendidikan teologi dipanggil untuk menjadi mitra dari pemerintah untuk bersama-sama mencapai tujuan pembangunan yang beradab dan berkeadilan sosial. Namun melampaui semua itu, kita diberikan iman dan keberanian serta tekad untuk mengikutsertakan alam dalam perencanaan dan pelaksaaan pembangunan kita sehingga ketika kita menjadi sejahtera maka alampun semakin bertambah dalam kesejahteraannya. Penting untuk diingat bahwa kesejahteraan masyarakat di Indonesia tidak boleh mengakibatkan kemiskinan dan kematian alam. Perlu ada keseimbangan dan kemitraan yang solid dengan alam.
Di sinilah para teolog perempuan di Indonesia dipanggil untuk menciptakan solidaritas ekologi dengan alam yang bertujuan untuk menciptakan ikatan spiritual yang erat di antara manusia dan sesama ciptaan yang lainnya. Dengan demikian maka rahim perempuan dan rahim bumi dapat eksis bersama-sama dan dari rahim-rahim itu buah-buah kebaikan dan kemakmuran hidup akan dilahirkan dan dipelihara. Inilah nilai-nilai feminis kritis yang hendaknya kita pegang sebagai bagian dari gaya hidup pribadi, berorganisasi, bergereja, berbangsa dan bernegara. Selamat mengikuti kongres Nasional V Peruati kepada kita semua. Biarlah dari pertemuan ini ada banyak hal luar biasa yang kita ambil dan bawa pulang untuk pengembangan diri dan komunitas. Tuhan memberkati kita sekalian. AMIN! ***
*Khotbah berdasarkan Yohanes 11:17-27 pada kebaktian pembukaan Kongres Nasional V Peruati, Minggu, 27 Oktober 2019, di Naibonat-Kupang.