Merayakan Persahabatan Lintas Ciptaan: Kesadaran Animalitas – Fiktor Jekson Banoet

KUPANG, www.sinodegmit.or.id,Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia. Pengkhotbah 3:19

Apakah kita memerlukan kesadaran animalitas dalam perayaan (pemaknaan) iman dan bergereja hari ini, di abad yang mencatat krisis lingkungan hidup dan krisis relasi antarciptaan (ekologis)? Apa hubungan kesadaran tersebut dengan iman Kristen? Kita diajak memeriksa pertanyaan reflektif ini bertepatan dengan perayaan bulan lingkungan hidup GMIT setiap bulan November.

Refleksi ini berfokus pada masalah ekoteologis, seputar cara memandang/hubungan orang beriman dengan biodiversitas hewan atau fauna. Jadi tidak mempersoalkan soal makanan (vegan yang anti-daging, atau vegetarianisme). Salah satu tugas ekoteologi adalah membongkar “patos” (sakit) paradigma dalam teologi tentang alam sebagai ciptaan Allah dan melihat implikasinya pada etika. Refleksi kita barangkali kelihatan sederhana, namun rekonstruktif (meyusun ulang). Tetapi, bagaimanakah merekonstruksi tanpa sebelumnya memperlihatkan masalah bahwa krisis lingkungan – tepatnya relasi manusia-animal[1] nonmanusia (antrozoologi[2]) akhir-akhir ini – juga terletak pada iman Kristen itu sendiri? Kita akan menjawab pertanyaan terakhir ini dahulu.

Krisis Relasi Manusia-Hewan sebagai Krisis Beriman

Dunia internasional menurut sejarah yang lumayan panjang telah mendeklarasikan Hak Asasi Hewan/Satwa pada setiap 15 Oktober. Sedangkan Hari Hewan Sedunia diperingati setiap 4 Oktober. (Pada bulan yang sama, GMIT juga merayakan hari ulang tahunnya dan Reformasi gereja). Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bulan Oktober menjadi bulan animalitas. Dua perayaan mengenai animalis (Latin: memiliki nafas, hewan/binatang non-manusia [kingdom animalia]) tersebut amat penting, bukan saja bagi dunia internasional, tetapi bagi iman Kristen dan gereja, lantaran gereja telah berada di abad kepunahan terakhir, dimana manusia sebagai faktor geologis penyebab dominan. Ada apa di balik sejarah tersebut?

Ya, terdapat persoalan relasi yang timpang antara manusia dengan animal non-manusia, diantaranya: perilaku sadis penyiksaan hewan (zoosadisme), pembunuhan masal hewan (zoocida), perburuan dan “pemunahan” (debiodiversasi), konsumsi berlebihan, pengrusakan habitat, karnivorianisme, pengabaian kesejateraan hewan, dsb. Singkatnya, ketidakadilan dalam relasi antropozoologi. Indonesia tercatat sebagai negara yang kurang peduli nilai-nilai relasi manusia dengan hewan.[3]

Apa yang menyebabkan nilai-nilai relasi/interaksi tersebut cenderung tidak dipedulikan–oleh bagi umat Kristiani? Apakah relasi itu menjadi perhatian iman? Ya. Saya hanya menyampaikan beberapa alasan mendasarnya (diambil dari penelitian saya):

  1. Ada alasan historis-teologis

Secara historis, orang Kristen diwarisi orientasi pengajaran dan teologi dari leluhur Barat (pada masa kolonial juga hingga sekarang) yang cenderung mengarah ke surga, atau dunia akhir. Jika mengikuti penjelasan teolog H.Paul Santmire, pengajaran dan teologi-teologi dimaksud bermotif “rohani”. Jurgen Moltmann mengamati kecenderungan orientasi teologi ini sudah sejak pertengahan abad 20, bahwa “gereja yang hanya melanjutkan bentuk dan ideologi/teologi sebelumnya sedang dalam proses kehilangan kontak dengan realitas ilmiah, sosial dan politik serta dunia di sekitarnya”.[4] Dalam warna teologi dimaksud, manusia dilihat mentransendensi (melampauai/melebihi) alam dan alam semesta diperalat sebagai batu loncatan menuju Allah. Dalam istilah lain, pengajaran cenderung berpusat pada manusia. Ada bentuk hirarki dalam relasi antara Allah-manusia-alam. Alam di struktur terbawah.[5] Jadi, hewan cenderung disepelehkan nilai dirinya dari perhatian iman Kristen.

  1. Hermeneutik/penafsiran teks suci

Karena bentuk antroposentrismenya, maka penafsiran berpusat pada manusia sebagai preposisi (dasar utama) untuk menghasilkan klaim bahwa alam semesta diperuntukkan hanya bagi manusia. Jadi, hewan diciptakan demi kebutuhan logistik, hiburan, produksi, dll. Penafsiran semacam ini, cenderung mengakar pada literalisme biblis/tafsir harafiah (ambil contoh, seorang literalis menafsir teks Kejadian.1:28). Satu masalah pelik yang terlanjur terbentuk dari literalisme biblis ialah dipertegasnya wawasan dunia religius (teisme) yang menempatkan manusia sebagai pusat ciptaan, segala sesuatu berpusat pada manusia (menentukan karena dominasi, atau dominator). Masalah hermeneutik ini menghasilkan tiga hal lain lagi di bawah, jika ia sudah menjadi panenantropos.

  1. Pengetahuan (epistemologi)

Literalisme biblis yang demikian, menghasilkan pengetahuan tentang konsep-konsep dan cara hidup sehari-hari memandang hewan hanya memiliki nilai ekstrinsik. Jika kita mengikuti ekologi proses (yang belajar dari Whiteheadian), maka kita dapati bahwa nilai ekstrinsik (bernilai bagi habitat atau makhluk lain) ada banyak (ada nilai serta, ekologis, estetik, ekonomis, medis, rekreasi, dll.), namun biasanya yang dipikirkan sering nilai instrumental (anilai guna/alat) saja. Nilai instrumental tidak selalu negatif. Tetapi yang membuat ia negatif adalah karena ia dilihat dari sudut pandang manusia secara hirarkis, dianggap merupakan nilai satu-satunya yang dimiliki hewan dan nilai ekologis hewan dirampas hanya bagi manusia. Nilai ekstrinsik tersebut lalu dikawinkan dengan nilai ekstrinsik manusia, seperti nilai ilmiah, simbolik dan moneter. Padahal, selain nilai-nilai ekstrinsik, ada juga nilai intriksiknya[6] (nilai di dalam dan bagi diri hewan itu sendiri), seperti nilai eksperiensalisme, yaitu nilai yang diambil dari pengalaman hidup hewan itu sendiri untuk mengelola hidupnya, bergerak, bernafas, makan-minum, dan berkembangbiak. Secara teologis, nilai ekstrinsik dan intrinsik adalah nilai sakral, karena manusia dan hewan diciptakan Allah Tritunggal dalam evolusi mereka masing-masing. Hal ini juga menjelaskan bahwa penciptaan makhluk dan nilainya tidak terjadi dalam waktu yang singkat.

Pengejelasan ini berarti bahwa pengetahuan kita sehari-hari juga dibentuk dari hasil memahami teks-teks suci, yang kalau ia gagal menjelaskan tentang bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan hewan berdasar nilai, maka pengetahuan  tersebut ekopatologis (sakit secara relasi lintasciptaan).

  1. Etika/berperilaku terhadap ciptaan lain (hewan)

Dampak langsung literalisme tersebut berpengaruh pembentukan pengetahuan yang ekopatologis dan berdampak pada berperilaku yang buruk, seperti sudah disebutkan di atas (tentang relasi yang timpang). Jika kita menengok studi antrozoologi, kita dapati bahwa interaksi etis yang diberikan manusia, tidak boleh merupakan interaksi yang agresif dan dominatif.[7]

  1. Gaya hidup

Yang dimaksud di sini, adalah bahwa jika pengetahuan kita, etika kita telah dibentuk sedemikian, maka akan membentuk gaya hidup dalam memanfaatkan hewan berasas antroposentrisme. Salah satu contoh gaya hidup baru dimaksud, misalnya berburu, dan petloverisme. Dua contoh ini perlu sikap kritis, karena terkait cara memperoleh dan mengkonsumsi hewan, dilihat dari nilai ekonomis dan logistik.

Memang benar, tidak adil menyajikan alasan bahwa nomor 1 dan 2 adalah satu-satunya penyebab alasan nomor 3-5, karena di balik itu, literalisme sering juga dibentuk oleh epistemologi itu sendiri, khususnya warisan Cartesianisme dan Baconian, yang menunjuk pada cara berpikir dualisme yang berpikir bahwa manusia lebih tinggi dari makhluk lain dari titik tolak akal budi (padahal hewan sendiri, juga tumbuhan, memiliki kecerdasan tersendiri), obyektifisme yang berpikir makhluk lain adalah obyek eksploitasi, dan mekanistik yang berpikir makhluk hidup semacam mesin, yang layak dieksploitasi.[8] Pemikiran Pencerahan ini berpengaruh pada teologi dan hermeneutika, terutama paradigma modern mengenai ekonomi dan saintifika. Pemikiran ini banyak dikritik oleh filsuf lingkungan (deep ecology) dan ekoteolog, yang dapat dibagi dalam empat aliran besar: ekoteolog proses, pembebasan (Latin, Asia, black ecoteology), postkolonial dan ekofeminisme.

Penutup

Implikasi logis dari beberapa alasan di atas, ialah cara pandang radikal manusia yang membedakan diri dari hewan atas dasar akal budi bahwa manusia bukan spesies; itu menyebabkan perilaku manusia terbiasa menganggap hewan tidak memiliki hak moral, jika moralitas bersumber dari akal budi. Itu pertama.

Kedua, secara teologis, hilangnya perspektif persahabatan lintas ciptaan dan sakralitas hewan.

Ketiga, dalam rangka persahabatan, antara Allah dengan segala ciptaan, manusia tidak lebih tinggi dari hewan dalam segala hal. Malah jika ia ingin menemukan siapa dirinya, pertama-tama mengakui diri sebagai salah satu spesies ciptaan Allah. Manusia secara spesies / sama-sama makhluk, setara (equal) dengan animal dalam hak asasi dan hak moralnya di hadapan kedaulatan Allah (Pengkh.3:19) karena animalitasnya (nafas hidup) datang dari sumber yang sama, yakni Allah (Kej.1:21,27); Manusia hanya menemukan dirinya jika ia mampu berelasi dengan lebih adil dan melihat relasi itu sakral dengan ciptaan lain dan memperlakukan, khususnya animal dengan tidak agresif dan dominatif, sebab Allah tidak memperlakukan hewan seburuk perlakuan manusia (bnd.Mzm.147:9). Bahkan Allah sendiri, menurut pandangan Calvin tentang pemeliharaan umum dan khusus (Mat.10:29), Allah memelihara semua ciptaan tanpa pengecualian.[9] Semua bentuk interaksi kita yang dominatif dan tidak bersahabat dengan hewan, adalah kejahatan ekologis pada pemeliharaan Allah.

Di abad kepunahan spesies ini, mereka wajib dilestarikan beserta habitatnya dan mendukung gerakan-gerakan konservasi alam. Kita dipanggil merubah cara paradigma dan tindakan menuju keutuhan ciptaan, khususnya variety of life.[10] Dalam Pokok-pokok Eklesiologi, misi gereja (GMIT) dengan spirit keutuhan ciptaan, perlu diganggu dengan isu animalitas dan biodiversitas sebagai bagian dari point misi 17 tentang lingkungan hidup (misalnya di NTT, Rusa Timor terancam punah dan habitat komodo).

Hari ini, jika gereja ingin mengembangkan ekoteologinya dan hermeneutiknya, baiklah ia mempertimbangkan perspektif teosentrisme, atau kreasiosentrisme. Mengenai persoalan ekokrisis, khususnya krisis relasi manusia dengan animal, maka teologi juga harus berbasis konteks ekokrisis dan pembacaan Alkitab dari perspektif ekologis. Dua perspektif itu menolong merekonstruksi teologi dan hermeneutiknya di abad ekokrisis, terutama menempatkan kembali Allah di pusat (en-sentris) penciptaan dan ciptaan di dalam Allah. Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan! (Mazmur 150:6, bnd. 145:21).

Rujukan

Borrong, Robert Patannang. “Etika Animalitas.” GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual Dan Filsafat Keilahian 4, no. 2 (16 Oktober 2019): 229–50. https://doi.org/10.21460/gema.2019.42.444.

Calvin, Jean, John T McNeill, dan Ford Lewis Battles. Institutes of the Christian Religion. Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2006.

Collin, P. H. Dictionary of Environment & Ecology. London: Bloomsbury, 2011. http://site.ebrary.com/id/10519652.

Hall, Matthew. Plants as persons: a philosophical botany. SUNY series on religion and the environment. Albany: State University of New York Press, 2011.

“Hewan.” Dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 10 September 2020. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hewan&oldid=17388272.

Hosey, Geoffrey R., dan Vicky Melfi, ed. Anthrozoology: human-animal interactions in domesticated and wild animals. First edition. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2019.

John B. Cobb and The Center for Process Studies, dan Lewis S. Ford. “A Christian Natural Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead.” Process Studies 37, no. 2 (2008): 193–95. https://doi.org/10.5840/process200837232.

Moltmann, Jurgen. God in Creation. 1st Fortress Press ed edition. Minneapolis: Fortress Press, 1993.

O’Brien, Kevin J. An Ethics of Biodiversity: Christianity, Ecology, and the Variety of Life. Washington, D.C: Georgetown University Press, 2010.

Santmire, H. Paul, dan Paul H. Santmire. The Travail of Nature : The Ambiguous Ecological Promise of Christian Theology(Theology and the Sciences). Philadelphia: Fortress Press, 1985.

[1] “Hewan,” dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 10 September 2020, https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hewan&oldid=17388272; bnd.P. H Collin, Dictionary of Environment & Ecology (London: Bloomsbury, 2011), 10. http://site.ebrary.com/id/10519652. Geoffrey R. Hosey dan Vicky Melfi, ed., Anthrozoology: Human-animal Interactions in Domesticated and Wild Animals, First edition (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2019), 1. Selanjutnya akan dipakai sebagai kata biologi sehari-hari, animalitas sebagai kata sifat umum yang menunjuk organisme hewan (piaraan/dijinakan) dan binatang/beast(wild animal). Pemakaian kata animal non-manusia ini tidak berarti bahwa manusia bukan spesies hewan.  Manusia adalah binatang juga.

[2] Geoffrey R. Hosey dan Vicky Melfi, ed., Anthrozoology: Human-animal Interactions in Domesticated and Wild Animals, First edition (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2019), 1-2. Ilmu yang berbicara tentang relasi manusia-animal. Ilmu ini masuk dalam rumpun HAS (Human Animal Studies: ‘mengeksplorasi ruang bahwa hewan menempati dunia sosial dan budaya manusia, atau sebaliknya dan interaksi manusia dengan animalitas’). Namun, karena teologi adalah ilmu interdisipliner, begitu juga antrozoologi, maka keduanya bisa dibicarakan.

[3] Robert Patannang Borrong, “Etika Animalitas,” GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual Dan Filsafat Keilahian 4, no. 2 (16 Oktober 2019): 229–50, https://doi.org/10.21460/gema.2019.42.444.

[4] Jurgen Moltmann, God in Creation, 1st Fortress Press ed. (Minneapolis: Fortress Press, 1993),8.

[5] H. Paul Santmire dan Paul H. Santmire, The Travail of Nature : The Ambiguous Ecological Promise of Christian Theology(Theology and the Sciences) (Philadelphia: Fortress Press, 1985).

[6] John B. Cobb and The Center for Process Studies dan Lewis S. Ford, “A Christian Natural Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead,” Process Studies 37, no. 2 (2008): 193–95, p.77-82. https://doi.org/10.5840/process200837232. Cobb menjelaskan bahwa nilai intriksik sebagai kualitas atau keindahan.

[7] Hosey dan Melfi, Anthrozoology,6567.

[8] Matthew Hall, Plants as Persons: a philosophical botany, SUNY series on religion and the environment (Albany: State University of New York Press, 2011), 45-43.

[9] Jean Calvin, John T McNeill, dan Ford Lewis Battles, Institutes of the Christian Religion vol.1 (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2006), 203-204.

[10] Kevin J. O’Brien, An Ethics of Biodiversity: Christianity, Ecology, and the Variety of Life (Washington, D.C: Georgetown University Press, 2010), 2.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *