www.sinodegmit.or.id, Janji mengikat seseorang yang berjanji. Ketika seseorang mengucapkan suatu janji, ia terikat oleh janji itu. Mengingkari janji hanya akan merusak kehormatan orang yang berjanji itu. Oleh karena itu, sebuah pepatah klasik berkata: pacta sunt servanda: perjanjian dimaksudkan untuk dijalankan.
Namun seringkali janji diabaikan sehingga tidak dijalankan. Entah janji kepada Tuhan, kepada sesama, kepada pasangan, kepada orang tua, kepada anak-anak, seringkali tidak kita wujudkan. Kita bahkan menarik kembali janji kita. Padahal janji itu sesungguhnya mengikat kita.
Konsisten pada janji akan menentukan jati diri dan integritas kita sebagai pribadi. Pertanyaannya, mengapa janji seringkali diingkari? Apakah terlalu lemah komitmen kita? Mungkinkah kita masih dapat membaharui komitmen dan janji kita? Salah satu penyebab utama kita menarik kembali janji kita adalah ketika self-interest (kepentingan diri) kita terganggu dan terancam. Tetapi kita juga masih dapat membangun kembali komitmen kita pada janji-janji kita ketika kita menemukan kebenaran sejati itu. Itulah pengalaman Petrus dalam bacaan di atas.
Penjelasan Teks
Dalam catatan Yohanes, kisah bacaan ini terjadi pada waktu Yesus sudah bangkit dari kematian. Sebelum percakapan Yesus dengan Petrus terjadi, tiga kali Yesus menampakkan diri kepada para murid untuk membuktikan bahwa Ia telah bangkit dan menang atas maut. Dengan memperlihatkan diri kepada para murid pasca kebangkitan, Yesus juga hendak meneguhkan iman mereka untuk percaya kepada-Nya bahwa Ia benar-benar anak Allah yang hidup. Karena Ia anak Allah yang hidup, maka Ia ingin mendapatkan komitmen para murid untuk melanjutkan pekerjaan keselamatan di Bumi. Dan diantara para murid, Yesus memilih Petrus untuk menguji komitmen para murid. Mengapa?
Di antara 12 murid, Petrus merupakan murid yang paling menonjolkan diri. Petrus pernah berjanji pada Yesus, bahwa walaupun seluruh murid yang lain meninggalkan Dia, ia tidak akan lari dari Yesus. Petrus berjanji kepada Yesus bahwa ia rela kehilangan nyawa demi Yesus (Matius 26:30-35, Yohanes 13:36-38). Janji Petrus mengikat dirinya dengan Yesus. Petrus sempat menunjukkan janjinya itu kepada Yesus. Ketika Yesus hendak ditangkap, Petrus memotong telinga salah satu pasukan Romawi sebagai bentuk pembelaan pada Yesus. Sekilas tampak janji Petrus terwujud. Tetapi janji itu diwujudkan ketika Petrus dalam situasi powerfull. Sebuah janji dan komitmen diri teruji di masa krisis, apakah seseorang benar-benar memegang perjanjiannya atau tidak.
Ternyata ketika dalam situasi krisis, terutama ketika self-interest terancam, Petrus menarik seluruh janjinya. Ia seolah tak pernah berjanji. Ketika Yesus dibawa ke Makhamah Agama, Petrus ikut serta di sana. Yesus ada dalam situasi terancam nyawanya. Para imam menghendaki kematian Yesus. Petrus tahu hal itu. Sebagai murid, apabila guru terancam mati, ia pun bisa mengalami nasib yang sama. Itulah sebabnya ketika orang bertanya kepada Petrus, apakah ia juga bagian dari Yesus, Petrus sangkal. Petrus tidak mau mengakui Yesus sebagai gurunya. Tiga kali Petrus ditanyai, tiga kali pula Petrus menyangkal Yesus. Hati Yesus sungguh sedih, karena murid yang paling menggebu-gebu itu ternyata menyangkal Dia.
Namun setelah bangkit dari kematian, Yesus ingin kembali meminta komitmen para murid untuk melanjutkan pekabaran injil. Itulah sebabnya setelah bangkit, Yesus memilih Petrus untuk menguji komitmen para murid. Mengapa Petrus? Kalau Petrus yang pernah berjanji saja sudah menyangkal Yesus, bagaimana dengan murid yang lain? Itulah sebabnya, dengan memilih Petrus, Yesus yakin bahwa tolok ukurnya ada pada Petrus. Kalau Petrus bisa memberi komitmen, maka yang lain pun pasti bisa.
Yesus ingin tahu, apakah Petrus dan teman-temannya sudah mampu mengasihi Yesus hingga rela mempertaruhkan nyawa? Apakah mereka mampu membuat komitmen untuk melanjutkan pekerjaan injil? Apakah mereka sanggup menyangkal diri dan mengabaikan kepentingan diri? Itulah sebabnya sesudah sarapan pagi, Yesus bertanya pada Petrus: “apakah engkau mengasihi Aku (agapes me) lebih dari mereka ini?” Yesus meminta kasih agape (kasih tak bersyarat) dari Petrus. Kasih agape adalah kasih Tuhan, kasih yang memberikan segalanya tanpa syarat, kasih yang rela berkorban. Yesus menuntut para murid untuk mengutamakan Dia dan kerajaan Allah di atas segala hal tanpa syarat, termasuk nyawa mereka.
Petrus tidak sanggup menjawab Yesus dengan kasih agape. Dia hanya menjawab: philo se, artinya, aku sahabatmu, ya aku mengasihi-Mu. Petrus menjawab dengan kasih philia, kasih sebagai seorang sahabat, bukan kasih agape. Petrus tidak mau menjawab dengan kasih agape, karena dia tahu bahwa dia tidak sanggup mengasihi Yesus dengan pengorbanan penuh. Sebab Petrus pernah berjanji akan memberikan nyawanya kepada Yesus, tetapi ternyata ia menyangkal Yesus (Yoh.18:17, 25-27). Itulah sebabnya Petrus tidak mau berjanji lagi.
Yesus bertanya lagi untuk kedua kalimya, tetapi dengan tuntutan yang lebih rendah. Yesus hanya bertanya, “apakah engkau mengasihi Aku (agapas me)?”, tanpa tambahan “lebih dari mereka ini?”. Petrus tetap menjawab yang sama: bahwa aku rekan/sahabat-Mu (hoti philo se). Petrus menjawab bahwa ia mengasihi dengan kasih philia. Yesus telah menurunkan tuntutan-Nya, tetapi Petrus tidak berani menaikkan komitmennya. Petrus tahu bagaimana rasanya memberikan komitmen karena dorongan emosi, tetapi tidak dipelihara secara konsisten ketika datang ancaman.
Maka Yesus bertanya untuk ketiga kalinya dengan menurunkan lagi tuntutan-Nya: Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi-Ku? Kata yang dipakai di sini adalah “philei”, bukan lagi kata agape, artinya Yesus hanya bertanya: apakah engkau mengasihi-Ku dengan kasih seorang sahabat? Pertanyaan ini membuat hati Petrus hancur, karena Yesus semakin menurunkan tuntutan-Nya, tetapi itu pun rasanya berat untuk Petrus penuhi.
Petrus pun memberi komitmennya bahwa ia akan mengasihi Yesus. Atas jawaban Petrus, Yesus memintanya untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Artinya mengasihi Yesus harus diwujudkan dalam komitmen dan tanggungjawab untuk mengabarkan injil, dan membawa jiwa-jiwa baru kepada Kristus. Yesus meminta Petrus untuk menjadi pionir/perintis dalam pekerjaan pekabaran injil agar semakin banyak orang percaya kepada Yesus.
Apa yang diminta Yesus dilakukan oleh Petrus. Petrus yang sebelum Yesus bangkit adalah Petrus seorang pengecut, tukang ingkar janji, tetapi setelah Yesus bangkit, Petrus menjadi seorang pemberani dan bisa dipercaya. Petrus membuktikan bahwa ia telah berubah. Terbukti, ketika peristiwa Pentakosta, Roh Kudus tercurah atas para murid, sehingga mereka mampu berbicara dalam bahasa berbagai-bagai bahasa. Waktu itu, para murid dituduh sedang mabuk anggur. Tetapi Petrus bangkit dan berkotbah tentang Yesus, dan ketika itu juga, 3.000 orang menjadi percaya dan memberi diri dibaptis (Kis. 2). Petrus menjadi perintis berdirinya gereja mula-mula dan ia penuh semangat memberitakan injil kepada bangsa-bangsa lain. Petrus pergi ke berbagai bangsa untuk memberitakan injil. Petrus rela menderita, bahkan dihukum mati karena injil. Itulah bukti kasih dan komitmen Petrus kepada Yesus pasca kebangkitan-Nya.
Penutup
Pertanyaan Yesus kepada Petrus: apakah engkau mengasihi Aku berlaku juga bagi kita. Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi Yesus? Jenis kasih apa yang ada pada kita, apakah kasih agape (kasih penuh pengorbanan), atau kasih filia (kasih persahabatan)? Apa wujud kasih kita kepada Tuhan? Mengasihi Tuhan, berarti mewujudkan janji kita kepada Tuhan. Ketika peneguhan sidi, kita berjanji kepada Allah. Setiap minggu kita berjanji melalui pengakuan iman bahwa kita percaya kepada-Nya. Janji-janji itu mengikat kita dengan Allah. Oleh karena itu, sudah semestinya kita sungguh-sungguh percaya, dan tidak menduakan Allah. Kita juga mesti mempercayakan hidup sepenuhnya kepada-Nya, melakukan segala perintah dan kehendak-Nya secara konsisten.
Mengasihi Tuhan berarti tidak menduakan Dia, sebab Dia-lah satu-satu yang ada dalam hati kita. Bukan dunia, bukan kuasa, bukan harta, tetapi hanya Tuhan satu-satunya yang dicari. Mengasihi Tuhan berarti apapun tantangannya, kita tidak akan meninggalkan Dia. Percaya kepada Allah berarti tidak lagi takut apapun, termasuk kehilangan kekayaan dan nyawa. Lebih jauh, mengasihi Tuhan berarti rela berkorban bagi pekerjaan Tuhan, baik waktu, tenaga dan harta benda kita bagi Tuhan. Bila kita percaya kepada Allah, maka sudah semestinya kita mempersembahkan hidup kita kepada Allah, rela mengabaikan kepentingan diri, karena hidup kita adalah milik Tuhan. Secara sederhana, percaya kepada Allah dan mengasihi Dia, berarti tidak lagi memikirkan self-interest/kepentingan diri, harta benda, kekuasaan dan dunia ini. Selama masih bergelora ambisi kepentingan diri (kuasa dan harta) dalam diri kita, sehingga kita lebih sibuk mengejar semua itu, maka selama itu juga kita belum sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, sebab yang kita kasihi adalah diri kita dan bukan Allah. Atau setidaknya, kita masih menduakan Allah, karena hati kita juga melekat pada dunia.
Tuhan menuntut komitmen kita. Seringkali komitmen kita luntur seiring waktu. Pada saat diteguhkan sebagai anggota sidi, janji mengikut Tuhan begitu kuat. Tetapi seiring waktu, kita mulai menghilang dari gereja. Atau ketika ditahbis sebagai majelis, air mata bercucuran tanda sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dan mau melayani Dia, tetapi seringkali menjelang akhir periode, kebosanan sudah menyelimuti sehingga ingin segera mengakhiri tugas. Atau pada waktu ditahbis sebagai pelayan Tuhan, janji setia dalam pelayanan diikrarkan dengan keras, namun dengan berjalannya waktu, janji itu mulai diingkari, sehingga bukan lagi Tuhan yang dilayani tetapi segala keinginan daging berupa kuasa dan harta yang dikejar hingga pelayanan diabaikan atau bahkan diperalat untuk memenuhi semua ambisi itu. Bila tiba pada situasi itu, pertanyaan Yesus menjadi relevan: apakah engkau mengasihi Aku? Mungkin juga Yesus mengingatkan: ingatlah janjimu kepada-Ku, jaga komitmenmu, karena untuk itu Ku-utus kau. Amin. (gm).