KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Dalam kisah-kisah alkitab, baik itu yang tentang para nabi hingga kehidupan Yesus selalu diceritakan berulang-ulang dari generasi ke generasi. Kisah-kisah heroik para nabi selalu menjadi bagian dari narasi motivasi bagi semua orang kristen agar setidaknya cerita-cerita itu dapat menambah keimanan seseorang, bahwa di tengah setiap kesukaran, selalu ada cinta Allah yang datang untuk menyelamatkan. Kisah penyelamatan lalu digenapkan dengan kisah tentang Yesus sebagai rangkuman janji Allah yang diceritakan untuk menambah optimisme bahwa sorga sudah ada dalam genggaman.
Ribuan kali kita mendengar cerita-cerita itu hingga tafsir-tafsirnya kadang dipakai untuk menjembatani berbagai kepentingan. Kutipan perkataan para nabi bahkan perumpamaan-perumpamaan dan Sabda Yesus dengan mudah dapat kita temukan di berbagai dinding rumah, latar mimbar gereja, hingga menjadi pembatas buku.
Dalam khotbah-khotbah di mana pun, dalam PA, sekolah minggu, katekasasi, yang selalu menjadi acuan dan terus menerus dibahas adalah kisah-kisah itu dengan sisipan pesan moral dibaliknya untuk menggugah siapapun yang mendengar agar itu terus diingat dalam hari-hari hidup kita. Saya bahkan tak perlu membaca alkitab hanya untuk mendengar perjalanan hidup Daud dan kisah cintanya. Sungguh, para tokoh alkitab ini telah menjadi pahlawan bagi keimanan kita dan juga inspirasi untuk memacu kita terus berjuang sambil menyebarkan benih cinta kasih ke seluruh penjuru dunia.
Tapi sadarkah kita, di antara sejumlah kisah heroik alkitab, ada beberapa kisah lainnya yang tak kalah heroik tapi perannya selalu dianggap tak penting? Tanpa mereka, mungkin saja sejarah perjanjian lama dan perjanjian baru akan berbeda jauh saat ini. Tapi seringkali kisah tentang mereka hanya dibaca sekilas, diceritakan seadanya sebagai obyek pelengkap.
Mereka adalah anak-anak.
Siapa yang paling heroik, Musa atau Yosua? Siapa yang menciptakan sejarah, Elia atau Eliza?
Apa pun jawabannya, kisah mereka tercipta setelah ada darah ditumpahkan dari tubuh setiap putra sulung para keluarga di Mesir untuk menjadi tumbal demi pembebasan bangsa Israel yang akan keluar dari Mesir.
Tanpa tumbal anak-anak, tidak ada bangsa Israel dilepaskan. Tanpa ratap ibu-ibu yang kehilangan anaknya, tidak ada kisah heroik Musa yang memimpin bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Tumbal pembebasan ini pada akhirnya merubah sejarah dan arah perjalanan bangsa Israel hingga saat ini.
Pengorbanan anak-anak tidak berhenti di situ. Adalah para orang majus yang memantik tragedi di Betlehem, Tanah Yudea, hingga akhirnya Herodes Agung menggenapi nubuatan Yeremia, “Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel meratapi anak-anaknya, ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi.”
Ya, Rahel, istri Yakublah yang dimaksud oleh Yeremia. Moyang bangsa Israel ini turut meratapi kematian anak-anak tatkala Herodes Agung yang takut kehilangan kekuasaan memerintahkan pembantaian terhadap anak-anak yang berusia di bawah dua tahun hanya karena laporan orang-orang majus yang datang bertanya kepadanya tentang raja yang baru.
Keangkuhan Herodes adalah karena ketakutan pada bayang-bayang raja yang baru lahir. Takut takhtanya akan dirampas. Sedemikian takutnya Herodes sehingga anak dan istrinya pun turut menjadi korban pembantaiannya.
Mendengar keberingasan Herodes ini, Kaisar Agustus yang telah mengijinkan Herodes berkuasa di atas tanah Yudea menjadi sangat prihatin hingga berkata, “lebih baik menjadi babi dari Herodes daripada menjadi putranya.” (Macrobius, Ambrosius Theodosius, c. 395-423. Saturnalia)
Sekalipun Herodes hanyalah raja boneka yang dibentuk Kekaisaran Romawi, tetapi kekejaman itu tidak mampu dihentikan oleh Kaisar Agustus.
Pembantaian terhadap anak oleh penguasa tidak hanya itu. Jauh sebelum Musa dilahirkan, Firaun telah memerintahkan pembunuhan terhadap setiap bayi laki-laki Bangsa Israel yang lahir agar populasi mereka di Mesir tidak berkembang lebih banyak dari Bangsa Mesir sendiri. Tanpa perintah Firaun itu, Musa tidak akan mungkin dibuang ke Sungai Nil dan ditemukan oleh Putri Firaun. Ia tidak mungkin bisa hidup dan dibesarkan di lingkungan Istana Firaun. Musa yang mungil itu harus dibuang ke sungai Nil agar tetap hidup dan kelak dapat membawa bangsa Israel keluar dari Mesir.
Tapi sadarkah kita, setiap upaya dan pembunuhan terhadap anak-anak itu terjadi untuk apa? Menurut saya, tentu saja untuk membuka jalan pembebasan, untuk membuka jalan bagi kita agar mendapatkan keselamatan.
Selain pembantaian terhadap anak-anak, alkitab juga mencatat bahwa Yusuf yang masih sangat muda harus dibuang terlebih dahulu agar kelak dapat menyelamatkan keluarganya dari kelaparan.
Tanpa pengkhianatan saudara-saudaranya, Yusuf yang kecil itu tidak akan mungkin bisa tiba dan menjadi pemimpin di Mesir. Tidak akan mungkin ribuan orang israel menetap di sana selama berpuluh-puluh tahun. Tidak akan pernah lahir yang bernama Musa, yang kelak membawa Bangsa Israel ke Tanah Perjanjian.
Tanpa pembantaian Herodes, barangkali kisah perjalanan Yesus akan berbeda ceritanya dengan yang saat ini sering kita dengar.
Sekali lagi, semua peristiwa itu terjadi bermula dari pengorbanan anak-anak. Kebesaran bangsa Israel, keselamatan yang saat ini kita dapatkan, berawal dari pengorbanan anak-anak sebelum akhirnya Sang Anak Allah, Yesus Kristus itu mengorbankan dirinya agar tidak adalagi anak-anak yang dikorbankan untuk keselamatan suatu bangsa.
Bagaimana Kita Membalas Pengorbanan Anak-anak
Catatan sejarah pada akhirnya menentukan cara berpikir, sikap, dan tindakan manusia sesudahnya. Termasuk di dalamnya cara kita memperlakukan anak-anak. Dengan sejarah yang telah terjadi ini, bagaimana cara kita menghargai setiap darah anak-anak yang tertumpah di Mesir dan di Betlehem tanah Yudea?
Yesus tahu, bahwa anak-anak, dalam kondisi apapun selalu berharga. Yesus sadar bahwa dari anak-anaklah tercipta sejarah-sejarah luar biasa dalam perjalanan Bangsa Israel. Itulah sebabnya Yesus tidak menyepelekan anak-anak. IA begiu menghargai, bahkan sebagai bentuk cinta-Nya kepada anak-anak menjadikan sebagai contoh sikap manusia yang bisa memiliki Kerajaan Sorga. Kepolosan anak-anak menjadi cara Yesus menyampaikan bahwa “orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.”
Lalu kita sendiri, apa yang bisa kita lakukan untuk menghargai anak-anak yang telah mati untuk membuka jalan keselamatan itu?
Ribuan tahun setelah catatan sejarah di atas, tepatnya 1919 atau seratus tahun yang lalu, seorang perempuan bernama Eglantyne Jebb menginisiasi draft hak-hak anak yang selanjutnya oleh Liga Bangsa-bangsa (LBB) diadopsi pada tahun 1924 menjadi Deklarasi Hak Anak. Di tahun 1989, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali mengadopsi gagasan Eglantyne menjadi Konvensi PBB tentang Hak Anak. Dengan konvensi ini, setiap negara anggota PBB yang menandatangani konvensi ini wajib meratifikasinya ke dalam undang-undang negara masing-masing, termasuk Indonesia. Saat ini, hampir seluruh negara di dunia telah mengikat rakyatnya dengan undang-undang yang melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan.
Konvensi Hak Anak ini secara tegas mengatur keistimewaan yang harus didapatkan oleh anak. Baik itu hak asasinya yang harus dilindungi, hingga diberikan hak-hak spesial untuk mendukung tumbuh kembang mereka.
Ribuan tahun setelah pengorbanan anak-anak untuk membuka jalan bagi keselamatan akhirnya dihargai dengan pengakuan negara terhadap hak-hak mereka. Dan ini baru di aras undang-undang. Implementasinya masih jauh dari harapan.
Saat ini, masih banyak anak-anak menjadi korban perang secara langsung maupun tidak langsung. Masih banyak yang kelaparan dan terabaikan. Masih banyak anak yang belum mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai. Masih banyak anak yang belum menikmati pendidikan ideal sebagaimana seharusnya. Masih banyak dari kita sendiri belum memberikan keleluasaan kepada anak untuk menikmati hak-haknya selama masa tumbuh kembang. Masih banyak yang dieksploitasi untuk kepentingan orang dewasa. Kita masih sering mengabaikan mereka yang telah membuka jalan bagi keselamatan kita. ***
*Dody Kudji Lede – Sekretaris Bidang Informasi dan Jaringan Pengurus Pemuda Sinode GMIT